Vico SJ
Pendahuluan
Isu gender sudah bukan menjadi berita yang mengejutkan lagi. Isu tersebut merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum ada penyelesaian yang jitu. Kaum perempuan masih menjadi nomor dua setelah laki-laki. Namun, bukan berarti tidak ada perkembangan yang berarti. Pen-subordinasian terhadap kaum perempuan sudah disadari oleh kaum perempuan sendiri sebagai sebuah diskriminasi terhadap mereka. Oleh karena itu gerakan feminisme muncul sebagai reaksi atas ketidakadilan itu di mana hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dibatasi.
Karena feminisme Islam tidak dapat dilepaskan dari teks-teks keagamaan yang sangat menentukan kesadaran masyarakat, berbagai usaha untuk kembali kepada sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadis) untuk menanggapi persoalan tersebut telah dicoba. Namun, usaha kembali tersebut harus berhadapan dengan dua persoalan, pertama ada kontradiksi di dalam teks tersebut yang di sisi satu menyuarakan kesetaraan gender, di sisi lain menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Kedua, teks-teks tersebut perlu ditafsirkan secara baru bagi masyarakat modern saat ini karena teks-teks tersebut merupakan refleksi-refleksi atas situasi sosial budaya di mana Al-Qur'an diturunkan. Artinya, refleksi-refleksi dalam Al-Qur'an bisa dikatakan merupakan produk dari zaman itu. Persoalannya adalah bagaimana mengkaitkan antara Al-Qur'an yang diturunkan pada zaman tertentu dengan budaya masyarakat modern sekarang, khususnya perlakuan terhadap perempuan yang tentu saja sangat berbeda dengan konteks zaman itu?
Makalah pendek ini akan mencoba mengulas dua persoalan itu dengan menguraikan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teks-teks Al-Qur'an dan mengkaitkan teks-teks tersebut dengan situasi masyarakat modern, khususnya di Indonesia. Metode yang penulis lakukan adalah studi literatur dari berbagai sumber yang mungkin bisa memperkaya kasanah tulisan ini.
Bias Gender dalam Al-Qur'an
Telah diakui bahwa Islam membawa banyak perubahan sejak kehadirannya di tanah Arab yang waktu itu masih dikuasai oleh tradisi Jahiliyah. Menurut Nurul Agustina, dasar ikatan pernikahan yang semula adalah kepemilikan diganti menjadi ikatan kontraktual. Perempuan menjadi berhak menyatakan keberatan terhadap calon suami yang disodorkan walinya. Contoh lain adalah dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw yang mengatakan bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Dalam surat al-Hujrat (Al-Qur'an 49:13) disebutkan bahwa Allah sudah menciptakan pria dan wanita dalam suku dan bangsa yang berbeda-beda sehingga mereka satu sama lain dapat saling mengenal. Juga disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sejajar di hadapan Allah. Dengan demikian, Allah tidak membeda-bedakan laki-laki dan wanita. Di hadapan-Nya semua sama jika taqwa melakukan apa yang diperintahkan-Nya
Namun, kesulitan muncul—menurut M. Atho Mudzhar—ketika ada beberapa hadis yang justru mengatakan bahwa suatu masyarakat tidak akan pernah mencapai posisi puncak selama dipimpin oleh wanita. Hadis ini oleh beberapa kalangan dinilai sangat merendahkan derajat perempuan. Demikian juga terdapat ungkapan-ungkapan kontradiktif dalam Al-Qur'an yang diungkapkan Mudzhar, seperti misal dalam surat al-Nissa dipahami bahwa Siti Hawa, istri Nabi Adam diciptakan dari tulang rusuk yang menandakan sifat dasar wanita yang lebih rendah daripada pria. Dalam surat yang sama disebutkan bahwa pria adalah pemimpin bagi wanita. Hal ini menandakan bahwa laki-laki kedudukannya lebih tinggi dari wanita. Dalam surat al-Baqarah disebutkan pula bahwa kesaksian wanita dalam perjanjian utang piutang separo dari kesaksian pria.
Setelah sejenak melihat beberapa contoh kontradiksi yang ada, lalu bagaimana menentukan standar doktrin Islam yang mapan? Mudzhar dengan menarik membuat sebuah kesimpulan bahwa dalam sepuluh tahun pertama kelahiran Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat besarnya, kaum perempuan nampak menikmati kebebasan yang besar dalam menjalani kehidupan mereka. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama setelah munculnya para penafsir Al-Qur'an yang memainkan peranan cukup besar dalam membentuk tafsiran atas kemauan dan perintah Tuhan. Para penafsir ini menurut Mudzhar meskipun memiliki kedekatan dengan Nabi, namun berasal dari kelas atau segmen masyarakat tertentu yang disertai dengan budaya patriarki yang kuat.
Di sini nampak bahwa penafsiran teks-teks Al-Qur’an tetap diwarnai oleh salah satu budaya yang masih menganggap perempuan itu termasuk kelas dua. Menurut saya, Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diperuntukkan bagi umat-Nya saat itu adalah suci dan baik, terutama untuk mengangkat kaum perempuan yang mengalami masa-masa mengenaskan pada masa sebelum Islam ke taraf yang lebih baik. Persoalannya adalah manusia-manusia penafsir yang kebetulan dekat dengan Nabi itu memiliki kepentingan sendiri dalam menafsirkan keinginan Allah dalam Al-Qur’an. Jadi, untuk sungguh bebas nilai terhadap Al-Qur’an amat tidak mudah dilakukan karena terkait dengan nilai-nilai atau budaya dan tradisi yang sudah melekat dalam diri seseorang.
Saya tertarik dengan apa yang dikatakan Agustina sehubungan dengan urusan tafsir-menafsir teks Al-Qur’an ini. Beliau mengatakan bahwa tafsir harus dibedakan dari agama. Agama bersifat mutlak dan berada di dataran abstrak, sementara tafsir—sesuai dengan penafsirnya—bersifat relatif. Oleh karena itu, menurutnya, ketaksaan bahasa Al-Qur’an justru sebenarnya malah membuka pintu dialog dan penafsiran kembali selalu terbuka. Namun, saya mencoba mengkritisi pendapat Agustina bahwa ada persoalan di situ, yaitu sejauh mana tafsiran-tafsiran itu diterima oleh kalangan Kaum Muslim yang lebih luas. Bukankah tipologi masyarakat kita itu sangat patriariki dan paternal. Oleh karena itu, tafsiran itu pasti tidak bisa lepas dari bahasa-bahasa paternalistik yang cenderung memihak pada kaum laki-laki saja.
Lebih jauh lagi saya tertarik dengan apa yang disampaikan Prof. Dr. Nasarudin Umar ketika beliau diwawancarai oleh Nong Darol Mahmada dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang fakta adanya bias gender dalam kitab-kitab suci agama-agama lain, seperti Bible, kitab Konghucu, Budha, bahkan kitab Talmud. Beliau cukup heran dengan fenomena yang sama itu. Lalu beliau mencoba meneliti sumber penyebabnya. Menurut beliau, ada dua unsur penting yang turut membentuk wacana keagamaan yang bias gender tentang perempuan tersebut, yakni faktor teologi dan mitos. Maksudnya adalah bahwa terkadang dasar pandangan tentang perempuan itu mitos, namun dianggap kitab suci. Oleh karena itu, dalam bukunya berjudul Teologi Perempuan: Antara Mitos dan Kitab Suci, beliau banyak melakukan klarifikasi yang mana kitab suci yang mana mitos, yang mana budaya Arab, yang mana doktrin Islam.
Jika demikian, apa yang bisa dilakukan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi arus penafsiran yang sarat dengan budaya patriarki itu? Gerakan feminisme mungkin bisa menjadi harapan bagi kaum perempuan Islam untuk menghidupkan dan memberdayakan kembali hak-haknya sebagai manusia yang setara dengan kaum laki-laki
Feminisme Islam: Salah Satu Usaha Revivalisasi Islam
Lalu apa sebenarnya feminisme itu? Agustina mendefinisikan feminisme sebagai kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan yuang disebabkan oleh adanya sistem sosial yang tidak adil, yakni perbedaan jenis kelamin, dominasi laki-laki, dan sistem patriarkat. Gerakan feminisme tidak berhenti pada kesadaran, melainkan meliputi tindakan konkret untuk mencapai kesetaraan, harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih dan mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Selain itu, menurut Agustina, feminisme bertujuan untuk membangun tatanan yang masyarakat yang adil baik bagi perempuan maupun laki-laki, yakni masyarakat yang bebas dari penindasan dan diskriminasi berdasarkan kelas, jenis kelamin, kasta, dan suku. Feminisme hendak menyadarkan kaum perempuan akan hak-hak mereka, segala bentuk penindasan yang mereka alami, opresi, eksploitasi dan subordinasi.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, ada fenomena menarik tentang gerakan feminisme di Barat. Memang awalnya tujuan gerakan feminisme Islam senada dengan gerakan feminisme di barat. Namun, muncul feminis-feminis radikal yang mengutuk sistem partriaki, mencemooh institusi perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks yang justru menodai reputasi gerakan tersebut. Bagi feminis radikal, tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy.
Namun, gerakan ini akhirnya mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak karena dituduh merusak institusi keluarga, mempengaruhi banyak wanita untuk mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan. Dan karena terlalu radikal melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan itu berangsur-angsur surut dan tinggal wacana.
Gerakan feminisme radikal ini berpengaruh juga di kalangan Muslim, misalnya Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis the Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for The Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat, Zainah Anwar dari Sisters in Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama adalah dampak dari gerakan feminisme radikal di Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam.
Oleh karena itu, sebaiknya gerakan feminisme Islam tetap bertitik tolak pada ajaran-ajaran inti Islam yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah demi pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanitanya saja. Gerakan feminisme Islam yang sehat adalah berasaskan Islami dengan bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan agenda mereka. Jangan sampai terperangkap lagi ke dalam dualisme yang bersifat dikotomis.
Feminisasi di Indonesia
Ada upaya untuk melindungi kaum perempuan dari ketidakadilan hukum di Indonesia. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, namun masih gamang dalam melindungi hak-hak kaum perempuan dalam hukum-hukumnya. Ada kesan kuat, reformasi hukum untuk melindungi kaum perempuan masih suram, artinya masih ada kelompok konservatif yang ingin secara gigih mempertahankan doktrin Islam yang mapan tentang wanita.
Munawir Sadzali di tahun 80-an pernah berargumen bahwa bagian separo anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dalam hal warisan bukanlah peraturan yang final, namun lebih merupakan masa transisi, atau peraturan transisi. Kemudian Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU, ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departeman Agama RI mengeluarkan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah digagas sejak tahun 1985. Meskipun draft itu di saat bersamaan menuai kecaman keras dari kelompok konservatif yang memandang isi LCD itu kontroversial, meresahkan, dan mungkin menghina otoritas KHI, daya guncang yang dihasilkan cukup besar. Alasannya adalah bahwa draft itu tidak berpijak di tanah kosong atau hanya dalam ranah abstrak saja, melainkan berpijak pada realitas keseharian perempuan yang diakibatkan oleh hukum keluarga di Indonesia yang masih ”memusuhi” perempuan.
Tantangan yang dihadapi kaum feminis di Indonesia menurut Agustina adalah bagaimana mengolah dan mempertahankan isu kesetaraan gender supaya tidak ”fades away” alias surut dan perlahan-lahan menghilang. Selanjutnya bagaimana isu kesetaraan gender ini juga dipahami oleh kaum awam yang merupakan anggota terbesar masyarakat Indonesia.
Kesimpulan
Kembali pada judul makalah ini, sungguhkah feminisme Islam menjadi salah satu daya kekuatan untuk merevivalisasi Islam sehingga isu gender semakin bisa diatasi? Jawaban saya adalah bisa apabila ada kesepahaman di antara umat Islam sendiri mengenai pentingnya kesetaraan itu dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Persoalannya adalah tidak mudah membangun kesepahaman itu mengingat dalam tubuh Islam sendiri terdiri dari berbagai macam aliran yang masing-masing mengusung sendiri tafsiran-tafsiran mereka terhadap Al-Qur’an. Daya tafsir tentu saja mempengaruhi cara pandang dan cara bertindak. Inilah yang menjadikan Islam itu warna-warni. Seandainya ada satu badan yang resmi untuk melakukan kajian keIslaman, tentu tetap besar kemungkinan akan tergelincir pada kekuasaan atau klaim kebenaran atas tafsiran Al-Qur’an bila ada tafsiran lain.
Hal yang paling dirugikan tentu saja kaum awam yang tidak mengerti sama sekali tentang bagaimana melakukan tafsiran secara benar atas Al-Qur’an, terutama kaum perempuan. Situasi di Indonesia cukup beragam dan kompleks tidak seperti di negara-negara Arab. Ada beragam budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang melingkupi setiap kaum Muslim yang tersebar di seantero nusantara ini. Tentu akan sulit apabila menerapkan satu tafsiran atas kutipan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an pada kasus per kasus karena setiap kasus itu unik, singular, dan membutuhkan suatu interpretasi dan rekontekstualisasi yang segar untuk mampu dengan jernih melihatnya.
Mengenai isu kontradiktif dalam teks-teks Al-Qur’an, ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa kontradiksi itu demikian jelas, namun ada pihak yang mengatakan bahwa tidak ada yang kontradiktif tentang isu gender dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, penting sekali peran ilmu kajian historis sosiologis dan hermeneutika untuk membantu melakukan interpretasi baru apa-apa yang dahulu terjadi di jaman Nabi Muhammad dengan mengkaitkannya dengan situasi masyarakat Indonesia.
Sumber Acuan:
Agustina, Nurul. "Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society" dalam Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer oleh Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor). Jakarta: Paramadina. 2005.
Hanafi, Hasan dkk. 2007. Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (editor). 2005. Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina.
Mudzhar, M. Atho. "Status Wanita dalam Islam dan Masyarakat Muslim", dalam Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal oleh Hasan Hanafi dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Internet:
http://paramadina.wordpress.com/2007/03/16/semua-kitab-suci-bias-gender pada tanggal 25 Mei 2008, jam 22.00.
http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com pada tanggal 25 Mei 2008, jam 23. 08.
Pendahuluan
Isu gender sudah bukan menjadi berita yang mengejutkan lagi. Isu tersebut merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum ada penyelesaian yang jitu. Kaum perempuan masih menjadi nomor dua setelah laki-laki. Namun, bukan berarti tidak ada perkembangan yang berarti. Pen-subordinasian terhadap kaum perempuan sudah disadari oleh kaum perempuan sendiri sebagai sebuah diskriminasi terhadap mereka. Oleh karena itu gerakan feminisme muncul sebagai reaksi atas ketidakadilan itu di mana hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dibatasi.
Karena feminisme Islam tidak dapat dilepaskan dari teks-teks keagamaan yang sangat menentukan kesadaran masyarakat, berbagai usaha untuk kembali kepada sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadis) untuk menanggapi persoalan tersebut telah dicoba. Namun, usaha kembali tersebut harus berhadapan dengan dua persoalan, pertama ada kontradiksi di dalam teks tersebut yang di sisi satu menyuarakan kesetaraan gender, di sisi lain menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Kedua, teks-teks tersebut perlu ditafsirkan secara baru bagi masyarakat modern saat ini karena teks-teks tersebut merupakan refleksi-refleksi atas situasi sosial budaya di mana Al-Qur'an diturunkan. Artinya, refleksi-refleksi dalam Al-Qur'an bisa dikatakan merupakan produk dari zaman itu. Persoalannya adalah bagaimana mengkaitkan antara Al-Qur'an yang diturunkan pada zaman tertentu dengan budaya masyarakat modern sekarang, khususnya perlakuan terhadap perempuan yang tentu saja sangat berbeda dengan konteks zaman itu?
Makalah pendek ini akan mencoba mengulas dua persoalan itu dengan menguraikan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teks-teks Al-Qur'an dan mengkaitkan teks-teks tersebut dengan situasi masyarakat modern, khususnya di Indonesia. Metode yang penulis lakukan adalah studi literatur dari berbagai sumber yang mungkin bisa memperkaya kasanah tulisan ini.
Bias Gender dalam Al-Qur'an
Telah diakui bahwa Islam membawa banyak perubahan sejak kehadirannya di tanah Arab yang waktu itu masih dikuasai oleh tradisi Jahiliyah. Menurut Nurul Agustina, dasar ikatan pernikahan yang semula adalah kepemilikan diganti menjadi ikatan kontraktual. Perempuan menjadi berhak menyatakan keberatan terhadap calon suami yang disodorkan walinya. Contoh lain adalah dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw yang mengatakan bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Dalam surat al-Hujrat (Al-Qur'an 49:13) disebutkan bahwa Allah sudah menciptakan pria dan wanita dalam suku dan bangsa yang berbeda-beda sehingga mereka satu sama lain dapat saling mengenal. Juga disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sejajar di hadapan Allah. Dengan demikian, Allah tidak membeda-bedakan laki-laki dan wanita. Di hadapan-Nya semua sama jika taqwa melakukan apa yang diperintahkan-Nya
Namun, kesulitan muncul—menurut M. Atho Mudzhar—ketika ada beberapa hadis yang justru mengatakan bahwa suatu masyarakat tidak akan pernah mencapai posisi puncak selama dipimpin oleh wanita. Hadis ini oleh beberapa kalangan dinilai sangat merendahkan derajat perempuan. Demikian juga terdapat ungkapan-ungkapan kontradiktif dalam Al-Qur'an yang diungkapkan Mudzhar, seperti misal dalam surat al-Nissa dipahami bahwa Siti Hawa, istri Nabi Adam diciptakan dari tulang rusuk yang menandakan sifat dasar wanita yang lebih rendah daripada pria. Dalam surat yang sama disebutkan bahwa pria adalah pemimpin bagi wanita. Hal ini menandakan bahwa laki-laki kedudukannya lebih tinggi dari wanita. Dalam surat al-Baqarah disebutkan pula bahwa kesaksian wanita dalam perjanjian utang piutang separo dari kesaksian pria.
Setelah sejenak melihat beberapa contoh kontradiksi yang ada, lalu bagaimana menentukan standar doktrin Islam yang mapan? Mudzhar dengan menarik membuat sebuah kesimpulan bahwa dalam sepuluh tahun pertama kelahiran Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat besarnya, kaum perempuan nampak menikmati kebebasan yang besar dalam menjalani kehidupan mereka. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama setelah munculnya para penafsir Al-Qur'an yang memainkan peranan cukup besar dalam membentuk tafsiran atas kemauan dan perintah Tuhan. Para penafsir ini menurut Mudzhar meskipun memiliki kedekatan dengan Nabi, namun berasal dari kelas atau segmen masyarakat tertentu yang disertai dengan budaya patriarki yang kuat.
Di sini nampak bahwa penafsiran teks-teks Al-Qur’an tetap diwarnai oleh salah satu budaya yang masih menganggap perempuan itu termasuk kelas dua. Menurut saya, Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diperuntukkan bagi umat-Nya saat itu adalah suci dan baik, terutama untuk mengangkat kaum perempuan yang mengalami masa-masa mengenaskan pada masa sebelum Islam ke taraf yang lebih baik. Persoalannya adalah manusia-manusia penafsir yang kebetulan dekat dengan Nabi itu memiliki kepentingan sendiri dalam menafsirkan keinginan Allah dalam Al-Qur’an. Jadi, untuk sungguh bebas nilai terhadap Al-Qur’an amat tidak mudah dilakukan karena terkait dengan nilai-nilai atau budaya dan tradisi yang sudah melekat dalam diri seseorang.
Saya tertarik dengan apa yang dikatakan Agustina sehubungan dengan urusan tafsir-menafsir teks Al-Qur’an ini. Beliau mengatakan bahwa tafsir harus dibedakan dari agama. Agama bersifat mutlak dan berada di dataran abstrak, sementara tafsir—sesuai dengan penafsirnya—bersifat relatif. Oleh karena itu, menurutnya, ketaksaan bahasa Al-Qur’an justru sebenarnya malah membuka pintu dialog dan penafsiran kembali selalu terbuka. Namun, saya mencoba mengkritisi pendapat Agustina bahwa ada persoalan di situ, yaitu sejauh mana tafsiran-tafsiran itu diterima oleh kalangan Kaum Muslim yang lebih luas. Bukankah tipologi masyarakat kita itu sangat patriariki dan paternal. Oleh karena itu, tafsiran itu pasti tidak bisa lepas dari bahasa-bahasa paternalistik yang cenderung memihak pada kaum laki-laki saja.
Lebih jauh lagi saya tertarik dengan apa yang disampaikan Prof. Dr. Nasarudin Umar ketika beliau diwawancarai oleh Nong Darol Mahmada dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang fakta adanya bias gender dalam kitab-kitab suci agama-agama lain, seperti Bible, kitab Konghucu, Budha, bahkan kitab Talmud. Beliau cukup heran dengan fenomena yang sama itu. Lalu beliau mencoba meneliti sumber penyebabnya. Menurut beliau, ada dua unsur penting yang turut membentuk wacana keagamaan yang bias gender tentang perempuan tersebut, yakni faktor teologi dan mitos. Maksudnya adalah bahwa terkadang dasar pandangan tentang perempuan itu mitos, namun dianggap kitab suci. Oleh karena itu, dalam bukunya berjudul Teologi Perempuan: Antara Mitos dan Kitab Suci, beliau banyak melakukan klarifikasi yang mana kitab suci yang mana mitos, yang mana budaya Arab, yang mana doktrin Islam.
Jika demikian, apa yang bisa dilakukan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi arus penafsiran yang sarat dengan budaya patriarki itu? Gerakan feminisme mungkin bisa menjadi harapan bagi kaum perempuan Islam untuk menghidupkan dan memberdayakan kembali hak-haknya sebagai manusia yang setara dengan kaum laki-laki
Feminisme Islam: Salah Satu Usaha Revivalisasi Islam
Lalu apa sebenarnya feminisme itu? Agustina mendefinisikan feminisme sebagai kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan yuang disebabkan oleh adanya sistem sosial yang tidak adil, yakni perbedaan jenis kelamin, dominasi laki-laki, dan sistem patriarkat. Gerakan feminisme tidak berhenti pada kesadaran, melainkan meliputi tindakan konkret untuk mencapai kesetaraan, harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih dan mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Selain itu, menurut Agustina, feminisme bertujuan untuk membangun tatanan yang masyarakat yang adil baik bagi perempuan maupun laki-laki, yakni masyarakat yang bebas dari penindasan dan diskriminasi berdasarkan kelas, jenis kelamin, kasta, dan suku. Feminisme hendak menyadarkan kaum perempuan akan hak-hak mereka, segala bentuk penindasan yang mereka alami, opresi, eksploitasi dan subordinasi.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, ada fenomena menarik tentang gerakan feminisme di Barat. Memang awalnya tujuan gerakan feminisme Islam senada dengan gerakan feminisme di barat. Namun, muncul feminis-feminis radikal yang mengutuk sistem partriaki, mencemooh institusi perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks yang justru menodai reputasi gerakan tersebut. Bagi feminis radikal, tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy.
Namun, gerakan ini akhirnya mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak karena dituduh merusak institusi keluarga, mempengaruhi banyak wanita untuk mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan. Dan karena terlalu radikal melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan itu berangsur-angsur surut dan tinggal wacana.
Gerakan feminisme radikal ini berpengaruh juga di kalangan Muslim, misalnya Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis the Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for The Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat, Zainah Anwar dari Sisters in Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama adalah dampak dari gerakan feminisme radikal di Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam.
Oleh karena itu, sebaiknya gerakan feminisme Islam tetap bertitik tolak pada ajaran-ajaran inti Islam yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah demi pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanitanya saja. Gerakan feminisme Islam yang sehat adalah berasaskan Islami dengan bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan agenda mereka. Jangan sampai terperangkap lagi ke dalam dualisme yang bersifat dikotomis.
Feminisasi di Indonesia
Ada upaya untuk melindungi kaum perempuan dari ketidakadilan hukum di Indonesia. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, namun masih gamang dalam melindungi hak-hak kaum perempuan dalam hukum-hukumnya. Ada kesan kuat, reformasi hukum untuk melindungi kaum perempuan masih suram, artinya masih ada kelompok konservatif yang ingin secara gigih mempertahankan doktrin Islam yang mapan tentang wanita.
Munawir Sadzali di tahun 80-an pernah berargumen bahwa bagian separo anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dalam hal warisan bukanlah peraturan yang final, namun lebih merupakan masa transisi, atau peraturan transisi. Kemudian Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU, ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departeman Agama RI mengeluarkan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah digagas sejak tahun 1985. Meskipun draft itu di saat bersamaan menuai kecaman keras dari kelompok konservatif yang memandang isi LCD itu kontroversial, meresahkan, dan mungkin menghina otoritas KHI, daya guncang yang dihasilkan cukup besar. Alasannya adalah bahwa draft itu tidak berpijak di tanah kosong atau hanya dalam ranah abstrak saja, melainkan berpijak pada realitas keseharian perempuan yang diakibatkan oleh hukum keluarga di Indonesia yang masih ”memusuhi” perempuan.
Tantangan yang dihadapi kaum feminis di Indonesia menurut Agustina adalah bagaimana mengolah dan mempertahankan isu kesetaraan gender supaya tidak ”fades away” alias surut dan perlahan-lahan menghilang. Selanjutnya bagaimana isu kesetaraan gender ini juga dipahami oleh kaum awam yang merupakan anggota terbesar masyarakat Indonesia.
Kesimpulan
Kembali pada judul makalah ini, sungguhkah feminisme Islam menjadi salah satu daya kekuatan untuk merevivalisasi Islam sehingga isu gender semakin bisa diatasi? Jawaban saya adalah bisa apabila ada kesepahaman di antara umat Islam sendiri mengenai pentingnya kesetaraan itu dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Persoalannya adalah tidak mudah membangun kesepahaman itu mengingat dalam tubuh Islam sendiri terdiri dari berbagai macam aliran yang masing-masing mengusung sendiri tafsiran-tafsiran mereka terhadap Al-Qur’an. Daya tafsir tentu saja mempengaruhi cara pandang dan cara bertindak. Inilah yang menjadikan Islam itu warna-warni. Seandainya ada satu badan yang resmi untuk melakukan kajian keIslaman, tentu tetap besar kemungkinan akan tergelincir pada kekuasaan atau klaim kebenaran atas tafsiran Al-Qur’an bila ada tafsiran lain.
Hal yang paling dirugikan tentu saja kaum awam yang tidak mengerti sama sekali tentang bagaimana melakukan tafsiran secara benar atas Al-Qur’an, terutama kaum perempuan. Situasi di Indonesia cukup beragam dan kompleks tidak seperti di negara-negara Arab. Ada beragam budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang melingkupi setiap kaum Muslim yang tersebar di seantero nusantara ini. Tentu akan sulit apabila menerapkan satu tafsiran atas kutipan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an pada kasus per kasus karena setiap kasus itu unik, singular, dan membutuhkan suatu interpretasi dan rekontekstualisasi yang segar untuk mampu dengan jernih melihatnya.
Mengenai isu kontradiktif dalam teks-teks Al-Qur’an, ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa kontradiksi itu demikian jelas, namun ada pihak yang mengatakan bahwa tidak ada yang kontradiktif tentang isu gender dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, penting sekali peran ilmu kajian historis sosiologis dan hermeneutika untuk membantu melakukan interpretasi baru apa-apa yang dahulu terjadi di jaman Nabi Muhammad dengan mengkaitkannya dengan situasi masyarakat Indonesia.
Sumber Acuan:
Agustina, Nurul. "Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society" dalam Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer oleh Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor). Jakarta: Paramadina. 2005.
Hanafi, Hasan dkk. 2007. Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (editor). 2005. Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina.
Mudzhar, M. Atho. "Status Wanita dalam Islam dan Masyarakat Muslim", dalam Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal oleh Hasan Hanafi dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Internet:
http://paramadina.wordpress.com/2007/03/16/semua-kitab-suci-bias-gender pada tanggal 25 Mei 2008, jam 22.00.
http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com pada tanggal 25 Mei 2008, jam 23. 08.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar