Oleh Vico SJ
Kegagalan itu disebabkan adanya perubahan yang telah terjadi di dalam masyarakat Betawi itu sendiri. Perubahan itu meliputi perubahan sosial, kebudayaan, dan perubahan dalam aspek kejiwaan. Perubahan sosial terjadi bila ada perubahan dalam pola-pola hubungan yang berlaku dalam kehidupan sosial antara lain sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Penyebab perubahan itu adalah pertama faktor ekonomi dan urbanisasi. Daerah Condet yang dikenal subur, penghasil buah duku dan salak yang baik, banyak pepohonan yang rindang ini lama kelamaan mengundang minat banyak pendatang, termasuk warga keturunan Arab dari daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. Hal ini mengundang minat warga Betawi untuk menggunakan nilai ekonomis dari tanahnya yang subur untuk dijual kepada para pendatang dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan mereka seperti menyekolahkan anak-anaknya. Namun, harapan ini terbentur dengan adanya penetapan kawasan Condet sebagai cagar budaya Betawi oleh pemerintah daerah (pemda) yang ingin melestarikan kebudayaan Betawi di daerah tersebut.. Ada beberapa aturan yang mengatur soal ijin membangun bangunan (IMB) yang sangat ketat, diantaranya adalah warga hanya dijinkan membangun bangunan seluas 20 persen saja dari keseluruhan tanahnya. Sisanya digunakan untuk resapan air. Aturan ini menimbulkan keengganan di pihak calon pembeli sehingga harga tanah turun dan menjadi sangat murah. Karena desakan ekonomi dari warga (mereka tidak berharap banyak dari hasil perkebunan buah-buahan karena tidak ada kompensasi dari pemerintah), ditambah dengan tidak berlanjutnya pelaksanaan janji pemerintah untuk membiayai renovasi cagar budaya Betawi, warga dengan terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah. Lama-kelaman lahan luas yang awalnya untuk perkebunan buah duku dan salak, serta sebagai tempat tinggal monyet dan burung-burung langka menyempit.
Kedua adalah ketidakkonsistenan pelaksanaan aturan IMB oleh pemda setempat. Akibat dari tanah yang mulai menyempit, warga Betawi ada yang pindah ke tempat lain (misalnya di Bekasi, Depok) dan ada yang menetap dengan memanfaatkan tanah sisa untuk didirikan bangunan baru sebagai rumah kontrakan. Tentu saja rumah-rumah baru yang dikontrakkan itu tidak memenuhi aturan IMB karena lahan mereka yang sempit. Demikian pula pada para pendatang, mereka pun mendirikan bangunan-bangunan modern tanpa memenuhi aturan IMB. Karena tidak ada tindakan tegas dari pemda setempat terhadap pendirian liar bangunan-bangunan itu, daerah Condet penuh dengan bangunan-bangunan modern sehingga tidak ada bedanya dengan pemukiman di tempat lain. Tidak ada nuansa betawi sedikit pun di daerah tersebut. Jadi, warga Betawi di daerah Condet tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan pemda (waktu itu Gubernur Ali Sadikin). Selain itu, tuntutan kebutuhan akibat modernisasi telah mengubah cara pandang mereka terhadap budaya mereka. Oleh karena itu, usaha pelestarian budaya Betawi dengan cara membangun kawasan cagar-cagar budaya, menurut saya tidak akan berhasil sejauh tidak ada penanganan serius dan tegas dari pemerintah tentang jaminan pelestarian budaya Betawi secara berkelanjutan.
Kegagalan itu disebabkan adanya perubahan yang telah terjadi di dalam masyarakat Betawi itu sendiri. Perubahan itu meliputi perubahan sosial, kebudayaan, dan perubahan dalam aspek kejiwaan. Perubahan sosial terjadi bila ada perubahan dalam pola-pola hubungan yang berlaku dalam kehidupan sosial antara lain sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Penyebab perubahan itu adalah pertama faktor ekonomi dan urbanisasi. Daerah Condet yang dikenal subur, penghasil buah duku dan salak yang baik, banyak pepohonan yang rindang ini lama kelamaan mengundang minat banyak pendatang, termasuk warga keturunan Arab dari daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. Hal ini mengundang minat warga Betawi untuk menggunakan nilai ekonomis dari tanahnya yang subur untuk dijual kepada para pendatang dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan mereka seperti menyekolahkan anak-anaknya. Namun, harapan ini terbentur dengan adanya penetapan kawasan Condet sebagai cagar budaya Betawi oleh pemerintah daerah (pemda) yang ingin melestarikan kebudayaan Betawi di daerah tersebut.. Ada beberapa aturan yang mengatur soal ijin membangun bangunan (IMB) yang sangat ketat, diantaranya adalah warga hanya dijinkan membangun bangunan seluas 20 persen saja dari keseluruhan tanahnya. Sisanya digunakan untuk resapan air. Aturan ini menimbulkan keengganan di pihak calon pembeli sehingga harga tanah turun dan menjadi sangat murah. Karena desakan ekonomi dari warga (mereka tidak berharap banyak dari hasil perkebunan buah-buahan karena tidak ada kompensasi dari pemerintah), ditambah dengan tidak berlanjutnya pelaksanaan janji pemerintah untuk membiayai renovasi cagar budaya Betawi, warga dengan terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah. Lama-kelaman lahan luas yang awalnya untuk perkebunan buah duku dan salak, serta sebagai tempat tinggal monyet dan burung-burung langka menyempit.
Kedua adalah ketidakkonsistenan pelaksanaan aturan IMB oleh pemda setempat. Akibat dari tanah yang mulai menyempit, warga Betawi ada yang pindah ke tempat lain (misalnya di Bekasi, Depok) dan ada yang menetap dengan memanfaatkan tanah sisa untuk didirikan bangunan baru sebagai rumah kontrakan. Tentu saja rumah-rumah baru yang dikontrakkan itu tidak memenuhi aturan IMB karena lahan mereka yang sempit. Demikian pula pada para pendatang, mereka pun mendirikan bangunan-bangunan modern tanpa memenuhi aturan IMB. Karena tidak ada tindakan tegas dari pemda setempat terhadap pendirian liar bangunan-bangunan itu, daerah Condet penuh dengan bangunan-bangunan modern sehingga tidak ada bedanya dengan pemukiman di tempat lain. Tidak ada nuansa betawi sedikit pun di daerah tersebut. Jadi, warga Betawi di daerah Condet tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan pemda (waktu itu Gubernur Ali Sadikin). Selain itu, tuntutan kebutuhan akibat modernisasi telah mengubah cara pandang mereka terhadap budaya mereka. Oleh karena itu, usaha pelestarian budaya Betawi dengan cara membangun kawasan cagar-cagar budaya, menurut saya tidak akan berhasil sejauh tidak ada penanganan serius dan tegas dari pemerintah tentang jaminan pelestarian budaya Betawi secara berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar