Vico SJ
Pengantar
Derrida tidak memberi penjelasan yang definitif tentang keadilan. Dalam teksnya, terutama bagian pertama, muncul persoalan apakah yang adil itu legal atau di seberang sesuatu yang legal? Bagi Derrida, keadilan bermain di wilayah yang legal dan di seberang legal. Keadilan berada di interval antara yang legal dan di luar yang legal. Keadilan bagi Derrida adalah suatu pengalaman pencarian terus-menerus yang membutuhkan interpretasi yang baru dan segar dan penangguhan terus-menerus sebagai ciri dari takdapatdiputuskan. Makalah ini akan berfokus pada keadilan sebagai pengalaman aporia, suatu pengalaman dari yang tidak mungkin.
Keadilan sebagai sebuah pengalaman dari yang tidak mungkin
Pertanyaan yang langsung spontan muncul adalah bagaimana mungkin pengalaman tentang yang tidak mungkin itu menjadi syarat bagi keadilan atau bagi sebuah putusan, tindakan, sikap, dan pemikiran yang adil? Bagaimana mungkin pengalaman tentang yang tidak mungkin itu dialami?
Derrida, dalam teksnya berjudul Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority” bagian pertama menyebutkan bahwa keadilan adalah sebuah pengalaman akan yang tidak mungkin. Suatu keadilan yang hanya akan menjadi sebuah pengalaman bila kita tidak mampu mengalaminya. Lalu apa maksudnya? Apakah keadilan itu tidak bisa dialami? Derrida mengatakan bahwa ,”It is possible as an experience of the impossible, there where, even if it does not exist (or does not yet exist, or never does exist), there is justice” (Derrida, 15). Maksudnya adalah bahwa keadilan itu mungkin sebagai sebuah pengalaman dari yang tidak mungkin entah apakah keadilan itu ada, atau jika keadilan itu tidak ada atau keadilan itu belum ada atau bahkan jika keadilan itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, ada tidaknya atau belum adanya sebuah keadilan itu akan tetap menjadi mungkin bila keadilan adalah pengalaman dari yang tidak mungkin. Bahasa sederhananya adalah bahwa keadilan itu mungkin jika berangkat dari pengalaman yang tidak mungkin. Lalu apa pengalaman yang tidak mungkin itu?
Keadilan, menurut Derrida, membutuhkan suatu pengalaman aporia. Pengalaman yang ia maksudkan adalah sebuah pelampauan (traversal), sesuatu yang melampaui yang bergerak menuju sebuah tujuan yang merupakan jalannya yang sesuai. Maksudnya adalah bahwa pengalaman itu akan menemukan jalannya, kemungkinannya. Jadi, pengalaman itu akan berakhir pada suatu tujuan yang sesuai. Dalam kaitannya dengan ini, pengalaman aporia tidak mungkin untuk dialami sepenuhnya karena pengalaman itu sesuatu yang tidak menawarkan sebuah jalan. Sebuah aporia adalah sesuatu yang berada di luar jalur (non-road), sesuatu yang tidak berada pada jalan. Bisa dikatakan bahwa aporia merupakan sebuah jalan yang tidak mempunyai akhir atau tujuan yang pasti karena ia di luar jalur, di luar kemungkinan yang mungkin bisa kita prediksikan, sesuatu yang menuntut kita untuk menafsirkan secara baru terus-menerus atau sebuah jalan buntu yang membuat kita terbentur pada batas-batas ketidakberdayaan kita.
Dengan demikian terjadilah suatu paradoks bahwa ada pengalaman yang merupakan sesuatu yang mungkin kita alami, namun di lain pihak keadilan hanya akan menjadi mungkin bila ada pengalaman tentang yang tidak mungkin, pengalaman yang di dalamnya orang terbentur oleh batas-batas dari hal yang bisa dialami, yaitu non-road.
Aporia dalam konteks relasi antara Keadilan dan Hukum
Derrida mengatakan bahwa keadilan tidak identik dengan hukum. Hukum bukanlah keadilan. Hukum adalah unsur perhitungan, adil bahwa karena ada hukum. Namun, keadilan tak dapat diperhitungkan, keadilan meminta kita untuk menghitung tanpa melakukan perhitungan (incalculable); dan pengalaman aporia adalah pengalaman dari keadilan yang merupakan momen atau peristiwa di mana keputusan yang adil atau yang tidak adil tak pernah dijamin oleh sebuah aturan.
”Law (droit) is not justice. Law is the element of calculation, and it is just that there be law, but justice is incalculable, it requires us to calculate with the incalculable; and the aporetic experience are the experiences, as improbable as they are necessary, of justice, that it to say of moments in which the decision between just and unjust is never insured by a rule.”
Untuk lebih jelas memahami posisi Derrida dalam menerangkan aporia dari keadilan, ia memberi beberapa contoh yang—menurut Derrida—seharusnya akan memperjelas atau barangkali menghasilkan sebuah kesulitan dan perbedaan yang tidak tetap antara keadilan dan hukum (droit), antara keadilan (yang tak terbatas, tak dapat dikalkulasi, pemberontakan terhadap aturan dan jauh dari simetri, heterogen) dan praktek keadilan sebagai hukum sebagai legitimasi atau legalitas, sebagai yang dapat distabilisasi dan dikalkulasi. Dalam beberapa contoh yang akan ia berikan, Derrida ingin mencoba membandingkan konsep keadilan—yang ia coba bedakan dari hukum—dengan konsep Levinas karena ketidakterbatasannya dan karena relasi yang heterogenis kepada yang lain (others), kepada wajah dari yang lain yang menggerakkannya yang ketidakterbatasannya tak dapat ia tematisasikan.
Aporia pertama: épokhè of the rule.
Yang dimaksud dengan épokhè dalam bahasa Yunani adalah sebuah perhentian atau semacam pemogokan, penundaan pengadilan, atau dalam bahasa Perancis (to epechein) berarti menunda (to hold back). Namun, Derrida hendak menjelaskan istilah itu secara lain, berkaitan dengan aturan.
Menurutnya, sesuatu putusan atau tindakan atau sikap atau pikiran dianggap adil atau tidak adil dan syarat untuk mengalami keadilan, bila seseorang bebas dan bertanggungjawab atas semua itu (putusan, tindakan, sikap, pikiran). Namun, kebebasan atau putusan dari yang adil ini harus mengikuti sebuah hukum atau sebuah aturan. Oleh karena itu, putusan itu harus memiliki daya untuk dapat dikalkulasi atau diperhitungkan. Bila tindakan itu mengaplikasikan sebuah aturan, sebuah hukum yang dapat dikalkulasi, boleh kita mengatakan bahwa putusan itu sah atau legal, tetapi salah bila kita mengatakan bahwa putusan itu adil.
Kemudian, Derrida mencoba memberikan sebuah contoh untuk menjelaskan lebih lanjut makna dari aporia pertama itu, yaitu dalam putusan pengadilan. Menurutnya, putusan seorang hakim dalam sebuah pengadilan dikatakan adil apabila putusan itu tidak hanya harus mengikuti sebuah aturan hukum atau hukum umum, melainkan harus mengasumsikannya, mengkaitkan nilai-nilainya dengan membangun kembali sebuah tindakan interpretasi seolah-olah hukum itu tidak ada sebelumnya, seolah-olah hakim sendiri menciptakan hukum di setiap kasus dengan sebuah ”fresh judment”, sebuah pengadilan yang sama sekali baru.
“To be just, the decision of a judge, for example, must not only follow a rule of law or a general law but must also assume it, approve it, confirm its value, by a reinstituting act of interpretation, as if ultimately nothing previously existed of the law, as if the judge himself invented the law in every case. No exixtence of justice as law can be just unless there is a “fresh judgement”.
Agar sebuah putusan menjadi adil dan bertanggungjawab, putusan itu harus memelihara hukum dan juga menghancurkannya atau menundanya untuk kemudian menciptakannya kembali di setiap kasus karena setiap kasus adalah yang lain (other). Setiap putusan adalah berbeda dan meminta sebuah interpretasi yang unik secara mutlak, di mana tidak ada jaminan yang mutlak dari aturan.
Jadi, kita tidak bisa mengatakan suatu putusan hakim dalam pengadilan itu adil bila dia mendasarkan putusannya di atas hukum atau aturan tertentu atau bila dia menunda keputusan-keputusannya, berhenti sejenak di hadapan yang takdapatdiputuskan (undecidable) atau jika dia melakukan improvisasi dan meninggalkan semua aturan, semua prinsip. Dengan kata lain, putusan yang adil itu berada pada tegangan antara mengikuti hukum atau aturan dan menidak pada aturan-aturan hukum, dengan menunda putusan itu hingga harus menciptakannya kembali secara baru (fresh).
Aporia Kedua: the ghost of the undecidable.
Menurut Derrida, takdapatdiputuskan (the undecible) ini bukanlah tegangan antara dua putusan , tetapi merupakan pengalaman (walau heterogen, asing terhadap susunan aturan yang dapat dikalkulasi) yang memberikan dirinya pada putusan yang tidak mungkin, sementara masih mendasarkan diri pada aturan dan hukum. Sebuah putusan yang tidak melalui pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan (the ordeal of the undecidable) tidak akan menjadi sebuah putusan bebas, putusan itu hanya menjadi aplikasi dari sebuah program yang dapat dikalkulasi. Boleh jadi putusan itu legal, tetapi tidak adil. Sekali pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan itu berlalu (jika hal itu mungkin), putusan akan kembali mengikuti sebuah aturan. Putusan itu tidak lagi hadir saat ini (presently just) atau adil sepenuhnya (fully just). Juga jika putusan itu dijamin oleh aturan atau hukum, putusan itu akan direduksi kepada kalkulasi dan kita tak dapat menyebutnya adil.
Lalu bagaimana menjaga agar sebuah putusan adil itu tidak tereduksi ke dalam sebuah kalkulasi atau perhitungan? Derrida melanjutkan bahwa pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan itu tak pernah berlalu atau terlewatkan. Pengalaman itu bukanlah sebuah peristiwa yang mengatasi atau mengarahkan dalam putusan. Yang takdapatdiputuskan itu tetaplah tertangkap setidaknya sebagai sebuah hantu di setiap keputusan, setiap peristiwa dari putusan. Kehadirannya sebagai sebuah hantu akan mendekonstruksi jaminan apa pun dari kehadiran yang akan meyakinkan kita akan keadilan dari sebuah putusan.
Aporia Ketiga: the urgency that obstruct the horizon of knowledge.
Horizon diartikan oleh derrida sebagai baik permulaan dan batas yang menentukan sebuah kemajuan yang tak terbatas maupun sebuah saat menunggu. Namun, bagi Derrida, keadilan itu tidak menunggu. Sebuah putusan yang adil selalu meminta dengan segera, ”right away”. Keadilan itu sendiri tidak menyediakan informasi yang tak terbatas dan pengetahuan yang tak terbatas dari kondisi, aturan-aturan atau imperatif-imperatif hipotetis yang dapat mengadilinya. Peristiwa putusan selalu tetap berada dalam sebuah peristiwa mendesak yang terbatas. Sejauh tidak harus menjadi konsekuensi dari pengetahuan teoritis atau historis, putusan instan adalah sebuah kegilaan (madness). Bahkan jika waktu dan kebijaksanaan, kesabaran dari pengetahuan dan keunggulan kondisi-kondisi secara hipotetis tidak terbatas, putusan secara struktural terbatas, bagaimanappun terlambatnya ia datang, sebuah putusan dari kemendesakkan dan ketergesa-gesaan, bertindak di malam tanpa pengetahuan dan tanpa aturan.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa keadilan tetaplah dimensi dari peristiwa-peristiwa yang taktereduksi yang datang (to come). Keadilan akan selalu memiliki momen to come, a venir (yang datang). Barangkali karena keadilan sejauh ini bukan hanya sebuah konsep yuridis atau politis, ia membuka bagi sebuah perubahan, penemuan atau penciptaan kembali hukum dan politik. Ada sebuah à venir bagi keadilan. Keadilan sebagai pengalaman dari yang lain secara mutlak merupakan yang takdapathadir (unpresentable), namun merupakan kesempatan dari peristiwa dan kondisi dari sejarah.
Kesimpulan
Keadilan tidak dapat sepenuhnya dialami karena keadilan berangkat dari pengalaman yang tidak mungkin, yaitu aporia. Keadilan hanya menjadi mungkin bila pengalaman yang tidak mungkin itu menjadi dasar sebuah putusan yang adil. Setiap putusan yang adil tidak akan sepenuhnya tercapai bila hanya mendasarkan diri pada aturan-aturan atau hukum-hukum tertentu karena putusan itu hanya akan menjadi aplikasi program belaka. Namun, putusan itu juga tidak bisa dikatakan adil bila tidak mengacu sama sekali pada aturan-aturan tertentu atau sesuatu di luar aturan-aturan tersebut. Putusan itu menjadi adil bila momen pengambilannya dalam keadaan “fresh judgement” atau dalam keadaan yang sama sekali baru. Dengan kata lain, putusan itu diambil berdasarkan penafsiran terus-menerus secara baru terhadap setiap kasus yang terjadi karena setiap kasus adalah unik, singular, dan mutlak. Ia seperti momen pembentukan undang-undang baru atau pemogokan umum. Setiap kasus menghadirkan yang lain secara mutlak yang kedatangannya tidak dapat diprediksikan sebelumnya.
Setiap pemastian atau penjaminan keadilan atau klaim keadilan atas sebuah putusan selalu akan dibayangi hantu dari takdapatdiputuskan. Artinya, di dalam setiap putusan mengandung hal yang takdapatdiputuskan. takdapatdiputuskan itu akan selalu menggoyang atau merongrong setiap pemastian keadilan atas sebuah putusan karena keadilan adalah takdapatdiputuskan itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada satu putusan, tindakan, sikap, pemikiran yang dapat dianggap adil karena keadilan adalah pengalaman dari yang tidak mungkin.
Lalu apakah kita harus menunggu? Jika iya sampai kapan? Bagi Derrida keadilan tidak menunggu. Ia harus segera diputuskan. Putusan itu bersifat right away dengan tergesa-gesa sehingga selain irasional karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa itu adil, ia juga merupakan sebuah kegilaan karena berani melompat dari keterbatasan pengetahuannya ke dalam ketidakpastian akan masa depan yang bisa saja memunculkan hal-hal yang tidak diprediksikan sebelumnya. Dengan demikian, keadilan akan selalu memiliki to come, à venir dari yang lain (other).
Catatan Kritis
Keadilan, menurut Derrida, menuntut suatu sikap, tindakan, pemikiran, dan putusan yang harus terus-menerus merekontekstualisasi setiap kasus yang unik, singular, dan takterprediksikan Oleh karena itu, agar panggilan pada keadilan terus-menerus bergaung dalam kesadaran kita harus ada kehendak yang kuat, hasrat yang menyala-nyala untuk terus berani memasuki sebuah wilayah yang taktereduksi oleh prediksi atau perkiraan-perkiraan kita, sebuah wilayah yang menawarkan pengalaman tentang yang tidak mungkin. Dengan demikian, proyek keadilan bagi Derrida tidak akan pernah selesai karena ia sesuatu yang takdapatdiputuskan itu sendiri, sesuatu yang to come, à venir sehingga bisa menjadi sebuah ketidakpastian bagi orang yang mengharapkan sebuah kepastian. Di sinilah letak kebaruan dari pemikiran Derrida yaitu ada dalam etos untuk terus berpikir tanpa memikirkan putusan.
Dalam karyanya ini, Derrida tidak menawarkan proyek politis yang pasti dan jelas karena pemikirannya tentang keadilan selalu berkelit di antara yang sesuai dengan hukum dan di luar tatanan hukum. Pemikirannya tentang keadilan menawarkan kekuatan kreatif interpretatif yang provokatif. Penekanan terhadap perlakuan yang adil terhadap keunikan dan kekhasan setiap pribadi atau kelompok sosial, terutama yang marjinal sangat kuat.
Sumber Acuan
Derrida, Jacques, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”.
Hardiman, E. Budi, 2007, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius.
Pengantar
Derrida tidak memberi penjelasan yang definitif tentang keadilan. Dalam teksnya, terutama bagian pertama, muncul persoalan apakah yang adil itu legal atau di seberang sesuatu yang legal? Bagi Derrida, keadilan bermain di wilayah yang legal dan di seberang legal. Keadilan berada di interval antara yang legal dan di luar yang legal. Keadilan bagi Derrida adalah suatu pengalaman pencarian terus-menerus yang membutuhkan interpretasi yang baru dan segar dan penangguhan terus-menerus sebagai ciri dari takdapatdiputuskan. Makalah ini akan berfokus pada keadilan sebagai pengalaman aporia, suatu pengalaman dari yang tidak mungkin.
Keadilan sebagai sebuah pengalaman dari yang tidak mungkin
Pertanyaan yang langsung spontan muncul adalah bagaimana mungkin pengalaman tentang yang tidak mungkin itu menjadi syarat bagi keadilan atau bagi sebuah putusan, tindakan, sikap, dan pemikiran yang adil? Bagaimana mungkin pengalaman tentang yang tidak mungkin itu dialami?
Derrida, dalam teksnya berjudul Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority” bagian pertama menyebutkan bahwa keadilan adalah sebuah pengalaman akan yang tidak mungkin. Suatu keadilan yang hanya akan menjadi sebuah pengalaman bila kita tidak mampu mengalaminya. Lalu apa maksudnya? Apakah keadilan itu tidak bisa dialami? Derrida mengatakan bahwa ,”It is possible as an experience of the impossible, there where, even if it does not exist (or does not yet exist, or never does exist), there is justice” (Derrida, 15). Maksudnya adalah bahwa keadilan itu mungkin sebagai sebuah pengalaman dari yang tidak mungkin entah apakah keadilan itu ada, atau jika keadilan itu tidak ada atau keadilan itu belum ada atau bahkan jika keadilan itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, ada tidaknya atau belum adanya sebuah keadilan itu akan tetap menjadi mungkin bila keadilan adalah pengalaman dari yang tidak mungkin. Bahasa sederhananya adalah bahwa keadilan itu mungkin jika berangkat dari pengalaman yang tidak mungkin. Lalu apa pengalaman yang tidak mungkin itu?
Keadilan, menurut Derrida, membutuhkan suatu pengalaman aporia. Pengalaman yang ia maksudkan adalah sebuah pelampauan (traversal), sesuatu yang melampaui yang bergerak menuju sebuah tujuan yang merupakan jalannya yang sesuai. Maksudnya adalah bahwa pengalaman itu akan menemukan jalannya, kemungkinannya. Jadi, pengalaman itu akan berakhir pada suatu tujuan yang sesuai. Dalam kaitannya dengan ini, pengalaman aporia tidak mungkin untuk dialami sepenuhnya karena pengalaman itu sesuatu yang tidak menawarkan sebuah jalan. Sebuah aporia adalah sesuatu yang berada di luar jalur (non-road), sesuatu yang tidak berada pada jalan. Bisa dikatakan bahwa aporia merupakan sebuah jalan yang tidak mempunyai akhir atau tujuan yang pasti karena ia di luar jalur, di luar kemungkinan yang mungkin bisa kita prediksikan, sesuatu yang menuntut kita untuk menafsirkan secara baru terus-menerus atau sebuah jalan buntu yang membuat kita terbentur pada batas-batas ketidakberdayaan kita.
Dengan demikian terjadilah suatu paradoks bahwa ada pengalaman yang merupakan sesuatu yang mungkin kita alami, namun di lain pihak keadilan hanya akan menjadi mungkin bila ada pengalaman tentang yang tidak mungkin, pengalaman yang di dalamnya orang terbentur oleh batas-batas dari hal yang bisa dialami, yaitu non-road.
Aporia dalam konteks relasi antara Keadilan dan Hukum
Derrida mengatakan bahwa keadilan tidak identik dengan hukum. Hukum bukanlah keadilan. Hukum adalah unsur perhitungan, adil bahwa karena ada hukum. Namun, keadilan tak dapat diperhitungkan, keadilan meminta kita untuk menghitung tanpa melakukan perhitungan (incalculable); dan pengalaman aporia adalah pengalaman dari keadilan yang merupakan momen atau peristiwa di mana keputusan yang adil atau yang tidak adil tak pernah dijamin oleh sebuah aturan.
”Law (droit) is not justice. Law is the element of calculation, and it is just that there be law, but justice is incalculable, it requires us to calculate with the incalculable; and the aporetic experience are the experiences, as improbable as they are necessary, of justice, that it to say of moments in which the decision between just and unjust is never insured by a rule.”
Untuk lebih jelas memahami posisi Derrida dalam menerangkan aporia dari keadilan, ia memberi beberapa contoh yang—menurut Derrida—seharusnya akan memperjelas atau barangkali menghasilkan sebuah kesulitan dan perbedaan yang tidak tetap antara keadilan dan hukum (droit), antara keadilan (yang tak terbatas, tak dapat dikalkulasi, pemberontakan terhadap aturan dan jauh dari simetri, heterogen) dan praktek keadilan sebagai hukum sebagai legitimasi atau legalitas, sebagai yang dapat distabilisasi dan dikalkulasi. Dalam beberapa contoh yang akan ia berikan, Derrida ingin mencoba membandingkan konsep keadilan—yang ia coba bedakan dari hukum—dengan konsep Levinas karena ketidakterbatasannya dan karena relasi yang heterogenis kepada yang lain (others), kepada wajah dari yang lain yang menggerakkannya yang ketidakterbatasannya tak dapat ia tematisasikan.
Aporia pertama: épokhè of the rule.
Yang dimaksud dengan épokhè dalam bahasa Yunani adalah sebuah perhentian atau semacam pemogokan, penundaan pengadilan, atau dalam bahasa Perancis (to epechein) berarti menunda (to hold back). Namun, Derrida hendak menjelaskan istilah itu secara lain, berkaitan dengan aturan.
Menurutnya, sesuatu putusan atau tindakan atau sikap atau pikiran dianggap adil atau tidak adil dan syarat untuk mengalami keadilan, bila seseorang bebas dan bertanggungjawab atas semua itu (putusan, tindakan, sikap, pikiran). Namun, kebebasan atau putusan dari yang adil ini harus mengikuti sebuah hukum atau sebuah aturan. Oleh karena itu, putusan itu harus memiliki daya untuk dapat dikalkulasi atau diperhitungkan. Bila tindakan itu mengaplikasikan sebuah aturan, sebuah hukum yang dapat dikalkulasi, boleh kita mengatakan bahwa putusan itu sah atau legal, tetapi salah bila kita mengatakan bahwa putusan itu adil.
Kemudian, Derrida mencoba memberikan sebuah contoh untuk menjelaskan lebih lanjut makna dari aporia pertama itu, yaitu dalam putusan pengadilan. Menurutnya, putusan seorang hakim dalam sebuah pengadilan dikatakan adil apabila putusan itu tidak hanya harus mengikuti sebuah aturan hukum atau hukum umum, melainkan harus mengasumsikannya, mengkaitkan nilai-nilainya dengan membangun kembali sebuah tindakan interpretasi seolah-olah hukum itu tidak ada sebelumnya, seolah-olah hakim sendiri menciptakan hukum di setiap kasus dengan sebuah ”fresh judment”, sebuah pengadilan yang sama sekali baru.
“To be just, the decision of a judge, for example, must not only follow a rule of law or a general law but must also assume it, approve it, confirm its value, by a reinstituting act of interpretation, as if ultimately nothing previously existed of the law, as if the judge himself invented the law in every case. No exixtence of justice as law can be just unless there is a “fresh judgement”.
Agar sebuah putusan menjadi adil dan bertanggungjawab, putusan itu harus memelihara hukum dan juga menghancurkannya atau menundanya untuk kemudian menciptakannya kembali di setiap kasus karena setiap kasus adalah yang lain (other). Setiap putusan adalah berbeda dan meminta sebuah interpretasi yang unik secara mutlak, di mana tidak ada jaminan yang mutlak dari aturan.
Jadi, kita tidak bisa mengatakan suatu putusan hakim dalam pengadilan itu adil bila dia mendasarkan putusannya di atas hukum atau aturan tertentu atau bila dia menunda keputusan-keputusannya, berhenti sejenak di hadapan yang takdapatdiputuskan (undecidable) atau jika dia melakukan improvisasi dan meninggalkan semua aturan, semua prinsip. Dengan kata lain, putusan yang adil itu berada pada tegangan antara mengikuti hukum atau aturan dan menidak pada aturan-aturan hukum, dengan menunda putusan itu hingga harus menciptakannya kembali secara baru (fresh).
Aporia Kedua: the ghost of the undecidable.
Menurut Derrida, takdapatdiputuskan (the undecible) ini bukanlah tegangan antara dua putusan , tetapi merupakan pengalaman (walau heterogen, asing terhadap susunan aturan yang dapat dikalkulasi) yang memberikan dirinya pada putusan yang tidak mungkin, sementara masih mendasarkan diri pada aturan dan hukum. Sebuah putusan yang tidak melalui pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan (the ordeal of the undecidable) tidak akan menjadi sebuah putusan bebas, putusan itu hanya menjadi aplikasi dari sebuah program yang dapat dikalkulasi. Boleh jadi putusan itu legal, tetapi tidak adil. Sekali pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan itu berlalu (jika hal itu mungkin), putusan akan kembali mengikuti sebuah aturan. Putusan itu tidak lagi hadir saat ini (presently just) atau adil sepenuhnya (fully just). Juga jika putusan itu dijamin oleh aturan atau hukum, putusan itu akan direduksi kepada kalkulasi dan kita tak dapat menyebutnya adil.
Lalu bagaimana menjaga agar sebuah putusan adil itu tidak tereduksi ke dalam sebuah kalkulasi atau perhitungan? Derrida melanjutkan bahwa pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan itu tak pernah berlalu atau terlewatkan. Pengalaman itu bukanlah sebuah peristiwa yang mengatasi atau mengarahkan dalam putusan. Yang takdapatdiputuskan itu tetaplah tertangkap setidaknya sebagai sebuah hantu di setiap keputusan, setiap peristiwa dari putusan. Kehadirannya sebagai sebuah hantu akan mendekonstruksi jaminan apa pun dari kehadiran yang akan meyakinkan kita akan keadilan dari sebuah putusan.
Aporia Ketiga: the urgency that obstruct the horizon of knowledge.
Horizon diartikan oleh derrida sebagai baik permulaan dan batas yang menentukan sebuah kemajuan yang tak terbatas maupun sebuah saat menunggu. Namun, bagi Derrida, keadilan itu tidak menunggu. Sebuah putusan yang adil selalu meminta dengan segera, ”right away”. Keadilan itu sendiri tidak menyediakan informasi yang tak terbatas dan pengetahuan yang tak terbatas dari kondisi, aturan-aturan atau imperatif-imperatif hipotetis yang dapat mengadilinya. Peristiwa putusan selalu tetap berada dalam sebuah peristiwa mendesak yang terbatas. Sejauh tidak harus menjadi konsekuensi dari pengetahuan teoritis atau historis, putusan instan adalah sebuah kegilaan (madness). Bahkan jika waktu dan kebijaksanaan, kesabaran dari pengetahuan dan keunggulan kondisi-kondisi secara hipotetis tidak terbatas, putusan secara struktural terbatas, bagaimanappun terlambatnya ia datang, sebuah putusan dari kemendesakkan dan ketergesa-gesaan, bertindak di malam tanpa pengetahuan dan tanpa aturan.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa keadilan tetaplah dimensi dari peristiwa-peristiwa yang taktereduksi yang datang (to come). Keadilan akan selalu memiliki momen to come, a venir (yang datang). Barangkali karena keadilan sejauh ini bukan hanya sebuah konsep yuridis atau politis, ia membuka bagi sebuah perubahan, penemuan atau penciptaan kembali hukum dan politik. Ada sebuah à venir bagi keadilan. Keadilan sebagai pengalaman dari yang lain secara mutlak merupakan yang takdapathadir (unpresentable), namun merupakan kesempatan dari peristiwa dan kondisi dari sejarah.
Kesimpulan
Keadilan tidak dapat sepenuhnya dialami karena keadilan berangkat dari pengalaman yang tidak mungkin, yaitu aporia. Keadilan hanya menjadi mungkin bila pengalaman yang tidak mungkin itu menjadi dasar sebuah putusan yang adil. Setiap putusan yang adil tidak akan sepenuhnya tercapai bila hanya mendasarkan diri pada aturan-aturan atau hukum-hukum tertentu karena putusan itu hanya akan menjadi aplikasi program belaka. Namun, putusan itu juga tidak bisa dikatakan adil bila tidak mengacu sama sekali pada aturan-aturan tertentu atau sesuatu di luar aturan-aturan tersebut. Putusan itu menjadi adil bila momen pengambilannya dalam keadaan “fresh judgement” atau dalam keadaan yang sama sekali baru. Dengan kata lain, putusan itu diambil berdasarkan penafsiran terus-menerus secara baru terhadap setiap kasus yang terjadi karena setiap kasus adalah unik, singular, dan mutlak. Ia seperti momen pembentukan undang-undang baru atau pemogokan umum. Setiap kasus menghadirkan yang lain secara mutlak yang kedatangannya tidak dapat diprediksikan sebelumnya.
Setiap pemastian atau penjaminan keadilan atau klaim keadilan atas sebuah putusan selalu akan dibayangi hantu dari takdapatdiputuskan. Artinya, di dalam setiap putusan mengandung hal yang takdapatdiputuskan. takdapatdiputuskan itu akan selalu menggoyang atau merongrong setiap pemastian keadilan atas sebuah putusan karena keadilan adalah takdapatdiputuskan itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada satu putusan, tindakan, sikap, pemikiran yang dapat dianggap adil karena keadilan adalah pengalaman dari yang tidak mungkin.
Lalu apakah kita harus menunggu? Jika iya sampai kapan? Bagi Derrida keadilan tidak menunggu. Ia harus segera diputuskan. Putusan itu bersifat right away dengan tergesa-gesa sehingga selain irasional karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa itu adil, ia juga merupakan sebuah kegilaan karena berani melompat dari keterbatasan pengetahuannya ke dalam ketidakpastian akan masa depan yang bisa saja memunculkan hal-hal yang tidak diprediksikan sebelumnya. Dengan demikian, keadilan akan selalu memiliki to come, à venir dari yang lain (other).
Catatan Kritis
Keadilan, menurut Derrida, menuntut suatu sikap, tindakan, pemikiran, dan putusan yang harus terus-menerus merekontekstualisasi setiap kasus yang unik, singular, dan takterprediksikan Oleh karena itu, agar panggilan pada keadilan terus-menerus bergaung dalam kesadaran kita harus ada kehendak yang kuat, hasrat yang menyala-nyala untuk terus berani memasuki sebuah wilayah yang taktereduksi oleh prediksi atau perkiraan-perkiraan kita, sebuah wilayah yang menawarkan pengalaman tentang yang tidak mungkin. Dengan demikian, proyek keadilan bagi Derrida tidak akan pernah selesai karena ia sesuatu yang takdapatdiputuskan itu sendiri, sesuatu yang to come, à venir sehingga bisa menjadi sebuah ketidakpastian bagi orang yang mengharapkan sebuah kepastian. Di sinilah letak kebaruan dari pemikiran Derrida yaitu ada dalam etos untuk terus berpikir tanpa memikirkan putusan.
Dalam karyanya ini, Derrida tidak menawarkan proyek politis yang pasti dan jelas karena pemikirannya tentang keadilan selalu berkelit di antara yang sesuai dengan hukum dan di luar tatanan hukum. Pemikirannya tentang keadilan menawarkan kekuatan kreatif interpretatif yang provokatif. Penekanan terhadap perlakuan yang adil terhadap keunikan dan kekhasan setiap pribadi atau kelompok sosial, terutama yang marjinal sangat kuat.
Sumber Acuan
Derrida, Jacques, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”.
Hardiman, E. Budi, 2007, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar