Jumat, 14 November 2008

SEKTE: SEBUAH BENTUK DESEKULARISASI?

Vico SJ


Pengantar
Abad modern ditandai dengan sekularitas, di mana peran agama mulai melemah dalam kehidupan publik di suatu masyarakat. Hal ini disebabkan antara lain adanya pertumbuhan sangat pesat dari industrialisasi dan ilmu pengetahuan. August Comte, seorang sosiologis fungsional dari Perancis percaya bahwa sejarah manusia dibangun melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis (supernatural), tahap metafisik (natural), dan tahap positivistik (ilmu pengetahuan). Di tahap yang ketiga inilah kepercayaan religius mulai hilang dari permukaan bumi ini digantikan dengan ilmu pengetahuan yang akan mempengaruhi pikiran dan tingkah laku manusia secara langsung.. Berbeda pendapat dengan Comte, Durkheim berpendapat bahwa indikasi menurunnya peran agama adalah karena adanya pembagian kerja di dalam masyarakat industri yang sedang berkembang. Hal senada juga diutarakan Marx bahwa penurunan peran agama sangat terasa di kalangan masyarakat kapitalis karena agama hanya dipandang sebagai alat untuk melegitimasi ketidaksetaraan kelas. Sedangkan, Max Weber mengatakan bahwa salah satu sebab melemahnya peran agama adalah karena masyarakat sekarang adalah masyarakat yang rasional. Rasionalisasi inilah yang memperkecil pengaruh agama. Para sosiologis kontemporer juga sependapat dengan para pendahulunya bahwa ilmu pengetahuan dan rasionalitas, menurunnya nilai-nilai tradisi, dan meningkatnya pembagian kerja yang terspesialisasikan akan memperkecil pengaruh agama secara khusus, dan kepercayaan irasional secara umum. Dengan demikian, masyarakat modern nampak tidak cocok dengan adanya peran agama ini.
Namun, akhir-akhir ini dalam sebuah laporan yang cukup komprehensif yang dibuat Majalah The Economist bulan November 2007, agama mulai kembali dan memegang peranan penting dalam berbagai kebijakan politik di berbagai negara, seperti misal Nigeria. Negara ini mengidentifikasikan dirinya pertama kali dengan agama mereka baru kemudian sebagai orang Nigeria. Di dalam politik Barat, agama telah kembali ke dalam kehidupan publik. Presiden Amerika memulai harinya dengan sebuah doa dengan berdiri di atas lututnya dalam setiap rapat kabinetnya. Perbandingan orang-orang yang terikat pada empat agama besar, seperti Kristen, Islam, Buddhisme, dan Hinduisme meningkat dari 67% di tahun 1900 ke 73% di tahun 2005 dan bisa meningkat hingga 80% di tahun 2050. Selain itu, orang-orang yang mengaku beragama sekarang cenderung berani bersuara di segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang bisnis.
Tetapi, mengapa kekuatan agama ini kembali muncul dan meningkat di era modern ini? Alasan pertama adalah adanya serangkaian reaksi dan reaksi balik, misalnya Islam fundamentalis telah membantu Yudaisme dan Hinduisme radikal yang telah ditekan oleh dominasi Mullah. Adanya kelompok Al-Qaeda. Kedua, globalisasi—bentuk terakhir dari modernitas—telah mendorong agama masuk ke dalam wilayah publik. Bagi seorang tradisionalis, iman bertindak sebagai penyangga melawan perubahan.
Dari keterangan di atas mengenai kembalinya peran agama di dalam dunia modern ini, saya akan memfokuskan diri pada munculnya salah satu gerakan keagamaan yang baru, yaitu sekte. Dalam makalah ini saya akan membicarakan beberapa subtema yang berkaitan dengan sekte ini, yaitu ciri-ciri sekte, sebab-sebab sekte ini muncul dan bertumbuh, kaitannya dengan sekularisme, dan akhirnya kesimpulan.

Ciri-ciri Sekte
Sebelum memasuki ciri-ciri sekte, saya akan memberikan contoh beberapa sekte, seperti “Sekte Gereja Kiamat” . Sekte ini berdiri sejak tahun 1999 dan telah menyebar ke sejumlah kota di seluruh Indonesia. Pemimpin sekte ini, pendeta Mangapin Sibuea, mengumumkan akan segera datang hari kiamat pada tanggal 10 November 2003 pukul 15.00 di Bale Endah, Bandung, Jawa Barat. Ia mengaku mendapat bisikan tentang kiamat ini dari Yesus. Oleh karena itu, ia mengumpulkan para pengikutnya di pondok Nabi itu. Tujuannya adalah agar mereka dapat terangkat ke surga oleh Yesus. Namun, oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Barat setelah mendapat masukan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Jawa Barat, Kumpulan Gereja se-Bandung dan Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Kabupaten Bandung, mereka dinyatakan penganut aliran sesat, dan dilarang aktivitasnya sejak 2000. Sekte ini dibubarkan oleh polisi pada tanggal 10 November 2003, saat mereka sedang menunggu hari pengangkatan itu. Mereka dikenai Pasal 156 KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama. Selama persiapan menjelang pengangkatan, mereka tidak diperbolehkan bergaul dengan masyarakat luar, apalagi berbicara tentang kegiatan mereka. Makanan mereka juga dibatasi. Pengikutnya kebanyakan kaum profesional dan berpendidikan.
Namun, dalam sejarah gerakan menyongsong kiamat, sudah ada beberapa sekte sebelum kelompok pendeta Sibuea yang muncul, diantaranya adalah sekte Kuil Rakyat di mana hampir seribu pengikutnya bunuh diri di bawah komando Jim Jones pemimpin mereka, karena yakin bahwa kiamat akan terjadi di Jonestown, Guyana. Lima tahun kemudian, hampir seratus anggota jemaat Ranting Daud pimpinan David Koresh membakar diri di markas mereka di Waco, Texas, Amerika Serikat. Baru-baru ini, juga ada fenomena menarik tentang seorang pemimpin sekte sempalan Gereja Mormon, Warren Jeffs yang kini mendekam dalam penjara karena didakwa mengatur pernikahan gadis-gadis di bawah umur dengan pria dewasa sampai inses oleh pengadilan Utah, AS. Berita ini diulas dalam Majalah TEMPO bulan Desember 2007. Sebagai seorang “nabi”, Jeff bisa mengambil alih istri dan anak-anak seorang suami yang dianggap tak taat, lalu menyerahkan mereka kepada pria pilihan yang lebih religius. Gereja Fundamentalis Orang Suci Zaman Akhir yang dipimpin Jeffs memang mempunyai pandangan sangat konservatif dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sekte ini mendukung poligami. Jeff sendiri menikahi 70 perempuan. Dalam sekte ini seorang laki-laki harus setidaknya memiliki tiga isteri untuk mencapai surga tertinggi. Sekte ini memiliki 10 ribu pengikut di kawasan perbatasan Colorado City, Arizona, dan Hildale, Utah.
Berdasarkan contoh di atas, saya mencoba menatapkannya dengan beberapa karakteristik sekte yang diutarakan oleh Troeltsch. Troeltsch mengatakan bahwa pertama, sekte merupakan suatu kelompok yang lebih kecil dan terintegrasi sangat kuat ke dalam kelompoknya di bandingkan dengan organisasi-organisasi religius lainnya. Mereka terkait dengan kelas dalam masyarakat yang lebih rendah atau setidaknya unsur-unsur dalam masyarakat yang berlawanan dengan negara dan masyarakat. Di sini sangat jelas terlihat bahwa beberapa contoh sekte di atas memiliki semacam kesepakatan yang sangat konservatif, bahkan tidak jarang berlawanan dengan aturan-aturan dalam masyarakat dan Negara, misalnya pelarangan bergaul dengan anggota masyarakat lain bagi anggota sekte Gereja Kiamat, adanya keharusan seorang laki-laki untuk memiliki setidaknya tiga isteri untuk mencapai tingkat surga tertinggi. Kedua, mereka nampak sekali selalu berada dalam oposisi terhadap dunia. Mereka menolak nilai-nilai dunia yang berada di sekitar mereka, seperti misal penolakan mereka untuk bersumpah dalam sebuah pengadilan, untuk memiliki hak milik pribadi, penolakan mereka terhadap hukum-hukum, atau mengambil bagian dalam perang. Ketiga, mereka cenderung menarik diri dari dunia luar sekte mereka, namun di saat yang sama, mereka ingin mengetahui perkembangan dunia luar. Keempat, anggota sekte diharapkan setia kepada kepercayaannya. Mereka mungkin akan dikeluarkan apabila mereka gagal memperlihatkan komitmen mereka. Seperti dalam kasus Jeff, para anggota yang melanggar akan dikenai hukuman, yaitu isteri dan anak-anak mereka akan dikawinkan dengan laki-laki dewasa yang lebih religius. Kelima, sekte ini, terutama pemimpinnya melakukan kontrol yang sangat kuat pada hidup para anggotanya. Kita bisa melihat pengaruh yang sangat kuat dari para pemimpin sekte ini pada anggota-anggotanya melalui contoh di atas. Keenam, mereka cenderung memonopoli kebenaran agama mereka sendiri, misalnya tanggal dan jam hari kiamat yang mereka yakini akan terjadi. Ketujuh, biasanya mereka memiliki pemimpin karismatik tunggal, yang kepribadian dan kualitas khususnya mampu membujuk para pengikutnya untuk mengikuti ajaran-ajarannya.
Berkaitan dengan karakteristik sekte yang diungkapkan Troeltsch, Roy Wallis mencoba membagi gerakan keagamaan baru dalam tiga kelompok utama: kelompok yang menolak dunia, yang berakomodasi dengan dunia, dan kelompok yang mengafirmasi dunia. Jika dikaitkan dengan karakteristik sekte yang diutarakan Troeltsch, sekte termasuk kelompok yang menolak dunia. Menurut Wallis, mereka memiliki konsep yang jelas tentang Allah. Ideologi mereka merupakan kritik terhadap dunia luar mereka dan gerakan ini mengharapkan atau secara aktif mencari perubahan. Beberapa kelompok mengharapkan Allah ikut campur tangan untuk mengubah dunia. Dalam kerangka meraih keselamatan, para anggota diharapkan memutus secara tegas kehidupan biasa mereka ketika mereka bergabung dengan gerakan ini. Artinya, mereka harus meleburkan diri dalam peraturan-peraturan komunitas. Dengan demikian, jelaslah bahwa sekte termasuk kelompok yang menolak keduniawian. Di sini, kita bisa melihat bahwa anggota sekte Gereja Kiamat meyakini bahwa tanggal 10 November 2003 merupakan hari kiamat sehingga mereka perlu menyiapkan diri dengan berpuasa, tidak berhubungan dengan masyarakat. Kita bisa melihat pula komunitas Gereja Fundamentalis Orang Suci Zaman Akhir yang dipimpin Jeffs yang mengisolasi diri di sebuah tempat di Utah, AS. Orang lain bagi komunitas ini dihadapi dengan curiga bahkan dengan kemarahan. Para jemaat juga dijauhkan dari media. Televisi dan internet adalah barang yang haram. Anak-anak dijauhi dari ilmu-ilmu terbaru.

Sebab Munculnya Sekte dan Perkembangannya.
Jika saya bertanya, pastilah saya akan melontarkan pertanyaan yang kurang lebih sama atau umum: Mengapa sekte-sekte ini memiliki pengikut yang setia bahkan fanatik? Hal istimewa apakah yang ditawarkan dari sekte-sekte ini kepada para pengikutnya? Alasan apa yang membuat para pengikut sekte ini mau menyerahkan dirinya dan tunduk kepada pemimpin karismatiknya? Jawabannya pastilah beragam. Saya akan mengambil beberapa pernyataan tokoh sosiologis yang menyediakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Menurut Weber, pertumbuhan sekte ini dikarenakan kemarjinalitasan anggota-anggota mereka di dalam masyarakat. Anggota-anggota kelompok ini sering merasa tidak menerima penghargaan yang selayaknya mereka terima dari masyarakat. Oleh karena itu, sekte-sekte ini menawarkan semacam harapan akan kehormatan atau kemuliaan baik di kehidupan setelah mati atau sebuah ‘dunia baru’ di dunia ini. Kita bisa melihatnya pada para anggota sekte Gereja Kiamat yang meyakini dan mengharapkan bahwa Yesus akan menjemput mereka dan membawa mereka ke surga sehingga penderitaan mereka di dunia dapat terlewatkan. Pendeta Mangapin Sibuea, dalam hal ini, dengan karismanya menegaskan akan adanya wahyu yang ia terima langsung dari Yesus yang menurut keyakinannya akan terlaksana pada tanggal 10 November 2003 yang harus diterima juga oleh jemaatnya.
Namun, menurut Bryan Wilson, penyebabnya bukan hanya marjinalitas dari para anggotanya, melainkan kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka bertumbuh. Kondisi-kondisi ini adalah kekalahan perang, bencana alam, atau runtuhnya perekonomian. Selanjutnya, ada fenomena lain yang perlu dijawab, yaitu adanya pengikut yang berusia muda dan berasal dari kelas menengah yang tertarik bergabung dalam anggota sekte-sekte tertentu. Apakah mereka sungguh-sungguh merupakan bagian masyarakat yang mengalami marjinalitas? Tentu saja tidak, lalu bagaimana menjelaskan hal ini? Konsep relative deprivation saya kira dapat menjelaskan hal ini bahwa konsep ini mengacu pada perasaan kehilangan atau perasaan kehilangan yang sebenarnya dirasakan orang. Secara objektif orang miskinlah yang paling merasakan kehilangan ini, namun secara subjektif, kalangan menengah ke atas juga mengalami perasaan kehilangan lebih dari orang miskin ini walaupun secara materi mereka tidak kekurangan. Kelompok menengah ini kehilangan perasaan spiritual di dunia yang mereka lihat yang terlalu materialistis, sepi, dan impersonal. Oleh karenanya mereka mencari keselamatan di dalam komunitas yang ditawarkan oleh sekte-sekte. Lebih jauh lagi, Steve Bruce mengatakan bahwa perkembangan institusi-institui keagamaan termasuk sekte dan cult terjadi karena proses modernisasi dan sekularisasi.

Kaitan Sekte dengan Sekularisasi
Oleh beberapa sosiologis, pertumbuhan sekte ini erat kaitannya dengan sekularisasi. Menurut Peter Berger, keyakinan pada hal-hal supranatural hanya dapat bertahan di dalam bentuk sektarian dalam sebuah masyarakat sekular. Setiap individu di dalam anggota sebuah sekte harus memutus diri mereka dari pengaruh dunia sekular di sekitar mereka agar keyakinan dan komitmen keagamaan mereka tetap kuat dan mencari dukungan dari mereka yang senasib. Di sini, sekte menyediakan sebuah konteks yang memungkinkan orang-orang ini saling mendukung satu sama lain. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sekte merupakan persinggahan supranatural terakhir dalam masyarakat sekular. Di sinilah sekte merupakan bukti sekularisasi. Brian Wilson juga berpendapat bahwa sekte merupakan sebuah fitur masyarakat yang mengalami sekularisasi dan mereka bisa dilihat sebagai sebuah respon terhadap situasi di mana nilai-nilai agama telah kehilangan kontrol keutamaan sosialnya. Dengan kata lain, sekte-sekte merupakan perhentian terakhir dari agama dalam masyarakat di mana keyakinan agama dan nilai-nilai mempunyai sedikit konsekuensi.

Kesimpulan
Dengan demikian, apakah sekte merupakan salah satu bentuk desekularisasi atau kembalinya kehidupan agama di kehidupan publik yang sarat dengan rasionalitas dan modernitas ini? Saya coba mengutip pendapat Anthony Giddens bahwa orang-orang menjadi semakin sadar apa yang mereka pilih dalam hidup ini, siapa mereka sebenarnya, dan apa yang mereka harapkan terjadi pada diri mereka. Mereka tidak secara sederhana menerima posisi mereka dalam masyakarat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan rasionalitas memungkinkan setiap orang dengan kesadaran budinya menentukan akan seperti apa cara hidup yang akan dipilihnya, identitas macam apa yang hendak mereka hidupi, dan konsekuensi-konsekuensi apa yang akan mereka terima dari masyarakat sebagai respon dari pilihan-pilihan mereka. Selain itu, menurut Giddens, perkembangan rasionalitas yang demikian cepat memungkinkan berkembangnya keraguan di pikiran orang-orang tentang segala macam aspek kehidupan mereka. Dengan demikian, mereka pun mempertanyakan dunia di mana mereka hidup: apakah dunia yang materialistis ini menjamin keselamatan yang mereka cari atau dambakan dalam kehidupan mendatang? Apakah kemajuan ilmu pengetahuan sungguh-sungguh merupakan jawaban dari pertanyaan eksistensial manusia tentang mengapa manusia ada, dari mana mereka berasal, dan akan kemana mereka setelah kehidupan ini berlalu dengan kematian?
Untuk itulah, sekte hadir dengan beragama harapan yang mereka tawarkan berhadapan dengan semakin sekularnya dunia ini, entah harapan sejati yang bisa sungguh-sungguh diandalkan atau harapan semu yang ditawarkan oleh beberapa pemimpin karismatis dengan dilatarbelakangi beragam motivasi terselubung. Namun, fakta memperlihatkan bahwa masih ada sampai sekarang orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu yang menjadi pengikut sekte-sekte ini.



Sumber Acuan

Primer:
Haralambos and Holborn. 2004. Sociology:themes and perspectives, HarperCollins,
Hammersmith, London.

Sekunder:
Majalah TEMPO, 2 Desember 2007.
Majalah TEMPO, 30 November 2003.
The Economist, “In God’s Name”, A Special Report On Religion and Public Life,
November 3rd 2007.


Tidak ada komentar: