Pendahuluan
Masyarakat suku Tengger bagi saya adalah suatu masyarakat yang menarik untuk diperhatikan. Saya pernah berjumpa dengan masyarakat ini pada tahun 2005, ketika saya sedang dalam perjalanan mendaki Gunung Semeru dan Gunung Bromo, tepatnya di daerah Ranu Pane di sekitar danau Ranu Pane, 2500 meter di atas permukaan air laut dan di kaki Gunung Bromo. Kesan pertama adalah kesederhanaan masyarakat ini dan bangunan Puranya yang indah dan terawat dengan baik di sekitar danau dan di atas pelataran lautan pasir di kaki Gunung Bromo.
Masyarakat ini dipercaya masih mempunyai kaitan erat dengan kerajaan di Jawa yang pernah berjaya sekitar abad ke-14, yaitu Kerajaan Majapahit. Bahkan masyarakat ini pernah disebut sebagai tiyang Gajah Mada.
Masyarakat ini mempunyai berbagai upacara adat yang penting seperti upacara hari raya Kasada, upacara hari raya Karo, Entas-entas dan Unang-Unang, yang bersifat tradisional. Dalam paper pendek ini, pertama-tama saya akan memberikan gambaran singkat mengenai letak geografis dan gambaran umum masyarakat suku Tengger, kemudian menjelaskan secara singkat apa itu upacara ritual Kasada beserta mitos seputar upacara dan tata inti upacara, kemudian peran dukun dalam upacara.
Letak Geografis Masyarakat Suku Tengger
Masyarakat Suku Tengger mendiami wilayah di kaki Gunung Bromo, tepatnya di Kecamatan Sumber, Kabupaten Pobolinggo. Gunung Bromo merupakan titik pusat dari suatu daerah pegunungan yang luas yang dinamakan Tengger. Daerah dataran tinggi Tengger terdiri atas lembah-lembah dan lereng-lereng perbukitan. Luas daerah Tengger terbentang dari arah Utara ke Selatan sekitar 40 km, dan dari arah Timur ke Barat sekitar 30 km. Ketinggiannya antara 1000--3676 meter di atas permukaan laut. Secara administratif, pegunungan Tengger terletak di daerah pertemuan empat kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang.
Gunung Bromo ( 2.392 meter d.p.l ) sendiri terletak di atas Kaldera (kawah) Tengger yang berupa lautan pasir yang sangat luas. Bahkan kaldera lautan pasir ini merupakan kaldera yang paling luas di Pulau Jawa.
Iklim di daerah Tengger adalah tropis. Namun pada saat musim penghujan antara bulan November sampai dengan bulan Maret, terdapat kabut yang sangat tebal sehingga kelembaban udara terasa sangat dingin. Pada musim kemarau, cuaca agak bersih dan pada malam hari biasanya temperatur terasa lebih dingin dari pada musim hujan.
Gambaran Umum Masyarakat Suku Tengger
Masyarakat Suku Tengger disebut sebagai tiyang Gajah Mada oleh Kraton Yogyakarta hingga sampai abad ke-18. Menurut sebuah naskah yang berasal dari Kraton Mataram, yang berangka tahun 1814, orang-orang Gajah Mada ini adalah penduduk di sebuah pegunungan yang dihadiahkan kepada Mahapatih Gajah Mada atas jasa-jasanya oleh Kraton Majapahit, sebuah kerajaan Hindu-Budha terakhir di Jawa pada abad ke-14.
Kerajaan tersebut jatuh oleh serangan Sultan Agung, Raja kerajaan Mataram (1613—1646) sekitar abad ke-15 sehingga sebagian orang-orang Majapahit melarikan diri ke pegunungan tersebut, termasuk di sini adalah Roro Anteng dan Jaka Seger. Di sana mereka tetap melestarikan agama leluhur mereka yang disebut agama Hindu. Mereka sangat yakin bahwa agama yang dianutnya adalah keturunan agama Hindu yang murni. Selanjutnya, banyak orang-orang Tengger telah mengidentisasikan tradisi keagamaan ini sebagai agama Hindu. Agama Hindu mereka sama seperti agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Namun, mereka tidak mempunyai istana, senjata, kekayaan seni budaya tradisional, maupun sistim kasta seperti di Bali. Setiap orang diakui mempunyai hak yang sama. Mereka jug a terkenal dengan ketaatannya pada adat istiadat mereka. Mereka percaya bahwa yang menjadi ikatan di antara mereka adalah hukum karma. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha berbuat baik.
Menurut M. Khoirul Anwar, masyarakat suku Tengger dikenal sebagai masyarakat yang jujur, sederhana dan hemat. Mereka tidak mempunyai keinginan yang muluk-muluk. Mereka tidak mempunyai rasa iri hati pada milik orang lain. Meskipun mereka mempunyai banyak harta, tak sedikit pun mereka mempunyai keingingan untuk bersaing dengan sesamanya.
Sementara itu mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani. Mereka menanam tanaman holtikultura. Tanaman pokok yang mereka tanam adalah jagung, ketela pohon, ketela rambat, umbi-umbian, dan sayur-sayuran seperti kentang, bawang putih, kobis, bawang pre, besai, dan wortel. Tanaman yang mereka tanam pada umumnya dapat dipetik dua kali setahun.
Upacara Ritual Kasada
Setiap tahun, pada tengah malam, pukul 00.00 wib sampai dengan 07.00 wib pada hari ke-15 bulan terakhir (bulan kedua belas) menurut kalender tahunan Tengger, ribuan orang Tengger berkumpul di Pura Poten yang terletak di pelataran pasir (poten) di kaki Gunung Bromo untuk merayakan upacara yang disebut Kasada, sesuai dengan nama bulan kedua belas, Kasada.
Upacara ini diawali dengan pengambilan air suci dari Sumber Widodaren, yang terletak di dalam sebuah gua di Puncak Gunung Bromo, kemudian di simpan di Pura Poten pada hari sebelumnya. Pada saat yang sama para pembantu atau asisten Dukun (legen) mempersiapkan persembahan sesaji (sesajen) yang bakal dipesembahkan kepada para dewa. Pada hari H, duduk berdampingan di atas alas semen di dasar gunung, 28 pemimpin upacara (dukun) berdoa kepada roh pegunungan dan memberi persembahan sesaji berupa daging matang, nasi, uang, dan sejumlah persedian makanan yang dibawa orang-orang desa. Setelah dukun-dukun itu menyelesaikan doanya dan mempersembahkan bahan-bahan kurban, penduduk desa mulai naik ke bagian utara dari puncak Gunung Bromo ke arah kawah dimana mereka melemparkan persembahan mereka ke kedalaman kawah. Sementara itu, di saat matahari telah naik beberapa jam sesudahnya, sebagian peserta upacara telah pulang karena telah menyelesaikan kewajiban ritual tahunan mereka.
Menurut , upacara ini sangat penting bagi masyarakat Suku Tengger karena upacara ini diyakini oleh masyarakat setempat memiliki nilai sakral yang sangat penting bagi kehidupan mereka Mereka beranggapan bahwa hidup itu harus selaras dengan irama alam. Segala peristiwa negatif yang terjadi di dunia ini adalah akibat rusaknya keharmonisan manusia dengan alam. Oleh karena itu perlulah menjalin hubungan yang harmonis dengan alam melalui ritual dan upacara yang ada.
Mitos Sekitar Upacara Ritual Kasada
Upacara ini bermula dari adanya kepercayaan yang diyakini dan diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun, yaitu “kekeramatan Gunung Bromo” dan daerah sekitarnya. Kekeramatan itu adalah berawal dari sejarah dan mitos masyarakat tentang sepasang suami istri : Roro Anteng dengan Joko Seger, yang merupakan asal-usul pertama penghuni daerah ini. Perkawinan mereka telah lama belum membuahkan keturunan sehingga mereka memutuskan untuk bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widi agar memberikan mereka anak dan berjanji bahwa kelak anak terakhir akan mereka persembahkan kepada para dewa di Gunung Bromo. Setelah semedi permohonan mereka dikabulkan sehingga setelah beberapa waktu lamanya mereka mempunyai 25 anak. Namun, mereka tidak rela menyerahkan anak terakhir, Raden Kusuma kepada para dewa di Gunung Bromo, hingga pada suatu saat kawah Gunung Bromo mengeluarkan lava dan cuaca menjadi mendung gelap dan petir terus menerus bergemuruh. Melihat hal ini, mereka yakin bahwa para dewa sedang marah karena mereka telah ingkar janji. Kemudian mereka membawa semua anaknya ke lautan pasir Gunung Bromo dan berdoa di sana. Tiba-tiba anak terakhir tersambar petir dan jatuh ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah suasana agak stabil, terdengarlah suara gaib dari Gunung Bromo yang diyakini sebagai suara Raden Kusuma:
“Wahai ayah dan ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah tenteram, aku berkorban demi kamu semua. Oleh karena itu hiduplah dengan rukun serta berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Kalian jangan memikirkan aku, pesanku satu jangan dilupakan: kirimkanlah sebagian hasil ladaang tanah ini ke kawah dan lakukanlah di saat bulan purnama setiap bulan Kasada”.
Sejak saat itu setiap bulan Kasada ditetapkan upacara ritual Kasada.
Tata Inti Urutan Upacara Ritual Kasada
Inti sebenarnya dari upacara ritual ini adalah sesuai dengan pola umum, yaitu melalui doa pemimpin upacara (dukun), para dewa diundang ke dalam dunia dan diberikan penghormatan dengan persembahan yang dibawa oleh para peserta ritual yang telah disucikan terlebih dahulu dengan air suci oleh pemimpin upacara. Tujuan umum dari upacara ini adalah untuk mendatangkan berkat bagi seluruh penduduk Tengger. Berkat tersebut dapat diperoleh hanya melalui kehadiran para dewa dan para dewa tersebut dapat dihadirkan hanya melalui tata urutan upacara yang sudah diatur secara hati-hati oleh para dukun.
Persembahan yang dibawa adalah bagian penting dari upacara ini karena sungguh tidak sakral apabila mengundang para dewa tanpa persembahan makanan. Persembahan khusus yang disediakan bagi para dewa adalah berupa sajenan dari daging matang, nasi, dan makanan-makanan yang berasa manis. Persembahan itu harus disiapkan oleh asisten dukun. Persembahan ini harus disucikan terlebih dahulu oleh dukun dengan air suci. Setelah mengucapkan doa penyucian, dukun tersebut mengundang para dewa untuk makan sari dari makanan-makanan itu. Sisa makanan persembahan tersebut tidak dihancurkan, melainkan diberikan kepada para peserta setelah upara ritual ini selesai.
Setelah mengundang para dewa untuk menikmati persembahan tersebut, dukun menutup tata urutan ritual tersebut dengan ritual resmi sembah hati ; tangannya dalam posisi doa dan mendaraskan sebuah doa, kemudian mengayunkan kedua tangannya ke pinggangnya sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk memberi salam hormat kepada para dewa kapan pun dan di mana pun ketika para dewa dipanggil. Jika ada ritual tambahan yang harus dilakukan, seperti pernikahan atau pemberkatan orang mati, atau pelantikan kepada dukun (ketua adat) baru, ritual tambahan tersebut harus dilakukan setelah upacara inti, yaitu mengundang para dewa, acara makan, dan penghormatan kepada para dewa.
Menurut Hefner ada beberapa ritual yang mendahului hari upacara ritual Kasada yang dilaksanakan dirumah seorang dukun secara pribadi dengan bantuan kehadiran asistennya beberapa hari sebelum hari H. Dukun tersebut memulai ritual yang mengarah ke Gunung Bromo tersebut dengan membakar sebuah kemenyan untuk memberitahu para dewa akan keberangkatan mereka ke Gunung Bromo. Ritual pemberitahuan ini disebut semeninga. Hari berikutnya ada sebuah ritual pemberitahuan yang serupa kepada para dewa. Ritual ini dilakukan di atas tebing di atas lautan pasir. Upacara ini tidak ada upacara penghormatan.
Baru beberapa tahun belakangan ini, tujuh sesepuh Hindu dari masing-masing desa berkumpul untuk menentukan upacara pendahuluan macam apa yang akan dilakukan oleh masing-masing individu dukun. Baru kemudian disempurnakan ke dalam upacara besar yang disaksikan oleh ribuah penduduk dari tujuh desa.
Menurut Hefner, Kasada adalah sebuah ritual besar yang berskala sosial namun sederhana dan tidak ada tarian maupun pesta. Tidak ada ritus lain yang mampu menggerakkan orang dari seluruh daerah pegunungan dalam ritual umum. Gunung Bromo diyakini oleh masyarakat Suku Tengger adalah pusat dari dunia mereka.
Hal yang menarik di sela-sela upacara adalah adanya para pedagang dari dataran rendah Tengger yang menjual minuman, makanan, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Mereka hanya mendapat penerangan dari lentera yang mereka bawa. Selain itu, ada juga sekelompok orang Cina, orang jawa dari dataran rendah, dan beberapa dari daerah yang jauh mengikuti upacara ritual ini dengan membawa persembahan. Kehadiran mereka menandakan bahwa upacara ritual Kasada telah tersebar luas. Namun, belakangan ini, kehadiran mereka malah mengurangi kesakralan suasana upacara tersebut karena di antara mereka ada yang membawa loud speaker yang mengeluarkan bunyi dari sebuah musik dengan suara yang memecah keheningan selama upacara.
Peranan Dukun dalam Upacara
Pusat perhatian selama upacara adalah para dukun pemimpin upacara. Menurut Muhamat Hayat, dukun adalah tokoh adat yang sangat dihormati dan berkarisma bagi masyarakat suku Tengger. Mereka begitu dihormati karena dipercaya masih merupakan keturunan cucu dari Majapahit. Selain itu mereka telah memenuhi beberapa kriteria tertentu antara lain 1) pernah menjadi legen selama beberapa tahun, 2) hafal sebagian besar mantra-mantra yang dibacakan pada bermacam-macam jenis upacara adat, 3) telah memenuhi sebagian syarat lain yang harus dipenuhi oleh pemangku adat Tengger, dan 4) seseorang dapat diangkat menjadi calon dukun apabila di tahun sebelumnya (dalam 44 hari sebelum Kasada) di desa tempat calon dukun tersebut tidak ada orang meninggal dunia.
Selain itu, menurut Muslimin Machmud, masyarakat suku Tengger memandang kesakralan Gunung Bromo sebagai suatu hal yang harus dijunjung tinggi dan penuh resiko karena penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, kepala dukun dianggap sebagai penghubung antara alam gaib dengan masyarakat pengikutnya, oleh karena itu petunjuk dan arahan pemuka agama atau pemimpin kegiatan tersebut sangat dihargai dan diikuti.
Penutup
Melihat keunikan masyarakat suku Tengger ini , pertama-tama saya kagum kepada keteguhan mereka dalam mempertahankan tradisi asli dari leluhur mereka. Keharmonisan dengan alam tidak hanya diwujudkan dalam upacara-upacara yang ada , melainkan juga diwujudkan melalui relasi dengan sesama. Upacara-upacara yang ada, khususnya upacara Kasada yang melibatkan seluruh masyarakat suku Tengger memperlihatkan bahwa keharmonisan yang berdimensi vertikal dan horisontal patut diperjuangkan. Dalam dimensi vertikal, mereka sangat menyadari segala keterbatasan yang ada dalam diri mereka, lebih-lebih dalam mengusahakan hidup yang baik. Oleh karena itu, mereka membutuhkan berkat dari Hakekat Tertinggi untuk kelangsungan hidup mereka. Melalui beragam persembahan yang mereka bawa dari masing-masing rumah ke kurban persembahan dalam upacara Kasada, mereka hendak mengucap syukur atas segala kebaikan-kebaikan dalam hidup mereka sekaligus mohon kelanjutan dari berkat itu. Dimensi horisontal tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari yang bersahaja. Tidak adanya tingkat-tingkat dalam bahasa pengantar sehari-hari, tidak adanya kasta sebagaimana terdapat pada masyarakat Hindu pada umumnya menunjukkan bahwa kesejajaran setiap individu dalam kebersamaan mereka sangat dijunjung tinggi. Selain itu, kehadiran mereka dalam upacara Kasada semakin mempererat komunitas mereka dan semakin mempertegas identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat suku Tengger baik di antara sendiri maupun di mata pihak luar. .
Namun, saya mempunyai keprihatinan akan kelestarian tradisi ini mengingat semakin derasnya pengaruh faktor luar yang mulai berdatangan, yang membawa berbagai macam kepentingan dan budaya baru. Ada kemungkinan adanya pergeseran pemaknaan tradisi dari masyarakat suku Tengger sendiri. Jika hal ini tidak segera disikapi oleh masyarakat suku Tengger sendiri, kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja terjadi.
Acuan Utama
Anwar, M. Choirul. “Desa Ngadisari: Potret Pemberdayaan Berbasis Masyarakat”. Dalam
Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Nurudin (ed).
Hlm.179-180. Yogyakarta: LkiS. 2003.
Hayat, Muhamat. “Bertahannya Tradisi Tengger Dalam Masyarakat Yang Sedang
Berubah”. Dalam Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin
dan Tengger. Nurudin (ed). Hlm.154-155. Yogyakarta: LkiS. 2003.
Hefner, Robert W. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. New Jersey: Princenton
University Press. 1985.
Machmud, Muslimin. “Mitos dan Adat Istiadat Masyarakat Tengger”. Dalam Agama
Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Nurudin (ed). hlm.149.
Yogyakarta: LkiS. 2003.
Nurudin (ed). Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger.
Yogyakarta: LkiS. 2003.
Masyarakat suku Tengger bagi saya adalah suatu masyarakat yang menarik untuk diperhatikan. Saya pernah berjumpa dengan masyarakat ini pada tahun 2005, ketika saya sedang dalam perjalanan mendaki Gunung Semeru dan Gunung Bromo, tepatnya di daerah Ranu Pane di sekitar danau Ranu Pane, 2500 meter di atas permukaan air laut dan di kaki Gunung Bromo. Kesan pertama adalah kesederhanaan masyarakat ini dan bangunan Puranya yang indah dan terawat dengan baik di sekitar danau dan di atas pelataran lautan pasir di kaki Gunung Bromo.
Masyarakat ini dipercaya masih mempunyai kaitan erat dengan kerajaan di Jawa yang pernah berjaya sekitar abad ke-14, yaitu Kerajaan Majapahit. Bahkan masyarakat ini pernah disebut sebagai tiyang Gajah Mada.
Masyarakat ini mempunyai berbagai upacara adat yang penting seperti upacara hari raya Kasada, upacara hari raya Karo, Entas-entas dan Unang-Unang, yang bersifat tradisional. Dalam paper pendek ini, pertama-tama saya akan memberikan gambaran singkat mengenai letak geografis dan gambaran umum masyarakat suku Tengger, kemudian menjelaskan secara singkat apa itu upacara ritual Kasada beserta mitos seputar upacara dan tata inti upacara, kemudian peran dukun dalam upacara.
Letak Geografis Masyarakat Suku Tengger
Masyarakat Suku Tengger mendiami wilayah di kaki Gunung Bromo, tepatnya di Kecamatan Sumber, Kabupaten Pobolinggo. Gunung Bromo merupakan titik pusat dari suatu daerah pegunungan yang luas yang dinamakan Tengger. Daerah dataran tinggi Tengger terdiri atas lembah-lembah dan lereng-lereng perbukitan. Luas daerah Tengger terbentang dari arah Utara ke Selatan sekitar 40 km, dan dari arah Timur ke Barat sekitar 30 km. Ketinggiannya antara 1000--3676 meter di atas permukaan laut. Secara administratif, pegunungan Tengger terletak di daerah pertemuan empat kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang.
Gunung Bromo ( 2.392 meter d.p.l ) sendiri terletak di atas Kaldera (kawah) Tengger yang berupa lautan pasir yang sangat luas. Bahkan kaldera lautan pasir ini merupakan kaldera yang paling luas di Pulau Jawa.
Iklim di daerah Tengger adalah tropis. Namun pada saat musim penghujan antara bulan November sampai dengan bulan Maret, terdapat kabut yang sangat tebal sehingga kelembaban udara terasa sangat dingin. Pada musim kemarau, cuaca agak bersih dan pada malam hari biasanya temperatur terasa lebih dingin dari pada musim hujan.
Gambaran Umum Masyarakat Suku Tengger
Masyarakat Suku Tengger disebut sebagai tiyang Gajah Mada oleh Kraton Yogyakarta hingga sampai abad ke-18. Menurut sebuah naskah yang berasal dari Kraton Mataram, yang berangka tahun 1814, orang-orang Gajah Mada ini adalah penduduk di sebuah pegunungan yang dihadiahkan kepada Mahapatih Gajah Mada atas jasa-jasanya oleh Kraton Majapahit, sebuah kerajaan Hindu-Budha terakhir di Jawa pada abad ke-14.
Kerajaan tersebut jatuh oleh serangan Sultan Agung, Raja kerajaan Mataram (1613—1646) sekitar abad ke-15 sehingga sebagian orang-orang Majapahit melarikan diri ke pegunungan tersebut, termasuk di sini adalah Roro Anteng dan Jaka Seger. Di sana mereka tetap melestarikan agama leluhur mereka yang disebut agama Hindu. Mereka sangat yakin bahwa agama yang dianutnya adalah keturunan agama Hindu yang murni. Selanjutnya, banyak orang-orang Tengger telah mengidentisasikan tradisi keagamaan ini sebagai agama Hindu. Agama Hindu mereka sama seperti agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Namun, mereka tidak mempunyai istana, senjata, kekayaan seni budaya tradisional, maupun sistim kasta seperti di Bali. Setiap orang diakui mempunyai hak yang sama. Mereka jug a terkenal dengan ketaatannya pada adat istiadat mereka. Mereka percaya bahwa yang menjadi ikatan di antara mereka adalah hukum karma. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha berbuat baik.
Menurut M. Khoirul Anwar, masyarakat suku Tengger dikenal sebagai masyarakat yang jujur, sederhana dan hemat. Mereka tidak mempunyai keinginan yang muluk-muluk. Mereka tidak mempunyai rasa iri hati pada milik orang lain. Meskipun mereka mempunyai banyak harta, tak sedikit pun mereka mempunyai keingingan untuk bersaing dengan sesamanya.
Sementara itu mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani. Mereka menanam tanaman holtikultura. Tanaman pokok yang mereka tanam adalah jagung, ketela pohon, ketela rambat, umbi-umbian, dan sayur-sayuran seperti kentang, bawang putih, kobis, bawang pre, besai, dan wortel. Tanaman yang mereka tanam pada umumnya dapat dipetik dua kali setahun.
Upacara Ritual Kasada
Setiap tahun, pada tengah malam, pukul 00.00 wib sampai dengan 07.00 wib pada hari ke-15 bulan terakhir (bulan kedua belas) menurut kalender tahunan Tengger, ribuan orang Tengger berkumpul di Pura Poten yang terletak di pelataran pasir (poten) di kaki Gunung Bromo untuk merayakan upacara yang disebut Kasada, sesuai dengan nama bulan kedua belas, Kasada.
Upacara ini diawali dengan pengambilan air suci dari Sumber Widodaren, yang terletak di dalam sebuah gua di Puncak Gunung Bromo, kemudian di simpan di Pura Poten pada hari sebelumnya. Pada saat yang sama para pembantu atau asisten Dukun (legen) mempersiapkan persembahan sesaji (sesajen) yang bakal dipesembahkan kepada para dewa. Pada hari H, duduk berdampingan di atas alas semen di dasar gunung, 28 pemimpin upacara (dukun) berdoa kepada roh pegunungan dan memberi persembahan sesaji berupa daging matang, nasi, uang, dan sejumlah persedian makanan yang dibawa orang-orang desa. Setelah dukun-dukun itu menyelesaikan doanya dan mempersembahkan bahan-bahan kurban, penduduk desa mulai naik ke bagian utara dari puncak Gunung Bromo ke arah kawah dimana mereka melemparkan persembahan mereka ke kedalaman kawah. Sementara itu, di saat matahari telah naik beberapa jam sesudahnya, sebagian peserta upacara telah pulang karena telah menyelesaikan kewajiban ritual tahunan mereka.
Menurut , upacara ini sangat penting bagi masyarakat Suku Tengger karena upacara ini diyakini oleh masyarakat setempat memiliki nilai sakral yang sangat penting bagi kehidupan mereka Mereka beranggapan bahwa hidup itu harus selaras dengan irama alam. Segala peristiwa negatif yang terjadi di dunia ini adalah akibat rusaknya keharmonisan manusia dengan alam. Oleh karena itu perlulah menjalin hubungan yang harmonis dengan alam melalui ritual dan upacara yang ada.
Mitos Sekitar Upacara Ritual Kasada
Upacara ini bermula dari adanya kepercayaan yang diyakini dan diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun, yaitu “kekeramatan Gunung Bromo” dan daerah sekitarnya. Kekeramatan itu adalah berawal dari sejarah dan mitos masyarakat tentang sepasang suami istri : Roro Anteng dengan Joko Seger, yang merupakan asal-usul pertama penghuni daerah ini. Perkawinan mereka telah lama belum membuahkan keturunan sehingga mereka memutuskan untuk bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widi agar memberikan mereka anak dan berjanji bahwa kelak anak terakhir akan mereka persembahkan kepada para dewa di Gunung Bromo. Setelah semedi permohonan mereka dikabulkan sehingga setelah beberapa waktu lamanya mereka mempunyai 25 anak. Namun, mereka tidak rela menyerahkan anak terakhir, Raden Kusuma kepada para dewa di Gunung Bromo, hingga pada suatu saat kawah Gunung Bromo mengeluarkan lava dan cuaca menjadi mendung gelap dan petir terus menerus bergemuruh. Melihat hal ini, mereka yakin bahwa para dewa sedang marah karena mereka telah ingkar janji. Kemudian mereka membawa semua anaknya ke lautan pasir Gunung Bromo dan berdoa di sana. Tiba-tiba anak terakhir tersambar petir dan jatuh ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah suasana agak stabil, terdengarlah suara gaib dari Gunung Bromo yang diyakini sebagai suara Raden Kusuma:
“Wahai ayah dan ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah tenteram, aku berkorban demi kamu semua. Oleh karena itu hiduplah dengan rukun serta berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Kalian jangan memikirkan aku, pesanku satu jangan dilupakan: kirimkanlah sebagian hasil ladaang tanah ini ke kawah dan lakukanlah di saat bulan purnama setiap bulan Kasada”.
Sejak saat itu setiap bulan Kasada ditetapkan upacara ritual Kasada.
Tata Inti Urutan Upacara Ritual Kasada
Inti sebenarnya dari upacara ritual ini adalah sesuai dengan pola umum, yaitu melalui doa pemimpin upacara (dukun), para dewa diundang ke dalam dunia dan diberikan penghormatan dengan persembahan yang dibawa oleh para peserta ritual yang telah disucikan terlebih dahulu dengan air suci oleh pemimpin upacara. Tujuan umum dari upacara ini adalah untuk mendatangkan berkat bagi seluruh penduduk Tengger. Berkat tersebut dapat diperoleh hanya melalui kehadiran para dewa dan para dewa tersebut dapat dihadirkan hanya melalui tata urutan upacara yang sudah diatur secara hati-hati oleh para dukun.
Persembahan yang dibawa adalah bagian penting dari upacara ini karena sungguh tidak sakral apabila mengundang para dewa tanpa persembahan makanan. Persembahan khusus yang disediakan bagi para dewa adalah berupa sajenan dari daging matang, nasi, dan makanan-makanan yang berasa manis. Persembahan itu harus disiapkan oleh asisten dukun. Persembahan ini harus disucikan terlebih dahulu oleh dukun dengan air suci. Setelah mengucapkan doa penyucian, dukun tersebut mengundang para dewa untuk makan sari dari makanan-makanan itu. Sisa makanan persembahan tersebut tidak dihancurkan, melainkan diberikan kepada para peserta setelah upara ritual ini selesai.
Setelah mengundang para dewa untuk menikmati persembahan tersebut, dukun menutup tata urutan ritual tersebut dengan ritual resmi sembah hati ; tangannya dalam posisi doa dan mendaraskan sebuah doa, kemudian mengayunkan kedua tangannya ke pinggangnya sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk memberi salam hormat kepada para dewa kapan pun dan di mana pun ketika para dewa dipanggil. Jika ada ritual tambahan yang harus dilakukan, seperti pernikahan atau pemberkatan orang mati, atau pelantikan kepada dukun (ketua adat) baru, ritual tambahan tersebut harus dilakukan setelah upacara inti, yaitu mengundang para dewa, acara makan, dan penghormatan kepada para dewa.
Menurut Hefner ada beberapa ritual yang mendahului hari upacara ritual Kasada yang dilaksanakan dirumah seorang dukun secara pribadi dengan bantuan kehadiran asistennya beberapa hari sebelum hari H. Dukun tersebut memulai ritual yang mengarah ke Gunung Bromo tersebut dengan membakar sebuah kemenyan untuk memberitahu para dewa akan keberangkatan mereka ke Gunung Bromo. Ritual pemberitahuan ini disebut semeninga. Hari berikutnya ada sebuah ritual pemberitahuan yang serupa kepada para dewa. Ritual ini dilakukan di atas tebing di atas lautan pasir. Upacara ini tidak ada upacara penghormatan.
Baru beberapa tahun belakangan ini, tujuh sesepuh Hindu dari masing-masing desa berkumpul untuk menentukan upacara pendahuluan macam apa yang akan dilakukan oleh masing-masing individu dukun. Baru kemudian disempurnakan ke dalam upacara besar yang disaksikan oleh ribuah penduduk dari tujuh desa.
Menurut Hefner, Kasada adalah sebuah ritual besar yang berskala sosial namun sederhana dan tidak ada tarian maupun pesta. Tidak ada ritus lain yang mampu menggerakkan orang dari seluruh daerah pegunungan dalam ritual umum. Gunung Bromo diyakini oleh masyarakat Suku Tengger adalah pusat dari dunia mereka.
Hal yang menarik di sela-sela upacara adalah adanya para pedagang dari dataran rendah Tengger yang menjual minuman, makanan, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Mereka hanya mendapat penerangan dari lentera yang mereka bawa. Selain itu, ada juga sekelompok orang Cina, orang jawa dari dataran rendah, dan beberapa dari daerah yang jauh mengikuti upacara ritual ini dengan membawa persembahan. Kehadiran mereka menandakan bahwa upacara ritual Kasada telah tersebar luas. Namun, belakangan ini, kehadiran mereka malah mengurangi kesakralan suasana upacara tersebut karena di antara mereka ada yang membawa loud speaker yang mengeluarkan bunyi dari sebuah musik dengan suara yang memecah keheningan selama upacara.
Peranan Dukun dalam Upacara
Pusat perhatian selama upacara adalah para dukun pemimpin upacara. Menurut Muhamat Hayat, dukun adalah tokoh adat yang sangat dihormati dan berkarisma bagi masyarakat suku Tengger. Mereka begitu dihormati karena dipercaya masih merupakan keturunan cucu dari Majapahit. Selain itu mereka telah memenuhi beberapa kriteria tertentu antara lain 1) pernah menjadi legen selama beberapa tahun, 2) hafal sebagian besar mantra-mantra yang dibacakan pada bermacam-macam jenis upacara adat, 3) telah memenuhi sebagian syarat lain yang harus dipenuhi oleh pemangku adat Tengger, dan 4) seseorang dapat diangkat menjadi calon dukun apabila di tahun sebelumnya (dalam 44 hari sebelum Kasada) di desa tempat calon dukun tersebut tidak ada orang meninggal dunia.
Selain itu, menurut Muslimin Machmud, masyarakat suku Tengger memandang kesakralan Gunung Bromo sebagai suatu hal yang harus dijunjung tinggi dan penuh resiko karena penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, kepala dukun dianggap sebagai penghubung antara alam gaib dengan masyarakat pengikutnya, oleh karena itu petunjuk dan arahan pemuka agama atau pemimpin kegiatan tersebut sangat dihargai dan diikuti.
Penutup
Melihat keunikan masyarakat suku Tengger ini , pertama-tama saya kagum kepada keteguhan mereka dalam mempertahankan tradisi asli dari leluhur mereka. Keharmonisan dengan alam tidak hanya diwujudkan dalam upacara-upacara yang ada , melainkan juga diwujudkan melalui relasi dengan sesama. Upacara-upacara yang ada, khususnya upacara Kasada yang melibatkan seluruh masyarakat suku Tengger memperlihatkan bahwa keharmonisan yang berdimensi vertikal dan horisontal patut diperjuangkan. Dalam dimensi vertikal, mereka sangat menyadari segala keterbatasan yang ada dalam diri mereka, lebih-lebih dalam mengusahakan hidup yang baik. Oleh karena itu, mereka membutuhkan berkat dari Hakekat Tertinggi untuk kelangsungan hidup mereka. Melalui beragam persembahan yang mereka bawa dari masing-masing rumah ke kurban persembahan dalam upacara Kasada, mereka hendak mengucap syukur atas segala kebaikan-kebaikan dalam hidup mereka sekaligus mohon kelanjutan dari berkat itu. Dimensi horisontal tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari yang bersahaja. Tidak adanya tingkat-tingkat dalam bahasa pengantar sehari-hari, tidak adanya kasta sebagaimana terdapat pada masyarakat Hindu pada umumnya menunjukkan bahwa kesejajaran setiap individu dalam kebersamaan mereka sangat dijunjung tinggi. Selain itu, kehadiran mereka dalam upacara Kasada semakin mempererat komunitas mereka dan semakin mempertegas identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat suku Tengger baik di antara sendiri maupun di mata pihak luar. .
Namun, saya mempunyai keprihatinan akan kelestarian tradisi ini mengingat semakin derasnya pengaruh faktor luar yang mulai berdatangan, yang membawa berbagai macam kepentingan dan budaya baru. Ada kemungkinan adanya pergeseran pemaknaan tradisi dari masyarakat suku Tengger sendiri. Jika hal ini tidak segera disikapi oleh masyarakat suku Tengger sendiri, kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja terjadi.
Acuan Utama
Anwar, M. Choirul. “Desa Ngadisari: Potret Pemberdayaan Berbasis Masyarakat”. Dalam
Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Nurudin (ed).
Hlm.179-180. Yogyakarta: LkiS. 2003.
Hayat, Muhamat. “Bertahannya Tradisi Tengger Dalam Masyarakat Yang Sedang
Berubah”. Dalam Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin
dan Tengger. Nurudin (ed). Hlm.154-155. Yogyakarta: LkiS. 2003.
Hefner, Robert W. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. New Jersey: Princenton
University Press. 1985.
Machmud, Muslimin. “Mitos dan Adat Istiadat Masyarakat Tengger”. Dalam Agama
Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Nurudin (ed). hlm.149.
Yogyakarta: LkiS. 2003.
Nurudin (ed). Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger.
Yogyakarta: LkiS. 2003.
Acuan Tambahan
www.kompas.com/kompas-cetak/0110/06/UTAMA yang diambil pada hari Selasa, , 23
Maret 2006, pukul 23:30).
www.kompas.com yang diambil pada hari Selasa, 23 Maret 2006, pukul 23:34).
www.petra.ac.id/eastjava/tourism/kasada, yang diambil pada hari Selasa, 21 Maret 2006,
pukul 23:17).
www.kompas.com/kompas-cetak/0110/06/UTAMA yang diambil pada hari Selasa, , 23
Maret 2006, pukul 23:30).
www.kompas.com yang diambil pada hari Selasa, 23 Maret 2006, pukul 23:34).
www.petra.ac.id/eastjava/tourism/kasada, yang diambil pada hari Selasa, 21 Maret 2006,
pukul 23:17).
3 komentar:
Ingin tau kapan upacara kasada Tahun 2014 silahkan klik
http://liburanbromomurah.com/upacara-kasada-gunung-bromo/
Upacara kasada yang sangat sakral, adat istiadat yang sangat di budidayakan oleh para umat Hindu tengger di kawasan Bromo. boleh juga lihat di situs kami http://slatemka.wordpress.com
Posting Komentar