Vico SJ
Pendahuluan
Bila saya ditanya apa sebenarnya kepribadian sejati bangsa Indonesia, saya akan berpikir seribu kali untuk menjawabnya. Saya menyadari bahwa begitu banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Bahkan sebelum negara Indonesia terbentuk, suku-suku bangsa tersebut sudah menghiasi wajah kepulauan Indonesia. Oleh karena itu saya belum bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat krusial karena bagaimana kita akan membangun negara ini bila kita tidak sungguh-sungguh mengenal siapa kita, apa kekuatan dan kelemahan kita, komponen apa saja yang cukup penting untuk menjadi dasar berpijak membangun negara ini.
Rachmat Subagya (RS), melalui bukunya berjudul Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia, hendak menawarkan suatu tema tentang identitas sejati bangsa Indonesia yang de facto terdiri dari 360 suku bangsa ini. Melalui studi dan penelitian tentang suku-suku tersebut, RS mencoba mendalami agama dan kerohanian asli suku-suku tersebut dengan harapan akan membuka cakrawala baru bagi siapa pun yang berhasrat ingin mengenal identitas bangsa Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya hendak menyampaikan hal-hal yang penting dalam buku RS tentang agama asli di Indonesia, pertemuannya dengan agama pendatang, pola-pola penyesuaian yang dilakukan oleh agama asli, krisis yang dialami agama asli dan bagaimana agama asli bangkit di tengah derasnya arus agama-agama pendatang dengan segala perangkat modernnya. Selanjutnya, bagaimana agama-agama asli itu mempengaruhi dan mewarnai keperibadian bangsa Indonesia dan akhirnya ditutup dengan tanggapan kritis terhadap tulisan RS.
Agama Asli Indonesia
Dalam bab pendahuluan, RS mencoba mendefiniskan agama asli sebagai kerohanian dari suatu bangsa atau dari suku bangsa sejauh berasal dan diperkembangkan di tengah-tengah bangsa itu sendiri dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian bangsa lain atau menirunya. Kerohanian itu dihayati dalam sikap batin terhadap Zat Tertinggi, suatu pengada yang mempunyai kekuatan tak terbatas dan mengatasi manusia. Kerohanian sendiri adalah cara khusus dalam menghayati hakekat agama umum. Sedangkan agama adalah sikap iman kepada Hakekat Tertinggi yang menaungi hidup manusia dan yang kepadanya manusia merasa bergantung sehingga menimbulkan sikap batin khusus kepadaNya.
Yang dimaksud dengan asli lebih diartikan sebagai otokhton yang berarti berasal dari bumi/ daerah itu sendiri, yang sejak dahulu sudah ada di situ dan tidak diimpor dari luar. Agama asli di Indonesia nampak dalam dua ragam, yaitu yang satu murni tak tercampur dan yang lain tercampur atau menyamar. Agama asli jenis murni terdapat pada suku bangsa yang dikenal dengan protomelayu seperti Nusa Tenggara Timur sampai dengan Irian Jaya, Siberut, Nias Selatan, Kubu dan Lubu di Sumatra Selatan, Punan di Kalimantan, Toala dan Tokea di Sulawesi Tengah. Contoh agama jenis ini adalah Parangan Ada, agama asli di Sulawesi Tengah, Ono Niha di Nias
Agama asli jenis kedua yang sudah banyak mengalami pencampuran dan keaslian mereka hampir hilang terdapat pada suku bangsa yang dikenal dengan deuteromelayu seperti Sumatra, Jawa, Bali, Madura, Bawean, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Nias. Agama asli ini bergerak di dalam agama universal secara menyamar (incognito). Mereka tidak bergerak secara menyolok memperlihatkan kebatinan yang mereka hayati dalam agama universal yang mereka anut, melainkan apabila ada kesempatan, mereka akan mengungkapkannya. Kadangkala kedua penghayatan yang serentak ini bertentangan satu sama lain.
Pertemuan Agama Asli dengan Agama Pendatang
Menurut RS, masuknya agama-agama pendatang diakui ikut mempengaruhi proses pembaharuan dalam agama-agama asli di Indonesia meskipun tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia, khususnya dalam penghayatan hidup. Kedatangan agama-agama pendatang tersebut diawali oleh agama Hindu yang dipelopori oleh para pelaut India yang disusul oleh para brahmana. Namun, dari berbagai peninggalan zaman Hindu-Indonesia, entah berupa candi, arca maupun tulisan, tampak bahwa agama Hindu tak pernah bisa menjadi milik bangsa Indonesia. Karakter agama asli-lah yang justru tampak lebih dominan. Disusul kemudian oleh masuknya agama Budha yang mengalami pengalaman lebih buruk dibandsingkan dengan Agama Hindu. Bukti kegagalannya yang terbesar adalah bahwa Sang Budha didewakan dan disamakan dengan dewa Civa, lalu disembah sebagai Civabudha, dewa tertinggi di kerajaan Singasari dan Majapahit, pun di Bali. Tidak ketinggalan pada tahun sekitar 645-1500 M, agama Kristen pertama masuk . Namun kekristenan pertama ini kurang berbekas sama sekali karena diindikasikan kurang mengakar di Indonesia dan hubungan mereka yang terputus dengan pusatnya di Asia Barat. Kemungkinan lain adalah adanya ekspansi Muslim pada abad ke-15. Islam pun mengalami hal yang sama dengan agama pendahulunya, yaitu kurang mengakar di hati masyarakat pribumi karena pertama, Islam hanya menjadi agama penguasa, yaitu agama para penguasa. Sedangkan rakyat tidak sungguh-sungguh menghayati agama tersebut. Kedua, sifat arabnya yang sulit membaur dengan agama asli. Ketiga, belum ada evaluasi teologis dari para cendekiawan muslim sendiri terhadap kerohanian agama-agama lain. Sementara itu pada abad ke-16, agama Kristen masuk lagi untuk kedua kalinya. Kali ini, Kristen membawa pesan universal yang mampu diterima oleh agama asli karena membuka ruang untuk mengormati dan melestarikan keaslian agama asli. Kekurangan yang dirasakan oleh agama asli terhadap agama kristen ini adalah pakaian ritus yang dipakai dan simbol roti anggur dalam ritus tersebut. Selain itu, kekristenan sering dijadikan alat untuk mencapai kepentingan pribadi dari sekelompok orang kristen tertentu.
Pertemuannya dengan agama asing ini mempunyai dua corak yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan. Corak yang menguntungkan adalah corak yang bersifat membangun (alokhton). Corak ini dikatakan membangun apabila mampu melengkapi agama asli sehingga agama asli mengalami kemajuan. Corak kedua dinamakan heterokhton karena berbeda dengan agama asli, dengan demikian tidak mampu meluruskan agama asli.
Kepercayaan Indonesia Asli
Kepercayaan yang ada dalam agama-agama asli menarik untuk diperhatikan secara lebih dekat karena dari macam-macam kepercayaan kita bisa melihat momen semiotik yang bisa membantu pemahaman kita mengenai kepribadian bangsa Indonesia.
Pada umumnya, agama-agama asli di Indonesia percaya akan adanya suatu aturan tetap yang mengatasi segala apa yang terjadi dalam alam dunia atau yang dilakukan oleh manusia. Aturan tersebut berasal dari suatu Hakekat Tertinggi yang bersifat ilahi. Ada dua bentuk sikap dalam memandang Yang Ilahi itu. Pertama, Yang Ilahi disebut sebagai fascinosum, artinya yang menarik dan mempesona. Kedua, Yang Ilahi disebut sebagai tremendum, yaitu yang menakutkan, yang jauh dan dahsyat.Jika kedua bentuk sikap itu digabung akan melahirkan teisme dan monoteisme.
Di berbagai daerah yang tidak memeluk agama pendatang, muncul sebutan teistis seperti sebutan orang Batak terhadap Tuhan dengan nama Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon, orang Jawa memakai nama Hyang Murbeng Dumadi. Nama-nama ketuhanan ini mengungkapkan sikap batin manusia terhadap Tuhan yang dipakai dalam istilah deisme. Deisme diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan yang jauh dari manusia. Dalam paham deisme dan mitologi alam dikenal istilah animisme, yaitu suatu kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan ikut campur dalam urusan manusia. Cara lain untuk memenuhi kebutuhan manusia akan Tuhan yang dekat adalah paham hierofani dan teofani. Dalam paham hierofani, pancaran dan kekuasaan ilahi nampak dalam alam dunia; dalam paham teofani, Tuhan sendiri mengenakan wujud insani, ia dianggap turun dari surga untuk sementara menghuni tubuh insani.
Pandangan agama asli terhadap manusia juga menarik untuk diperhatikan bahwa mereka mengandaikan manusia berjiwa dua, yaitu jiwa selama manusia hidup dan jiwa sesudah manusia mati terpisah dari badan. Selain itu, mereka juga memahami bahwa manusia terdiri dari unsur alam raya.
Kepercayaan asli Indonesia terhadap dunia juga nampak di dalam cerita-cerita rakyat. Menurut RS ada pola umum dalam cerita-cerita tersebut mengenai kejadian dunia. Pola tersebut memuat beberapa hal, yaitu 1) dualisme antara alam atas dan bawah, 2) terjadinya perkawinan antarkeduanya, 3) turunan mereka menjadi penguasa dunia, 3) adanya pertarungan antara lambang-lambang atas dan bawah, dan 4) kematian satu pihak dipandang sebagai kurban diri. Pola tersebut, pada umumnya disebut homologi antropokosmis, yaitu kesesuaian manusia dengan dunia. Kesesuaian ini melahirkan pengenalan akan perhitungan bintang yang disebut astrologi dan horoskop. Hal ini untuk melihat keharmonian dengan alam sebagai bentuk transendensi yang ilahi. Dinamisme, suatu kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat atau bertuah juga menjadi bagian yang khas dari agama-agam asli.
Pandangan agama asli terhadap ketuhanan, jiwa manusia, dan alam dunia itu mengungkapkan bahwa mereka (manusianya) berusaha mencari makna hidup di dunia ini. Eksistensinya yang serba terbatas membuat perbuatan manusia selalu berdimensi dua, yaitu vertika dan horisontal. Dalam dimensi vertikal, manusia mengalami celah dalam hidupnya yang melahirkan ketegangan, perceraian antara cita-cita mulia dan realitas bengis. Oleh karena itu ia perlu menyesuaikan diri dengan tata alam agar disinari dan diringkatkan oleh kontak dan partisipasi pada kenyataan yang lebih tinggi. Dalam dimensi horisontal, manusia terlibat dalam perbuatan yang konkret yang menghasilkan perbuatan khusus yang bersifat simbolis, artinya perbuatan tersebut melambangkan kenyataan yang mengatasinya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan suatu lambang lahiriah yang membuat hidup batin mereka menjadi hidup dan bergairah. Lambang itu berupa mitos asal dan ritus atau upacara, yaitu kelakuan simbolis yang mengkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tatanan tersebut. Contoh upacara dalam agama asli adalah Upacara Toraja, Sa’dan dan di Jawa Bedhoyo Ketawang, suatu tarian sakral. Selain itu ada upacara harian seperti misal upacara mulai panen padi, membuat rumah, pemberkatan desa, upacara peralihan, upacara perkawinan, dan upacara yang berkaitan dengan kematian dan pemakaman.
Krisis Agama Asli dan Kebangkitannya
RS melihat bahwa dalam sejarahnya, keberadaan agama asli selalu mengalami krisis eksistensi seiring membanjirnya agama-agama asing yang masuk ke Indonesia. Agama pendatang selalu mengancam keberadaan agama asli dengan berpayungkan para penguasa. Selalu ada konfrontasi tegas untuk mempertahankan agama asli dari agama pendatang. Pada saat agama Islam masuk, mereka memandang penduduk yang beragama asli sebagai pendosa atau abangan.
Pada zaman penjajah, krisis agama asli memuncak dengan pengkategorian mereka sebagai kafir dan barang yang tersisa. Peraturan pemerintah juga mewajibkan mereka melakukan proses perkawinan dengan tata cara Islam. Namum, dari pihak Islam tidak ada usaha serius untuk mendidik orang Islam itu secara Islami. Demikian pula pada zaman kemerdekaan, polarisasi Islam Santri semakin meningkat, misalnya dengan pasal Ketuhanan yang mahaesa.
Tantangan agama asli adalah ancaman terhadap ateisme, dunia modern yang menawarkan nilai-nilai baru, kemerosotan moral yang menggoncangkan iman akibat kehadiran teknologi yang mampu mengatasi bencana dan penyakit, dan tantangan dari arus sekularisasi. Perkembangan rasionalitas masyarakat melalui pendidikan membuat hal-hal yang dianggap irasional dalam agama asli menjadi tidak tahan uji terutama mereka yang berada di pedesaan. Mereka mulai bertanya tentang kegiatan mereka yang irasional dan mereka berusaha lepas dari kegiatan yang tidak masuk akal itu. Kehadiran teknologi yang diusung oleh modernitas sering dirasa lebih menjanjikan dan lebih memenuhi kebutuhan mereka sehingga peran ekonomi dalam arus sekularisasi menjadi lebih besar. Sebagai akibatnya, mereka mulai terpisah dari keagamaan mereka.
Krisis yang melanda agama asli mempunyai dua dampak bagi para penganutnya. Pertama, Ada yang menggantikan kepercayaan kuno mereka dengan suatu pandangan hidup baru; kedua, ada pula yang berusaha menyesuaikan keyakinan mereka mengenai ketuhanan, manusia, dan alam dari tempo dulu dengan tuntutan jaman sekarang. Usaha ini dilakukan agar identitas mereka tidak tenggelam dalam arus modernisasi. Sebagai pengimbang arus modernisasi teesebut muncullah beragam aliran kebatinan yang menyediakan baik peningkatan rasa agama dan kepribadian asli maupun pemulangan harga diri melawan rasa minder terhadap teknologi asing. Tercatat ada sekitar 644 aliran yang terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan pada tahun 1972. Perkembangan terbesar ada di daerah-daerah yang tidak aman karena teror laskar , di pelosok-pelosok yang berekonomi minus, dan di kota-kota besar tempat detradisionalisasi meraja lela.
Pembentukan Kepribadian Bangsa Indonesia
Dari uraian mengenai agama asli dan segala pergulatannya, tidak mudah untuk merumuskan kepribadian bangsa Indonesia yang terdiri dari 360 suku tersebut. Keprihatinan untuk merumuskan kepribadian dan sifat-sifat khusus bangsa Indonesia menjadi suatu permenungan yang tidak mudah untuk dijawab. Ada dua macam pluralitas dalam kepribadian bangsa Indonesia sangat bersifat sinkronis (sejaman) dan diakronis (melalui zaman). Kepribadian Indonesia secara sinkronis belum merupakan kepribadian kesatuan. Perbedaan yang berasal dari pluralitas itu hanya dapat disalurkan ke kesatuan nasional di bawah naungan lambang Bhinneka Tunggal Ika. Namun penyatuan yang tergesa-gesa ke dalam lambang tersebut dapat memiskinkan kepribadian bangsa yang sudah terdapat dalam genius loci, khasiat dari primordial solidarity dengan golongan sebahasa, seadat, dan serasa hidup. Agaknya proses penyerahan dari identitas regional ke identitas nasional tidak akan terjadi secara serentak dan sewaktu. Proses penyatuan itu harus tepat guna karena menurut RS, apa gunanya keragaman Indonesia bila tidak punya substansi.
Pluralitas kepribadian Indonesia juga mengalami proses melalui zaman atau yang disebut diakronis. Pergantian tipe kepribadian juga dapat menguasai suatu zaman, dimana satu tipe kepribadian dalam suatu zaman dapat merupakan tambahan terhadap warisan dahulu atau sebagai reaksi. Oleh karena itu, R. Moh. Ali menentukan adanya lima tipe, yaitu manusia magis, manusia mistis, manusia feodal, dan manusia pencari pola hidup yang menurut M. Ali bersifat ekstrovert dan dinamis dibanding keempat tipe sebelumnya yang bersifat introvert, retrospektif atau ber-status quo dan hanya mempertahankan kelangsungkan penderitaan rakyat.
RS lalu menawarkan suatu rumusan percobaan mengenai pokok-pokok keindonesiaan, pertama adalah keselamatan sebagai suatu keseluruhan dari keselamatan rohani dan jasmani, dunia dan akherat; kedua, etik dan pencitraan manusia dalam sosialisai dan akulturasi yang memperlihatkan gambaran yang sama; ketiga, kolektivitas asli atau keinsafan kesatuan orang-orang dengan gotong royong, musyawarah, perayaan, upacara dan ikatan-ikatan masyarakat yang lain sudah cukup dimaklumi; keempat, kecenderungan akan identifikasi adalah pokok lain. Manusia Indonesia lebih mencari harmoni dan kerukunan sampai ke dalam perasaan: rela, tenteram, sumarah, sabar dan lain-lain dibandingkan corak kebudayaan Eropa yang terdiri dari kategori-kategori yang jelas, tegas, dan terpisah satu sama lain. Akhirnya, RS menekankan pentingnya penyussunan teologi, moral sosial dan spiritualitas yang bercorak pribumi.
Tanggapan Kritis
Pertama-tama saya hendak mengungkapkan kekaguman saya akan usaha RS dalam menampilkan agama dan kerohanian asli bangsa Indonesia. Dari ulasannya, terungkap wajah Indonesia yang pada hakekatnya merupakan perpaduan pelbagai macam agama, kerohanian, dan budaya asli. Bagi saya, bukunya nampak seperti mininiatur yang mencerminkan kepribadian asli bangsa Indonesia. Pertanyaan saya adalah sungguh aslikah apa yang telah dipaparkannya mengenai agama dan alam kerohanian asli bangsa Indonesia? Jika ya, sampai sejauh mana keasliannya dapat dibuktikan.
Memang, RS telah menjelaskan dalam bab pendahuluan definisi tentang asli, yaitu wajar, yang sungguh-sungguh, jujur, pribumi, yang sejati, yang tulus, serentak: orisinil, mempribadi, berakar, dan berdasar teguh, selaras dan sepadan, otentik dan otokhton. Namun, saya masih mempunyai keraguan tentang yang apa yang asli. Berangkat dari keraguan saya, saya berpendapat apa yang dipaparkan RS dalam bukunya tersebut adalah semacam fenomena yang tertangkap olehnya pada saat ia melakukan penyelidikan terhadap pelbagai agama dan kerohanian bangsa Indonesia selama beberapa periode tertentu (pastilah masih seputar abad ke-20). Ada suatu rentang jarak yang cukup panjang antara usaha penyelidikannya dengan keberadaan awal agama dan kerohanian asli bangsa Indonesia tersebut. Katakanlah ia melakukan penelusuran sejarah melalui berbagai peninggalan sejarah yang ada (yang sempat ditemukan, dipelihara, dan dianggap bernilai historis oleh para ahli arkeologis), kemudian membuat suatu kesimpulan bahwa agama dan kerohanian suatu suku bangsa tersebut dapat dikatakan asli. Memang saya mengakui bahwa fenomena atau apa yang nampak secara lahiriah mengungkapkan kerohanian suatu suku tertentu dan bisa mencerminkan kepribadian atau apa yang dihayati suku tersebut. Namun jaminan keaslian dari suatu penghayatan suku tertentu tidaklah bisa dibuktikan mengingat adanya keterbatasan jarak dan waktu antara penulisan dan kehadiran suku tersebut di bumi Indonesia. Menurut saya, fenomena (termasuk peninggalan purbakala) tersebut merupakan hasil perjalanan panjang (pergulatan) suatu agama asli dari sisi historisitasnya yang bagi saya masih berupa misteri, apakah sungguh asli berangkat dari penghayatan seseorang mengenai kehidupan atau memang sudah pada awalnya mendapat pengaruh atau setidak-tidaknya terinspirasi oleh suatu budaya lain.
Pertanyaan saya berikutnya adalah apakah peng-abstraksi-an pelbagai agama dan kerohanian asli tersebut ke dalam suatu sistemasi yang disampaikan RS sungguh mewakili “kesejatian” agama-agama tersebut. Menurut saya, universalisasi atas keunikan masing-masing agama akan mereduksi “kesejatian” agama-agama asli tersebut. Dengan kata lain, tetap ada sesuatu “yang lain” atau kekhasan agama-agama tersebut yang tidak bisa diabstraksi begitu saja. Apabila RS hendak melakukan pendefinisian tentang kepribadian bangsa Indonesia berdasarkan hasil abstraksinya atau peng-universalisasi-annya atas pelbagai macam agama dan kerohanian suku-suku tersebut, menurut saya, menjadi tidak utuh atau bukan merupakan suatu totalitas yang mendasar. Bagi saya, kepribadian bangsa Indonesia sangatlah komplek. Usaha pendefinisan atas kepribadian bangsa Indonesia menurut saya masih harus memerlukan semacam diskursus yang panjang. Saya memahami bahwa RS baru dalam taraf suatu penawaran sebuah rumusan tentang pokok-pokok keindonesiaan. Namun, menurut saya, langkah RS sudah tepat karena penyajian keindonesiaan ala RS ini bisa menjadi titik tolak bagi usaha pemahaman tentang kepribadian bangsa Indonesia lainnya.
Sumber Acuan
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.2001.
Subagya, Rachmat. Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia. Jakarta Pusat: Yayasan Cipta Loka Caraka bekerja sama dengan Penerbit Nusa Indah dan Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik.1979.
Acuan Tambahan
Anderson, Benedict R.O’G. ”Political Culture in Indonesia”. Hlm.324.
Harun, Martin. Pengantar Kepada Perjanjian Baru. Jakarta: STF Driyarkara. 2006.
Pendahuluan
Bila saya ditanya apa sebenarnya kepribadian sejati bangsa Indonesia, saya akan berpikir seribu kali untuk menjawabnya. Saya menyadari bahwa begitu banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Bahkan sebelum negara Indonesia terbentuk, suku-suku bangsa tersebut sudah menghiasi wajah kepulauan Indonesia. Oleh karena itu saya belum bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat krusial karena bagaimana kita akan membangun negara ini bila kita tidak sungguh-sungguh mengenal siapa kita, apa kekuatan dan kelemahan kita, komponen apa saja yang cukup penting untuk menjadi dasar berpijak membangun negara ini.
Rachmat Subagya (RS), melalui bukunya berjudul Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia, hendak menawarkan suatu tema tentang identitas sejati bangsa Indonesia yang de facto terdiri dari 360 suku bangsa ini. Melalui studi dan penelitian tentang suku-suku tersebut, RS mencoba mendalami agama dan kerohanian asli suku-suku tersebut dengan harapan akan membuka cakrawala baru bagi siapa pun yang berhasrat ingin mengenal identitas bangsa Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya hendak menyampaikan hal-hal yang penting dalam buku RS tentang agama asli di Indonesia, pertemuannya dengan agama pendatang, pola-pola penyesuaian yang dilakukan oleh agama asli, krisis yang dialami agama asli dan bagaimana agama asli bangkit di tengah derasnya arus agama-agama pendatang dengan segala perangkat modernnya. Selanjutnya, bagaimana agama-agama asli itu mempengaruhi dan mewarnai keperibadian bangsa Indonesia dan akhirnya ditutup dengan tanggapan kritis terhadap tulisan RS.
Agama Asli Indonesia
Dalam bab pendahuluan, RS mencoba mendefiniskan agama asli sebagai kerohanian dari suatu bangsa atau dari suku bangsa sejauh berasal dan diperkembangkan di tengah-tengah bangsa itu sendiri dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian bangsa lain atau menirunya. Kerohanian itu dihayati dalam sikap batin terhadap Zat Tertinggi, suatu pengada yang mempunyai kekuatan tak terbatas dan mengatasi manusia. Kerohanian sendiri adalah cara khusus dalam menghayati hakekat agama umum. Sedangkan agama adalah sikap iman kepada Hakekat Tertinggi yang menaungi hidup manusia dan yang kepadanya manusia merasa bergantung sehingga menimbulkan sikap batin khusus kepadaNya.
Yang dimaksud dengan asli lebih diartikan sebagai otokhton yang berarti berasal dari bumi/ daerah itu sendiri, yang sejak dahulu sudah ada di situ dan tidak diimpor dari luar. Agama asli di Indonesia nampak dalam dua ragam, yaitu yang satu murni tak tercampur dan yang lain tercampur atau menyamar. Agama asli jenis murni terdapat pada suku bangsa yang dikenal dengan protomelayu seperti Nusa Tenggara Timur sampai dengan Irian Jaya, Siberut, Nias Selatan, Kubu dan Lubu di Sumatra Selatan, Punan di Kalimantan, Toala dan Tokea di Sulawesi Tengah. Contoh agama jenis ini adalah Parangan Ada, agama asli di Sulawesi Tengah, Ono Niha di Nias
Agama asli jenis kedua yang sudah banyak mengalami pencampuran dan keaslian mereka hampir hilang terdapat pada suku bangsa yang dikenal dengan deuteromelayu seperti Sumatra, Jawa, Bali, Madura, Bawean, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Nias. Agama asli ini bergerak di dalam agama universal secara menyamar (incognito). Mereka tidak bergerak secara menyolok memperlihatkan kebatinan yang mereka hayati dalam agama universal yang mereka anut, melainkan apabila ada kesempatan, mereka akan mengungkapkannya. Kadangkala kedua penghayatan yang serentak ini bertentangan satu sama lain.
Pertemuan Agama Asli dengan Agama Pendatang
Menurut RS, masuknya agama-agama pendatang diakui ikut mempengaruhi proses pembaharuan dalam agama-agama asli di Indonesia meskipun tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia, khususnya dalam penghayatan hidup. Kedatangan agama-agama pendatang tersebut diawali oleh agama Hindu yang dipelopori oleh para pelaut India yang disusul oleh para brahmana. Namun, dari berbagai peninggalan zaman Hindu-Indonesia, entah berupa candi, arca maupun tulisan, tampak bahwa agama Hindu tak pernah bisa menjadi milik bangsa Indonesia. Karakter agama asli-lah yang justru tampak lebih dominan. Disusul kemudian oleh masuknya agama Budha yang mengalami pengalaman lebih buruk dibandsingkan dengan Agama Hindu. Bukti kegagalannya yang terbesar adalah bahwa Sang Budha didewakan dan disamakan dengan dewa Civa, lalu disembah sebagai Civabudha, dewa tertinggi di kerajaan Singasari dan Majapahit, pun di Bali. Tidak ketinggalan pada tahun sekitar 645-1500 M, agama Kristen pertama masuk . Namun kekristenan pertama ini kurang berbekas sama sekali karena diindikasikan kurang mengakar di Indonesia dan hubungan mereka yang terputus dengan pusatnya di Asia Barat. Kemungkinan lain adalah adanya ekspansi Muslim pada abad ke-15. Islam pun mengalami hal yang sama dengan agama pendahulunya, yaitu kurang mengakar di hati masyarakat pribumi karena pertama, Islam hanya menjadi agama penguasa, yaitu agama para penguasa. Sedangkan rakyat tidak sungguh-sungguh menghayati agama tersebut. Kedua, sifat arabnya yang sulit membaur dengan agama asli. Ketiga, belum ada evaluasi teologis dari para cendekiawan muslim sendiri terhadap kerohanian agama-agama lain. Sementara itu pada abad ke-16, agama Kristen masuk lagi untuk kedua kalinya. Kali ini, Kristen membawa pesan universal yang mampu diterima oleh agama asli karena membuka ruang untuk mengormati dan melestarikan keaslian agama asli. Kekurangan yang dirasakan oleh agama asli terhadap agama kristen ini adalah pakaian ritus yang dipakai dan simbol roti anggur dalam ritus tersebut. Selain itu, kekristenan sering dijadikan alat untuk mencapai kepentingan pribadi dari sekelompok orang kristen tertentu.
Pertemuannya dengan agama asing ini mempunyai dua corak yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan. Corak yang menguntungkan adalah corak yang bersifat membangun (alokhton). Corak ini dikatakan membangun apabila mampu melengkapi agama asli sehingga agama asli mengalami kemajuan. Corak kedua dinamakan heterokhton karena berbeda dengan agama asli, dengan demikian tidak mampu meluruskan agama asli.
Kepercayaan Indonesia Asli
Kepercayaan yang ada dalam agama-agama asli menarik untuk diperhatikan secara lebih dekat karena dari macam-macam kepercayaan kita bisa melihat momen semiotik yang bisa membantu pemahaman kita mengenai kepribadian bangsa Indonesia.
Pada umumnya, agama-agama asli di Indonesia percaya akan adanya suatu aturan tetap yang mengatasi segala apa yang terjadi dalam alam dunia atau yang dilakukan oleh manusia. Aturan tersebut berasal dari suatu Hakekat Tertinggi yang bersifat ilahi. Ada dua bentuk sikap dalam memandang Yang Ilahi itu. Pertama, Yang Ilahi disebut sebagai fascinosum, artinya yang menarik dan mempesona. Kedua, Yang Ilahi disebut sebagai tremendum, yaitu yang menakutkan, yang jauh dan dahsyat.Jika kedua bentuk sikap itu digabung akan melahirkan teisme dan monoteisme.
Di berbagai daerah yang tidak memeluk agama pendatang, muncul sebutan teistis seperti sebutan orang Batak terhadap Tuhan dengan nama Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon, orang Jawa memakai nama Hyang Murbeng Dumadi. Nama-nama ketuhanan ini mengungkapkan sikap batin manusia terhadap Tuhan yang dipakai dalam istilah deisme. Deisme diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan yang jauh dari manusia. Dalam paham deisme dan mitologi alam dikenal istilah animisme, yaitu suatu kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan ikut campur dalam urusan manusia. Cara lain untuk memenuhi kebutuhan manusia akan Tuhan yang dekat adalah paham hierofani dan teofani. Dalam paham hierofani, pancaran dan kekuasaan ilahi nampak dalam alam dunia; dalam paham teofani, Tuhan sendiri mengenakan wujud insani, ia dianggap turun dari surga untuk sementara menghuni tubuh insani.
Pandangan agama asli terhadap manusia juga menarik untuk diperhatikan bahwa mereka mengandaikan manusia berjiwa dua, yaitu jiwa selama manusia hidup dan jiwa sesudah manusia mati terpisah dari badan. Selain itu, mereka juga memahami bahwa manusia terdiri dari unsur alam raya.
Kepercayaan asli Indonesia terhadap dunia juga nampak di dalam cerita-cerita rakyat. Menurut RS ada pola umum dalam cerita-cerita tersebut mengenai kejadian dunia. Pola tersebut memuat beberapa hal, yaitu 1) dualisme antara alam atas dan bawah, 2) terjadinya perkawinan antarkeduanya, 3) turunan mereka menjadi penguasa dunia, 3) adanya pertarungan antara lambang-lambang atas dan bawah, dan 4) kematian satu pihak dipandang sebagai kurban diri. Pola tersebut, pada umumnya disebut homologi antropokosmis, yaitu kesesuaian manusia dengan dunia. Kesesuaian ini melahirkan pengenalan akan perhitungan bintang yang disebut astrologi dan horoskop. Hal ini untuk melihat keharmonian dengan alam sebagai bentuk transendensi yang ilahi. Dinamisme, suatu kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat atau bertuah juga menjadi bagian yang khas dari agama-agam asli.
Pandangan agama asli terhadap ketuhanan, jiwa manusia, dan alam dunia itu mengungkapkan bahwa mereka (manusianya) berusaha mencari makna hidup di dunia ini. Eksistensinya yang serba terbatas membuat perbuatan manusia selalu berdimensi dua, yaitu vertika dan horisontal. Dalam dimensi vertikal, manusia mengalami celah dalam hidupnya yang melahirkan ketegangan, perceraian antara cita-cita mulia dan realitas bengis. Oleh karena itu ia perlu menyesuaikan diri dengan tata alam agar disinari dan diringkatkan oleh kontak dan partisipasi pada kenyataan yang lebih tinggi. Dalam dimensi horisontal, manusia terlibat dalam perbuatan yang konkret yang menghasilkan perbuatan khusus yang bersifat simbolis, artinya perbuatan tersebut melambangkan kenyataan yang mengatasinya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan suatu lambang lahiriah yang membuat hidup batin mereka menjadi hidup dan bergairah. Lambang itu berupa mitos asal dan ritus atau upacara, yaitu kelakuan simbolis yang mengkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tatanan tersebut. Contoh upacara dalam agama asli adalah Upacara Toraja, Sa’dan dan di Jawa Bedhoyo Ketawang, suatu tarian sakral. Selain itu ada upacara harian seperti misal upacara mulai panen padi, membuat rumah, pemberkatan desa, upacara peralihan, upacara perkawinan, dan upacara yang berkaitan dengan kematian dan pemakaman.
Krisis Agama Asli dan Kebangkitannya
RS melihat bahwa dalam sejarahnya, keberadaan agama asli selalu mengalami krisis eksistensi seiring membanjirnya agama-agama asing yang masuk ke Indonesia. Agama pendatang selalu mengancam keberadaan agama asli dengan berpayungkan para penguasa. Selalu ada konfrontasi tegas untuk mempertahankan agama asli dari agama pendatang. Pada saat agama Islam masuk, mereka memandang penduduk yang beragama asli sebagai pendosa atau abangan.
Pada zaman penjajah, krisis agama asli memuncak dengan pengkategorian mereka sebagai kafir dan barang yang tersisa. Peraturan pemerintah juga mewajibkan mereka melakukan proses perkawinan dengan tata cara Islam. Namum, dari pihak Islam tidak ada usaha serius untuk mendidik orang Islam itu secara Islami. Demikian pula pada zaman kemerdekaan, polarisasi Islam Santri semakin meningkat, misalnya dengan pasal Ketuhanan yang mahaesa.
Tantangan agama asli adalah ancaman terhadap ateisme, dunia modern yang menawarkan nilai-nilai baru, kemerosotan moral yang menggoncangkan iman akibat kehadiran teknologi yang mampu mengatasi bencana dan penyakit, dan tantangan dari arus sekularisasi. Perkembangan rasionalitas masyarakat melalui pendidikan membuat hal-hal yang dianggap irasional dalam agama asli menjadi tidak tahan uji terutama mereka yang berada di pedesaan. Mereka mulai bertanya tentang kegiatan mereka yang irasional dan mereka berusaha lepas dari kegiatan yang tidak masuk akal itu. Kehadiran teknologi yang diusung oleh modernitas sering dirasa lebih menjanjikan dan lebih memenuhi kebutuhan mereka sehingga peran ekonomi dalam arus sekularisasi menjadi lebih besar. Sebagai akibatnya, mereka mulai terpisah dari keagamaan mereka.
Krisis yang melanda agama asli mempunyai dua dampak bagi para penganutnya. Pertama, Ada yang menggantikan kepercayaan kuno mereka dengan suatu pandangan hidup baru; kedua, ada pula yang berusaha menyesuaikan keyakinan mereka mengenai ketuhanan, manusia, dan alam dari tempo dulu dengan tuntutan jaman sekarang. Usaha ini dilakukan agar identitas mereka tidak tenggelam dalam arus modernisasi. Sebagai pengimbang arus modernisasi teesebut muncullah beragam aliran kebatinan yang menyediakan baik peningkatan rasa agama dan kepribadian asli maupun pemulangan harga diri melawan rasa minder terhadap teknologi asing. Tercatat ada sekitar 644 aliran yang terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan pada tahun 1972. Perkembangan terbesar ada di daerah-daerah yang tidak aman karena teror laskar , di pelosok-pelosok yang berekonomi minus, dan di kota-kota besar tempat detradisionalisasi meraja lela.
Pembentukan Kepribadian Bangsa Indonesia
Dari uraian mengenai agama asli dan segala pergulatannya, tidak mudah untuk merumuskan kepribadian bangsa Indonesia yang terdiri dari 360 suku tersebut. Keprihatinan untuk merumuskan kepribadian dan sifat-sifat khusus bangsa Indonesia menjadi suatu permenungan yang tidak mudah untuk dijawab. Ada dua macam pluralitas dalam kepribadian bangsa Indonesia sangat bersifat sinkronis (sejaman) dan diakronis (melalui zaman). Kepribadian Indonesia secara sinkronis belum merupakan kepribadian kesatuan. Perbedaan yang berasal dari pluralitas itu hanya dapat disalurkan ke kesatuan nasional di bawah naungan lambang Bhinneka Tunggal Ika. Namun penyatuan yang tergesa-gesa ke dalam lambang tersebut dapat memiskinkan kepribadian bangsa yang sudah terdapat dalam genius loci, khasiat dari primordial solidarity dengan golongan sebahasa, seadat, dan serasa hidup. Agaknya proses penyerahan dari identitas regional ke identitas nasional tidak akan terjadi secara serentak dan sewaktu. Proses penyatuan itu harus tepat guna karena menurut RS, apa gunanya keragaman Indonesia bila tidak punya substansi.
Pluralitas kepribadian Indonesia juga mengalami proses melalui zaman atau yang disebut diakronis. Pergantian tipe kepribadian juga dapat menguasai suatu zaman, dimana satu tipe kepribadian dalam suatu zaman dapat merupakan tambahan terhadap warisan dahulu atau sebagai reaksi. Oleh karena itu, R. Moh. Ali menentukan adanya lima tipe, yaitu manusia magis, manusia mistis, manusia feodal, dan manusia pencari pola hidup yang menurut M. Ali bersifat ekstrovert dan dinamis dibanding keempat tipe sebelumnya yang bersifat introvert, retrospektif atau ber-status quo dan hanya mempertahankan kelangsungkan penderitaan rakyat.
RS lalu menawarkan suatu rumusan percobaan mengenai pokok-pokok keindonesiaan, pertama adalah keselamatan sebagai suatu keseluruhan dari keselamatan rohani dan jasmani, dunia dan akherat; kedua, etik dan pencitraan manusia dalam sosialisai dan akulturasi yang memperlihatkan gambaran yang sama; ketiga, kolektivitas asli atau keinsafan kesatuan orang-orang dengan gotong royong, musyawarah, perayaan, upacara dan ikatan-ikatan masyarakat yang lain sudah cukup dimaklumi; keempat, kecenderungan akan identifikasi adalah pokok lain. Manusia Indonesia lebih mencari harmoni dan kerukunan sampai ke dalam perasaan: rela, tenteram, sumarah, sabar dan lain-lain dibandingkan corak kebudayaan Eropa yang terdiri dari kategori-kategori yang jelas, tegas, dan terpisah satu sama lain. Akhirnya, RS menekankan pentingnya penyussunan teologi, moral sosial dan spiritualitas yang bercorak pribumi.
Tanggapan Kritis
Pertama-tama saya hendak mengungkapkan kekaguman saya akan usaha RS dalam menampilkan agama dan kerohanian asli bangsa Indonesia. Dari ulasannya, terungkap wajah Indonesia yang pada hakekatnya merupakan perpaduan pelbagai macam agama, kerohanian, dan budaya asli. Bagi saya, bukunya nampak seperti mininiatur yang mencerminkan kepribadian asli bangsa Indonesia. Pertanyaan saya adalah sungguh aslikah apa yang telah dipaparkannya mengenai agama dan alam kerohanian asli bangsa Indonesia? Jika ya, sampai sejauh mana keasliannya dapat dibuktikan.
Memang, RS telah menjelaskan dalam bab pendahuluan definisi tentang asli, yaitu wajar, yang sungguh-sungguh, jujur, pribumi, yang sejati, yang tulus, serentak: orisinil, mempribadi, berakar, dan berdasar teguh, selaras dan sepadan, otentik dan otokhton. Namun, saya masih mempunyai keraguan tentang yang apa yang asli. Berangkat dari keraguan saya, saya berpendapat apa yang dipaparkan RS dalam bukunya tersebut adalah semacam fenomena yang tertangkap olehnya pada saat ia melakukan penyelidikan terhadap pelbagai agama dan kerohanian bangsa Indonesia selama beberapa periode tertentu (pastilah masih seputar abad ke-20). Ada suatu rentang jarak yang cukup panjang antara usaha penyelidikannya dengan keberadaan awal agama dan kerohanian asli bangsa Indonesia tersebut. Katakanlah ia melakukan penelusuran sejarah melalui berbagai peninggalan sejarah yang ada (yang sempat ditemukan, dipelihara, dan dianggap bernilai historis oleh para ahli arkeologis), kemudian membuat suatu kesimpulan bahwa agama dan kerohanian suatu suku bangsa tersebut dapat dikatakan asli. Memang saya mengakui bahwa fenomena atau apa yang nampak secara lahiriah mengungkapkan kerohanian suatu suku tertentu dan bisa mencerminkan kepribadian atau apa yang dihayati suku tersebut. Namun jaminan keaslian dari suatu penghayatan suku tertentu tidaklah bisa dibuktikan mengingat adanya keterbatasan jarak dan waktu antara penulisan dan kehadiran suku tersebut di bumi Indonesia. Menurut saya, fenomena (termasuk peninggalan purbakala) tersebut merupakan hasil perjalanan panjang (pergulatan) suatu agama asli dari sisi historisitasnya yang bagi saya masih berupa misteri, apakah sungguh asli berangkat dari penghayatan seseorang mengenai kehidupan atau memang sudah pada awalnya mendapat pengaruh atau setidak-tidaknya terinspirasi oleh suatu budaya lain.
Pertanyaan saya berikutnya adalah apakah peng-abstraksi-an pelbagai agama dan kerohanian asli tersebut ke dalam suatu sistemasi yang disampaikan RS sungguh mewakili “kesejatian” agama-agama tersebut. Menurut saya, universalisasi atas keunikan masing-masing agama akan mereduksi “kesejatian” agama-agama asli tersebut. Dengan kata lain, tetap ada sesuatu “yang lain” atau kekhasan agama-agama tersebut yang tidak bisa diabstraksi begitu saja. Apabila RS hendak melakukan pendefinisian tentang kepribadian bangsa Indonesia berdasarkan hasil abstraksinya atau peng-universalisasi-annya atas pelbagai macam agama dan kerohanian suku-suku tersebut, menurut saya, menjadi tidak utuh atau bukan merupakan suatu totalitas yang mendasar. Bagi saya, kepribadian bangsa Indonesia sangatlah komplek. Usaha pendefinisan atas kepribadian bangsa Indonesia menurut saya masih harus memerlukan semacam diskursus yang panjang. Saya memahami bahwa RS baru dalam taraf suatu penawaran sebuah rumusan tentang pokok-pokok keindonesiaan. Namun, menurut saya, langkah RS sudah tepat karena penyajian keindonesiaan ala RS ini bisa menjadi titik tolak bagi usaha pemahaman tentang kepribadian bangsa Indonesia lainnya.
Sumber Acuan
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.2001.
Subagya, Rachmat. Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia. Jakarta Pusat: Yayasan Cipta Loka Caraka bekerja sama dengan Penerbit Nusa Indah dan Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik.1979.
Acuan Tambahan
Anderson, Benedict R.O’G. ”Political Culture in Indonesia”. Hlm.324.
Harun, Martin. Pengantar Kepada Perjanjian Baru. Jakarta: STF Driyarkara. 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar