Jumat, 21 November 2008

Saat Bicara tentang Cinta

Berucap tiada henti
Tentang sebuah cinta
Sang Pujangga pun terdiam membisu
Menanti sebuah 'saat'

Saat yang takkunjung tiba
Berpeluhkan penantian
Pengadilan demi pengadilan
Bergiliran mengiringi
Hingga ....

Tibalah Saatku
Bicara tentang Cinta yang sesungguhnya

Jumat, 14 November 2008

Karl Rahner: Metafisika Pengetahuan

Vico SJ

Pengantar
Karl Rahner (1904—1984) dikenal sebagai seorang teolog Jerman, salah satu teolog Katolik Roma yang paling berpengaruh di abad ke-20. Sebelum karya-karya teologinya yang terkenal, Theological Investigations (Selections from Schriften zur Theologie) (1938-1985) muncul, ia terlebih dahulu membuat karya filosofis dalam bukunya yang pertama, Geist in Welt (Spirit in The World) di tahun 1939. Karya itu sebenarnya merupakan desertasi doktoralnya yang dulu pernah ditolak, namun diterbitkan di tahun 1939.
Konteks pemikiran pada zamannya saat itu adalah adanya jalur pemikiran yang mengusung kembali jaman keemasan sebelumnya, yaitu zaman ‘skolastisisme’ Abad Pertengahan yang kemudian disebut sebagai neo-skolastisisme. Aliran ini mendasarkan dirinya pada sistem filsafat dan teologi Thomas Aquinas. Aliran skolastisisme ini mempunyai corak sistem yang sangat terstruktur, tertutup, mengesampingkan dunia modern dan hambatan intelektual yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Rahner berusaha untuk membuka neo-skolastisisme ini dengan argumen bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak mesti rapi terstruktur, tetap ada ruang –ruang baru untuk tumbuhnya ide-ide baru, pemikiran baru, serta keterlibatan dalam dunia modern.

Pemikiran Rahner
Karyanya, Spirit in The World ini sering dikatakan sebagai interpretasi atas karya Thomas Aquinas dengan kaca mata Kant dan post-Kantian di bawah pengaruh Joseph Maréchal dan sedikit dari Martin Hedegger. Ia berangkat dari apa yang disangkal Kant, yaitu metafisika sebagai pengetahuan adalah tidak mungkin. Namun, baginya, Metafisika sebagai pengetahuan adalah mungkin. Argumennya ini didasarkan atas interpretasi Summa Theologia-nya Thomas Aquinas artikel 7, pertanyaan 84 dari Prima Pas: “Can the intellec know anything through the intellegible species which it possesses, without turning to the phantasms?” (Dapatkah budi mengetahui segala sesuatu melalui jenis atau macam hal yang dapat dimengerti tanpa berubah atau beralih ke phantasme—sebuah ilusi?). Selanjutnya dalam bukunya—Spirit in the World, ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut: bagaimana metafisika mungkin terberikan jika segala pengetahuan kita berakar di dalam dunia. Menurutnya, metafisika merupakan pengetahuan yang melampaui dunia, suatu pengetahuan tentang Ada dan Allah. Sedangkan dunia adalah sebuah realitas yang dapat diraih atau dialami oleh pengalaman manusia. Kemudian ia bertanya: jika pengetahuan manusia mulai dengan dan tetap terperangkap dalam dunia ruang dan waktu sehingga dunia dikenal melalui indera, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui sesuatu yang melampaui ruang dan waktu dan segala persepsi inderawi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ia mengajukan konsep Vorgriff auf esse, yaitu suatu kondisi kemungkinan atau posibilitas akan suatu pengetahuan tentang dunia, sebuah pre-apprehend of being (prapemahaman tentang pengada). Menurutnya, prapemahaman tentang pengada merupakan kondisi yang mungkin dari semua proses pemahaman kita. Artinya, ketika kita mengenali, memilih, dan memahami beberapa objek yang partikular atau khusus atau menghendaki nilai-nilai yang sifatnya terbatas, kita selalu terarah pada suatu pengada yang tak terbatas melampaui hal-hal yang partikular dan yang bersifat terbatas itu, dan hanya karena pelampauan inilah kita bisa mengenali atau memilih objek individual yang terbatas. Lebih jauh lagi, ketika kita terarah pada keseluruhan yang ada itu, kita juga menjangkau ke arah Allah.
Untuk menjelaskan Vorgriff tersebut, Rahner mendasarkan diri pada tiga gambaran tentang Vorgriff. Gambaran pertama—dengan mengambil konsep dari Heidegger—adalah bahwa kita menyadari pengada yang tak terbatas sebagai horison atau cakrawala pengetahuan kita yang terbatas. Sebuah kesadaran akan pengada yang tak terbatas dan akan Allah membentuk sebuah latar belakang dan niscaya bagi pengetahuan kita tentang objek-objek partikular yang terletak di latar depan kesadaran kita. Gambaran kedua—mengambil konsep Aquinas—adalah bahwa Vorgriff adalah cahaya yang menerangi objek-objek individual sehingga memungkinkan budi kita dapat menangkap mereka. Dengan demikian, kesadaran kita akan Allah memungkinkan kita mengetahui Allah. Gambaran ketiga—mengambil konsep Maréchal—adalah bahwa kita mempunyai dinamisme dalam pikiran, suatu dorongan dasar untuk bergerak dari semua objek terbatas menuju yang tak terbatas dan Allah. Dinamisme dalam pikiran ini merupakan syarat pengetahuan.

Tanggapan
Rahner, dalam menjelaskan metafisika pengetahuannya selalu bertitik tolak pada kesadaran akan objek-objek individual yang terbatas untuk menuju kepada pengada yang tak terbatas dan Allah. Dengan kata lain, pemahaman akan pengada yang tak terbatas dan akan Allah selalu terkait dengan pengetahuan akan pengada-pengada yang terbatas. Kesadaran ini oleh Rahner disebut Vorgriff, yaitu suatu kondisi kemungkinan akan suatu pengetahuan tentang dunia. Vorgriff inilah—sebagai sebuah prapemahaman akan suatu pengada—yang memungkinkan kita mengenali pengada yang tak terbatas dan Allah melalui objek-objek yang terbatas. Jadi, menurut saya Vorgriff ini menyerupai istilah Kant, a priori, suatu perangkat dalam budi untuk menjangkau pengetahuan tentang hal-hal di luar partikulatitas dunia ini. Dalam hal ini, saya melihat bahwa Rahner tetap menggunakan kemampuan rasio atau budi untuk menjangkau pengetahuan metafisis yang melampaui pengetahuan tentang hal-hal yang partikular, konkret, dan terbatas—yang bagi Kant adalah tidak mungkin.

Penutup
Pengetahuan akan hal-hal yang tak terbatas yang melampaui pengetahuan akan partikularitas dunia ini adalah mungkin bagi kita, manusia. Mengapa? Karena kita memiliki Vorgriff yang memungkinkan kita mengenal hal-hal yang tak terbatas dan Allah. Meskipun tidak secara langsung kita bisa sampai pada pengada yang tak terbatas dan Allah, toh kita pun tetap bisa mengenalinya karena kita pun mempunyai sisi transendental dan suatu receptive knowledge untuk mengetahui hal-hal di luar diri kita. Dengan demikian, Rahner hendak menunjukkan pada kita suatu daya rohani yang dimiliki manusia untuk sampai pada pengetahuan akan hal yang tak terbatas.

Sumber Acuan
Hadi, P. Hardono (penterjemah), 2001, Karl Rahner, Yogyakarta: Kanisius.
Kilby, Karen, 2004, Karl Rahner: Theology and Philosophy, London and New York:Routledge.
en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Mar%C3%A9chal (diambil hari Minggu, 20 Mei 2007)

MODAL FISIK MENURUT PIERRE BOURDIEU

Oleh Vico


Pendahuluan
Teori reproduksi sosial Bourdieu berkenaan dengan tubuh sebagai pembawa nilai simbolik. Konsepnya tentang tubuh menggambarkan karya Elias, tetapi salah bila terlalu menekankan kesamaannya. Bourdieu berkenaan secara utama dengan tubuh dalam masyarakat kontemporer, sementara Elias berbicara tentang proses-proses sejarah yang terlibat dalam perkembangan pemberadaban tubuh.
Inti pendekatan Bourdieu adalah produk modal fisik (perkembangan tubuh yang dikenali sebagai pemilik nilai dalam bidang-bidang sosial) dan perubahan modal fisik (terjemahan dari tubuh yang berpartisipasi dalam pekerjaan, kesenangan, dak bidang-bidang lain dalam bentuk-bentuk modal yang berbeda). Modal fisik biasanya diubah ke modal ekonomi (uang, barang-barang, dan pelayanan), modal kultural (pendidikan) dan modal sosial (jaringan sosial).


A. Produksi Modal Fisik

Pengantar
Bourdieu berfokus pada komodifikasi tubuh dalam masyarakat modern. Hal ini mengacu tidak hanya pada implikasi tubuh dalam pembelian dan penjualan tenaga pekerja, tetapi juga pada metode-metode dimana tubuh telah menjadi sebuah bentuk modal fisik—pemilik kekuatan, status, dan bentuk-bentuk simbolik yang berbeda yang berpusat pada akumulasi dari pelbagai sumber. Bentuk-bentuk modal fisik ini secara khusus telah tersebar dalam dunia modern.
Contoh :
- Seseorang olahragawan profesional menukarkan performa tubuhnya dengan financial rewards.
- Night club dan disco seringkali memperkerjakan body-builder sebagai bouncer.
- Pelacur menggunakan tubuh mereka untuk mempertahankan hidup.

Pertukaran Tubuh ini beragam tingkatnya tergantung dari mana pemiliknya memperoleh keuntungan dan dieksploitasi –contohnya transaksi-transaksi. Hal yang umum bagi mereka semua adalah tubuh digunakan sebagai sebuah bentuk modal.

Kelas-kelas Sosial: Kelas Dominan, Kelas Menengah, dan Kelas Pekerja
Dari contoh-contoh tersebut, jelaslah bahwa tubuh terlibat dalam penciptaan dan reproduksi sosial yang berbeda-beda yang terlihat dalam kelas-kelas sosial. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor:
1. lokasi sosial individu (materi sekitar hidup harian mereka);
2. pembentukan habitus mereka (disposisi tubuh yang membentuk reaksi seseorang pada situasi yang dikenal dan baru)
3. perkembangan cita rasa mereka.

Dari faktor tersebut, orang cenderung mengembangkan tubuh mereka secara berbeda dan menaturalisasikan perbedaan-perbedan sosial tersebut melalui beragam bentuk seperti aksen, pengendalian diri, dan gerakan-gerakan.

Kelas Pekerja
Menurut Bourdieu, kelas pekerja cenderung mengembangkan sebuah relasi instrumental pada tubuh mereka. Tubuh adalah alat untuk mencapai tujuan akhir dan ini merupakan bukti, sebagai contoh, dalam relasi penyakit dan pengobatan (dimana ‘menempatkan tubuh secara benar’ adalah nampak sebagai sebuah alat untuk kembali bekerja atau melakukan persiapan untuk liburan). Pembagian gender dalam kelas pekerja berarti bahwa wanita cenderung mengembangkan bahkan lebih relasi instrumental pada tubuh mereka dari pada pria. Hal ini berarti bahwa mereka sering mempunyai sedikit waktu untuk kegiatan-kegiatan yang menyenangkan terpisah dari pekerjaan mereka. Kelas pekerja wanita cenderung mengembangkan orientasi pada tubuh mereka secara kuat yang ditandai dengan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dan pengutamaan nilai-nilai kesehatan mereka sejauh hal tersebut mengijinkan mereka memenuhi tanggungjawab keluarga.
Bourdieu melihat bahwa kelas pekerja mengembangkan tubuh mereka dengan ditandai oleh
tuntutan bertahan hidup dalam hidup, dan bentuk-bentuk pelepasan sementara yang mereka cari dari tuntutan-tuntutan ini.
Menarik untuk mencatat metafor umum, yaitu tubuh sebagai mesin dalam persepsi kelas pekerja tentang kesehatan dan penyakit. Dalam metafor ini, tubuh menjadi sebuah proyek dalam pengertian, tubuh perlu untuk dilayani oleh para ahli medis untuk menjaganya agar tetap bisa bekerja secara efisien.

Kelas Dominan
Sebaliknya, kelas dominan mempunyai banyak sumber untuk memperlakukan tubuh sebagai sebuah proyek dengan beragam variannya menurut apakah penekanannya
pada fungsi instrinsik tubuh sebagai sebuah organisme atau
pada penampilannya sebagai sebuah konfigurasi/pola yang mudah diketahui, artinya tubuhnya diperuntukkan bagi yang lain.

Kelas Menengah
Berkebalikan dengan kelas pekerja kelas menengah yakin bahwa mereka lebih mempunyai kontrol atas tubuh mereka, kontrol yang dapat dilatihkan dengan memilih sebuah gaya hidup yang tepat.

Nilai Simbolik
Produksi bentuk-bentuk tubuh yang berbeda yang berpusat pada teori reproduksi sosial Bourdieu disebut sebagai nilai simbolik. Tubuh Instrumental kelas pekerja bukanlah tanpa nilai simbolik, tetapi kelas dominan paling mudah untuk memproduksi nilai simbolik tertinggi dari bentuk tubuh mereka. Merekalah yang secara finansial mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah elite untuk waktu yang panjang, melepaskan mereka dari kebutuhan untuk bekerja, dan mendukung mereka untuk masuk dalam kegiatan seperti meningkatkan nilai tubuh mereka (sebagai contoh, melalui sekolah memancing, ballet, tennis meja)

Relasi antara lokasi sosial, habitus, dan cita rasa
Relasi antara lokasi sosial, habitus, dan cita rasa menghasilkan perbedaan dan bentuk-bentuk tubuh yang relatif stabil dan orientasi-orientasi. Bagaimanapun juga, orientasi-orientasi ini tidak selalu statis. Ini karena tubuh individu tidal pernah selesai secara penuh. Sementara tubuh dilibatkan dalam masyarakat, ia dipengaruhi oleh proses-proses sosial, kultural, dan ekonomi.

Rangkuman
Kelas-kelas sosial memberikan pengaruh yang mendalam pada bagaimana orang-orang mengembangkan tubuh mereka, dan bagaimana mereka mengembangkan nilai simbolik yang disertakan pada bentuk-bentuk khusus tubuh mereka.
Ini adalah produksi modal fisik. Bagaimanapun juga, pentingnya hal tersebut tidaklah sesederhana bahwa gaya hidup yang berbeda dari masing-masing kelas terukir pada tubuh mereka, tetapi bahwa hal tersebut menempatkan orang pada kegiatan yang berbeda-beda.


B. Perubahan Modal Fisik

Pengantar
Bourdieu berpendapat bahwa tipe tubuh kelas pekerja membentuk sebuah modal fisik yang mempunyai nilai pertukaran yang sedikit dari pada kelas dominan.
Hal ini tidak berarti bahwa kelas pekerja kekurangan kesempatan untuk mengubah modal fisik mereka ke bentuk modal lainnya. Namun, hal tersebut masih meninggalkan persoalan dimana pendidikan, olah raga dan bidang-bidang lain dalam masyarakat tidak (secara keseluruhan, dan terstruktur ) dapat menyediakan kesempatan yang sering bagi kelas pekerja secara umum untuk mengubah modal fisik mereka ke bentuk modal yang lain.

Sebaliknya, kelas dominan dalam masyarakat cenderung mempunyai kesempatan yang lebih untuk mengubah modal fisik mereka ke modal fisik yang lain. Kegiatan-kegiatan olah raga elit, sebagai contoh, dapat dilihat sebagai pasar jodoh (marriage markets) yang mempertahankan penyebaran sumber-sumber ekonomi di antara generasi mereka. Douglas dan Isherwood mencatat bahwa kelompok (tersebut) seringkali tertutup dan stabil ..berpegang pada privilisi mereka dan secara cemburu menjaga perempuan-perempuan mereka. Contohnya adalah tempat olah raga elit terkenal seperti kegiatan polo di Inggris, mungkin, merupakan sebuah faktor penting dalam peristiwa perkawinan antar kelas dalam kelas dominan

Perubahan Nilai Simbolik ke Modal Sosial dan Kultural Pada Kelas Dominan
Nilai simbolik dari tubuh kelas yang lebih tinggi dapat juga diubah ke modal sosial dan kultural.

Ke Modal Sosial
Peristiwa-peristiwa olah raga elit seringkali melibatkan aturan etika dan memberikan ruang pertunjukkan kompetensi tubuh dalam konteks formal dimana anggota-anggota kelompok-kelompok elite tersebut mengenali tubuh mereka sebagai sebuah tanda yang menandakan bahwa pembawa memperlihatkan seperangkat nilai (contoh melalui model pakaian, cara berbicara, mengatur wajah dan bahasa tubuh). Persahabatan dan relasi terbentuk di dalam peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat merupakan nilai terbesar dalam pencapaian legalitas, finansial, dan nasihat politis.

Ke Modal Kultural
Sebagai contoh, kualifikasi-kualifikasi yang berlaku sebagai alat penunjuk pertama, dalam interview, dimana pengolahan kata dan tubuh adalah pusat, seringkali merupakan gerbang atau pintu masuk pada pendidikan dan pekerjaan-pekerjaan yang elit.
Jadi apabila tubuh berlaku sesuai dengan kualifikasi-kualifikasi dari suatu instansi tempat pekerjaan atau pendidikan yang diinginkan tersebut, tubuh akan diterima di dalam instansi tersebut.


Perubahan Nilai Modal Fisik
Lingkungan Sosial
Teori Reproduksi Sosial Boardieu menonjolkan pentingnya tubuh dalam pembentukan perbedaan-perbedaan dan ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial. Namun, perlu dicatat bahwa nilai simbolik yang melekat pada bentuk-bentuk tubuh dapat berubah sama seperti modal ekonomi dan kultural yang berfluktuasi dalam nilai-nilainya. Untuk memahami alasan-alasan dari fluktuasi-fluktuasi ini perlu melihat konsep Bourdieu tentang Lingkungan Sosial (Social Field). Lingkungan sosial mengacu pada seperangkat prinsip-prinsip pengatur yang dinamis, yang dijaga oleh kelompok-kelompok sosial yang mengidentifikasi dan menyusun kategori-kategori khusus dari praktek sosial. Masing-masing lingkungan sosial mempunyai otonomi yang relatif terhadap yang lain, dan memberikan nilai-nilai pada praktik sosial menurut kategori organisasi internalnya.
Contoh:
- dalam bidang olah raga profesional, nilai ditempatkan pada performen seseorang / kelompok dan kemenangan melebihi keterlibatan dan usaha-usaha
- dalam bidang seni dan desain, nilai mungkin ditempatkan pada kreativitas dan inovasi.

Pemusatan pada nilai dari perbedaan-perbedaan bentuk modal fisik adalah kemampuan kelompok-kelompok dominan untuk mendefinisikan tubuh dan gaya hidup mereka sebagai superior, layak dihargai, dan sebagai, secara metafor dan literal, personifikasi kelas.
Proses ini melibatkan perjuangan teratur atas pendefinisian dan pengendalian bidang-bidang itu dimana bentuk-bentuk tubuh diklasifikasikan sebagai yang bernilai dan juga melibatkan konflik atas bentuk-bentuk tubuh yang paling bernilai dalam sebuah keolmpok sosial.

Persoalan dan Keterbatasan Nilai Simbolik Tubuh
Bagaimanapun juga, di dalam menjaga atau mempertahankan nilai simbolik tubuh, atau pun produksi atau pun perubahan modal fisik tidak dapat tidak tetap mempunyai masalah dan mempunyai keterbatasan-keterbatasan, yaitu
1. modal fisik tidak dapat diteruskan atau diwariskan.
2. modal fisik dapat berkurang dan mati bersama pembawanya.
3. pengakuan modal fisik tidak dapat dijamin (tidak ada jaminan yang pasti)
4. rata-rata pertukaran modal fisik tidak dijamin dan mungkin ada kerugian-kerugian dalam perubahan modal fisik ke sumber-sumber lain.

Singkatnya, perkembangan nilai simbolik tubuh adalah lebih beresiko pada proses penerusannya dari pada kasus dengan modal ekonomi.
Namun, ada beberapa alasan bagus mengapa kelas-kelas dominan tetap melanjutkan untuk melakukan investasi dalam tubuh mereka. Hal ini berkaitan dengan penampilan alami dan biologis dari modal fisik mereka. Sebagai konsekuensi dari penampilan modal fisik yang alami, usaha-usaha satu generasi untuk mengolahnya dalam generasi berikutnya seringkali disamarkan, tidak nampak, atau setidak-tidaknya tidak dikenali.
Sesungguhnya, mungkin untuk mengenakan pajak kekayaan ekonomi secara efektif, namun nampaknya tetap akan menjadi lebih sulit untuk mencegah reproduksi ketidaksamaan-ketidaksamaan dalam penerusan modal fisik.


Apakah Tubuh dalam Keadaan Statis atau Tidak Berkembang?
`Teori Bourdieu tentang reproduksi sosial telah dikritik; dan secara khusus yang penting di sini adalah pertanyaan bagaimana penekanannya pada reproduksi sosial mempengaruhi analisisnya tentang organisasi kemanusiaan.
Menurut Bourdieu, sulit sekali untuk melihat secara teoritis bagaimana orang mampu melepaskan diri dari lintasan fisik yang dikenakan pada mereka oleh lokasi sosial mereka (Ini adalah sebuah penelitian Bourdieu yang mendukung poinnya sebelumnya bahwa ia bekerja dengan pandangan yang agak statis mengenai kelas sosial) Hal ini dikarenakan, menurut Bourdieu, habitus bekerja pada tingkat bawah sadar ‘melampaui peraihan dari refleksi yang teruji secara menyeluruh atau pengendalian oleh kehendak’. Pengecualian pada keadaan statis historis ini merupakan analisis Bourdieu tentang pembedaan yang muncul bahwa perubahan historis terjadi sebagai hasil dari perjuangan yang tak pernah padam untuk sumber-sumber yang dimiliki kelas-kelas sosial.
Fokus Bourdieu pada reproduksi juga berarti bahwa tubuh secara utama dipandang sebagai pembawa struktur-struktur eksternal atau kode-kode kultural, secara khusus pembawa kode-kode kelas. Hal ini cenderung mengesampingkan pentingnya ras dan gender. Lebih jauh lagi. Seperti Turner katakan, fokus pada kode ini berarti ada sedikit ruang dalam karya Bourdieu bagi pemahaman fenomenologis tentang ‘tubuh yang hidup’. Pertanyaan perubahan sosial dan pengalaman tubuh ini membawa kita pada sosiologi historisnya Elias.


Keadilan sebagai Pengalaman Aporia

Vico SJ

Pengantar
Derrida tidak memberi penjelasan yang definitif tentang keadilan. Dalam teksnya, terutama bagian pertama, muncul persoalan apakah yang adil itu legal atau di seberang sesuatu yang legal? Bagi Derrida, keadilan bermain di wilayah yang legal dan di seberang legal. Keadilan berada di interval antara yang legal dan di luar yang legal. Keadilan bagi Derrida adalah suatu pengalaman pencarian terus-menerus yang membutuhkan interpretasi yang baru dan segar dan penangguhan terus-menerus sebagai ciri dari takdapatdiputuskan. Makalah ini akan berfokus pada keadilan sebagai pengalaman aporia, suatu pengalaman dari yang tidak mungkin.

Keadilan sebagai sebuah pengalaman dari yang tidak mungkin
Pertanyaan yang langsung spontan muncul adalah bagaimana mungkin pengalaman tentang yang tidak mungkin itu menjadi syarat bagi keadilan atau bagi sebuah putusan, tindakan, sikap, dan pemikiran yang adil? Bagaimana mungkin pengalaman tentang yang tidak mungkin itu dialami?
Derrida, dalam teksnya berjudul Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority” bagian pertama menyebutkan bahwa keadilan adalah sebuah pengalaman akan yang tidak mungkin. Suatu keadilan yang hanya akan menjadi sebuah pengalaman bila kita tidak mampu mengalaminya. Lalu apa maksudnya? Apakah keadilan itu tidak bisa dialami? Derrida mengatakan bahwa ,”It is possible as an experience of the impossible, there where, even if it does not exist (or does not yet exist, or never does exist), there is justice” (Derrida, 15). Maksudnya adalah bahwa keadilan itu mungkin sebagai sebuah pengalaman dari yang tidak mungkin entah apakah keadilan itu ada, atau jika keadilan itu tidak ada atau keadilan itu belum ada atau bahkan jika keadilan itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, ada tidaknya atau belum adanya sebuah keadilan itu akan tetap menjadi mungkin bila keadilan adalah pengalaman dari yang tidak mungkin. Bahasa sederhananya adalah bahwa keadilan itu mungkin jika berangkat dari pengalaman yang tidak mungkin. Lalu apa pengalaman yang tidak mungkin itu?
Keadilan, menurut Derrida, membutuhkan suatu pengalaman aporia. Pengalaman yang ia maksudkan adalah sebuah pelampauan (traversal), sesuatu yang melampaui yang bergerak menuju sebuah tujuan yang merupakan jalannya yang sesuai. Maksudnya adalah bahwa pengalaman itu akan menemukan jalannya, kemungkinannya. Jadi, pengalaman itu akan berakhir pada suatu tujuan yang sesuai. Dalam kaitannya dengan ini, pengalaman aporia tidak mungkin untuk dialami sepenuhnya karena pengalaman itu sesuatu yang tidak menawarkan sebuah jalan. Sebuah aporia adalah sesuatu yang berada di luar jalur (non-road), sesuatu yang tidak berada pada jalan. Bisa dikatakan bahwa aporia merupakan sebuah jalan yang tidak mempunyai akhir atau tujuan yang pasti karena ia di luar jalur, di luar kemungkinan yang mungkin bisa kita prediksikan, sesuatu yang menuntut kita untuk menafsirkan secara baru terus-menerus atau sebuah jalan buntu yang membuat kita terbentur pada batas-batas ketidakberdayaan kita.
Dengan demikian terjadilah suatu paradoks bahwa ada pengalaman yang merupakan sesuatu yang mungkin kita alami, namun di lain pihak keadilan hanya akan menjadi mungkin bila ada pengalaman tentang yang tidak mungkin, pengalaman yang di dalamnya orang terbentur oleh batas-batas dari hal yang bisa dialami, yaitu non-road.

Aporia dalam konteks relasi antara Keadilan dan Hukum
Derrida mengatakan bahwa keadilan tidak identik dengan hukum. Hukum bukanlah keadilan. Hukum adalah unsur perhitungan, adil bahwa karena ada hukum. Namun, keadilan tak dapat diperhitungkan, keadilan meminta kita untuk menghitung tanpa melakukan perhitungan (incalculable); dan pengalaman aporia adalah pengalaman dari keadilan yang merupakan momen atau peristiwa di mana keputusan yang adil atau yang tidak adil tak pernah dijamin oleh sebuah aturan.

”Law (droit) is not justice. Law is the element of calculation, and it is just that there be law, but justice is incalculable, it requires us to calculate with the incalculable; and the aporetic experience are the experiences, as improbable as they are necessary, of justice, that it to say of moments in which the decision between just and unjust is never insured by a rule.”

Untuk lebih jelas memahami posisi Derrida dalam menerangkan aporia dari keadilan, ia memberi beberapa contoh yang—menurut Derrida—seharusnya akan memperjelas atau barangkali menghasilkan sebuah kesulitan dan perbedaan yang tidak tetap antara keadilan dan hukum (droit), antara keadilan (yang tak terbatas, tak dapat dikalkulasi, pemberontakan terhadap aturan dan jauh dari simetri, heterogen) dan praktek keadilan sebagai hukum sebagai legitimasi atau legalitas, sebagai yang dapat distabilisasi dan dikalkulasi. Dalam beberapa contoh yang akan ia berikan, Derrida ingin mencoba membandingkan konsep keadilan—yang ia coba bedakan dari hukum—dengan konsep Levinas karena ketidakterbatasannya dan karena relasi yang heterogenis kepada yang lain (others), kepada wajah dari yang lain yang menggerakkannya yang ketidakterbatasannya tak dapat ia tematisasikan.

Aporia pertama: épokhè of the rule.
Yang dimaksud dengan épokhè dalam bahasa Yunani adalah sebuah perhentian atau semacam pemogokan, penundaan pengadilan, atau dalam bahasa Perancis (to epechein) berarti menunda (to hold back). Namun, Derrida hendak menjelaskan istilah itu secara lain, berkaitan dengan aturan.
Menurutnya, sesuatu putusan atau tindakan atau sikap atau pikiran dianggap adil atau tidak adil dan syarat untuk mengalami keadilan, bila seseorang bebas dan bertanggungjawab atas semua itu (putusan, tindakan, sikap, pikiran). Namun, kebebasan atau putusan dari yang adil ini harus mengikuti sebuah hukum atau sebuah aturan. Oleh karena itu, putusan itu harus memiliki daya untuk dapat dikalkulasi atau diperhitungkan. Bila tindakan itu mengaplikasikan sebuah aturan, sebuah hukum yang dapat dikalkulasi, boleh kita mengatakan bahwa putusan itu sah atau legal, tetapi salah bila kita mengatakan bahwa putusan itu adil.
Kemudian, Derrida mencoba memberikan sebuah contoh untuk menjelaskan lebih lanjut makna dari aporia pertama itu, yaitu dalam putusan pengadilan. Menurutnya, putusan seorang hakim dalam sebuah pengadilan dikatakan adil apabila putusan itu tidak hanya harus mengikuti sebuah aturan hukum atau hukum umum, melainkan harus mengasumsikannya, mengkaitkan nilai-nilainya dengan membangun kembali sebuah tindakan interpretasi seolah-olah hukum itu tidak ada sebelumnya, seolah-olah hakim sendiri menciptakan hukum di setiap kasus dengan sebuah ”fresh judment”, sebuah pengadilan yang sama sekali baru.

“To be just, the decision of a judge, for example, must not only follow a rule of law or a general law but must also assume it, approve it, confirm its value, by a reinstituting act of interpretation, as if ultimately nothing previously existed of the law, as if the judge himself invented the law in every case. No exixtence of justice as law can be just unless there is a “fresh judgement”.

Agar sebuah putusan menjadi adil dan bertanggungjawab, putusan itu harus memelihara hukum dan juga menghancurkannya atau menundanya untuk kemudian menciptakannya kembali di setiap kasus karena setiap kasus adalah yang lain (other). Setiap putusan adalah berbeda dan meminta sebuah interpretasi yang unik secara mutlak, di mana tidak ada jaminan yang mutlak dari aturan.
Jadi, kita tidak bisa mengatakan suatu putusan hakim dalam pengadilan itu adil bila dia mendasarkan putusannya di atas hukum atau aturan tertentu atau bila dia menunda keputusan-keputusannya, berhenti sejenak di hadapan yang takdapatdiputuskan (undecidable) atau jika dia melakukan improvisasi dan meninggalkan semua aturan, semua prinsip. Dengan kata lain, putusan yang adil itu berada pada tegangan antara mengikuti hukum atau aturan dan menidak pada aturan-aturan hukum, dengan menunda putusan itu hingga harus menciptakannya kembali secara baru (fresh).

Aporia Kedua: the ghost of the undecidable.
Menurut Derrida, takdapatdiputuskan (the undecible) ini bukanlah tegangan antara dua putusan , tetapi merupakan pengalaman (walau heterogen, asing terhadap susunan aturan yang dapat dikalkulasi) yang memberikan dirinya pada putusan yang tidak mungkin, sementara masih mendasarkan diri pada aturan dan hukum. Sebuah putusan yang tidak melalui pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan (the ordeal of the undecidable) tidak akan menjadi sebuah putusan bebas, putusan itu hanya menjadi aplikasi dari sebuah program yang dapat dikalkulasi. Boleh jadi putusan itu legal, tetapi tidak adil. Sekali pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan itu berlalu (jika hal itu mungkin), putusan akan kembali mengikuti sebuah aturan. Putusan itu tidak lagi hadir saat ini (presently just) atau adil sepenuhnya (fully just). Juga jika putusan itu dijamin oleh aturan atau hukum, putusan itu akan direduksi kepada kalkulasi dan kita tak dapat menyebutnya adil.
Lalu bagaimana menjaga agar sebuah putusan adil itu tidak tereduksi ke dalam sebuah kalkulasi atau perhitungan? Derrida melanjutkan bahwa pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan itu tak pernah berlalu atau terlewatkan. Pengalaman itu bukanlah sebuah peristiwa yang mengatasi atau mengarahkan dalam putusan. Yang takdapatdiputuskan itu tetaplah tertangkap setidaknya sebagai sebuah hantu di setiap keputusan, setiap peristiwa dari putusan. Kehadirannya sebagai sebuah hantu akan mendekonstruksi jaminan apa pun dari kehadiran yang akan meyakinkan kita akan keadilan dari sebuah putusan.

Aporia Ketiga: the urgency that obstruct the horizon of knowledge.
Horizon diartikan oleh derrida sebagai baik permulaan dan batas yang menentukan sebuah kemajuan yang tak terbatas maupun sebuah saat menunggu. Namun, bagi Derrida, keadilan itu tidak menunggu. Sebuah putusan yang adil selalu meminta dengan segera, ”right away”. Keadilan itu sendiri tidak menyediakan informasi yang tak terbatas dan pengetahuan yang tak terbatas dari kondisi, aturan-aturan atau imperatif-imperatif hipotetis yang dapat mengadilinya. Peristiwa putusan selalu tetap berada dalam sebuah peristiwa mendesak yang terbatas. Sejauh tidak harus menjadi konsekuensi dari pengetahuan teoritis atau historis, putusan instan adalah sebuah kegilaan (madness). Bahkan jika waktu dan kebijaksanaan, kesabaran dari pengetahuan dan keunggulan kondisi-kondisi secara hipotetis tidak terbatas, putusan secara struktural terbatas, bagaimanappun terlambatnya ia datang, sebuah putusan dari kemendesakkan dan ketergesa-gesaan, bertindak di malam tanpa pengetahuan dan tanpa aturan.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa keadilan tetaplah dimensi dari peristiwa-peristiwa yang taktereduksi yang datang (to come). Keadilan akan selalu memiliki momen to come, a venir (yang datang). Barangkali karena keadilan sejauh ini bukan hanya sebuah konsep yuridis atau politis, ia membuka bagi sebuah perubahan, penemuan atau penciptaan kembali hukum dan politik. Ada sebuah à venir bagi keadilan. Keadilan sebagai pengalaman dari yang lain secara mutlak merupakan yang takdapathadir (unpresentable), namun merupakan kesempatan dari peristiwa dan kondisi dari sejarah.

Kesimpulan
Keadilan tidak dapat sepenuhnya dialami karena keadilan berangkat dari pengalaman yang tidak mungkin, yaitu aporia. Keadilan hanya menjadi mungkin bila pengalaman yang tidak mungkin itu menjadi dasar sebuah putusan yang adil. Setiap putusan yang adil tidak akan sepenuhnya tercapai bila hanya mendasarkan diri pada aturan-aturan atau hukum-hukum tertentu karena putusan itu hanya akan menjadi aplikasi program belaka. Namun, putusan itu juga tidak bisa dikatakan adil bila tidak mengacu sama sekali pada aturan-aturan tertentu atau sesuatu di luar aturan-aturan tersebut. Putusan itu menjadi adil bila momen pengambilannya dalam keadaan “fresh judgement” atau dalam keadaan yang sama sekali baru. Dengan kata lain, putusan itu diambil berdasarkan penafsiran terus-menerus secara baru terhadap setiap kasus yang terjadi karena setiap kasus adalah unik, singular, dan mutlak. Ia seperti momen pembentukan undang-undang baru atau pemogokan umum. Setiap kasus menghadirkan yang lain secara mutlak yang kedatangannya tidak dapat diprediksikan sebelumnya.
Setiap pemastian atau penjaminan keadilan atau klaim keadilan atas sebuah putusan selalu akan dibayangi hantu dari takdapatdiputuskan. Artinya, di dalam setiap putusan mengandung hal yang takdapatdiputuskan. takdapatdiputuskan itu akan selalu menggoyang atau merongrong setiap pemastian keadilan atas sebuah putusan karena keadilan adalah takdapatdiputuskan itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada satu putusan, tindakan, sikap, pemikiran yang dapat dianggap adil karena keadilan adalah pengalaman dari yang tidak mungkin.
Lalu apakah kita harus menunggu? Jika iya sampai kapan? Bagi Derrida keadilan tidak menunggu. Ia harus segera diputuskan. Putusan itu bersifat right away dengan tergesa-gesa sehingga selain irasional karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa itu adil, ia juga merupakan sebuah kegilaan karena berani melompat dari keterbatasan pengetahuannya ke dalam ketidakpastian akan masa depan yang bisa saja memunculkan hal-hal yang tidak diprediksikan sebelumnya. Dengan demikian, keadilan akan selalu memiliki to come, à venir dari yang lain (other).

Catatan Kritis
Keadilan, menurut Derrida, menuntut suatu sikap, tindakan, pemikiran, dan putusan yang harus terus-menerus merekontekstualisasi setiap kasus yang unik, singular, dan takterprediksikan Oleh karena itu, agar panggilan pada keadilan terus-menerus bergaung dalam kesadaran kita harus ada kehendak yang kuat, hasrat yang menyala-nyala untuk terus berani memasuki sebuah wilayah yang taktereduksi oleh prediksi atau perkiraan-perkiraan kita, sebuah wilayah yang menawarkan pengalaman tentang yang tidak mungkin. Dengan demikian, proyek keadilan bagi Derrida tidak akan pernah selesai karena ia sesuatu yang takdapatdiputuskan itu sendiri, sesuatu yang to come, à venir sehingga bisa menjadi sebuah ketidakpastian bagi orang yang mengharapkan sebuah kepastian. Di sinilah letak kebaruan dari pemikiran Derrida yaitu ada dalam etos untuk terus berpikir tanpa memikirkan putusan.
Dalam karyanya ini, Derrida tidak menawarkan proyek politis yang pasti dan jelas karena pemikirannya tentang keadilan selalu berkelit di antara yang sesuai dengan hukum dan di luar tatanan hukum. Pemikirannya tentang keadilan menawarkan kekuatan kreatif interpretatif yang provokatif. Penekanan terhadap perlakuan yang adil terhadap keunikan dan kekhasan setiap pribadi atau kelompok sosial, terutama yang marjinal sangat kuat.

Sumber Acuan
Derrida, Jacques, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”.
Hardiman, E. Budi, 2007, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius.





Feminisme Islam: Sebuah Usaha Revivalisasi Islam?

Vico SJ

Pendahuluan
Isu gender sudah bukan menjadi berita yang mengejutkan lagi. Isu tersebut merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum ada penyelesaian yang jitu. Kaum perempuan masih menjadi nomor dua setelah laki-laki. Namun, bukan berarti tidak ada perkembangan yang berarti. Pen-subordinasian terhadap kaum perempuan sudah disadari oleh kaum perempuan sendiri sebagai sebuah diskriminasi terhadap mereka. Oleh karena itu gerakan feminisme muncul sebagai reaksi atas ketidakadilan itu di mana hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dibatasi.
Karena feminisme Islam tidak dapat dilepaskan dari teks-teks keagamaan yang sangat menentukan kesadaran masyarakat, berbagai usaha untuk kembali kepada sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadis) untuk menanggapi persoalan tersebut telah dicoba. Namun, usaha kembali tersebut harus berhadapan dengan dua persoalan, pertama ada kontradiksi di dalam teks tersebut yang di sisi satu menyuarakan kesetaraan gender, di sisi lain menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Kedua, teks-teks tersebut perlu ditafsirkan secara baru bagi masyarakat modern saat ini karena teks-teks tersebut merupakan refleksi-refleksi atas situasi sosial budaya di mana Al-Qur'an diturunkan. Artinya, refleksi-refleksi dalam Al-Qur'an bisa dikatakan merupakan produk dari zaman itu. Persoalannya adalah bagaimana mengkaitkan antara Al-Qur'an yang diturunkan pada zaman tertentu dengan budaya masyarakat modern sekarang, khususnya perlakuan terhadap perempuan yang tentu saja sangat berbeda dengan konteks zaman itu?
Makalah pendek ini akan mencoba mengulas dua persoalan itu dengan menguraikan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teks-teks Al-Qur'an dan mengkaitkan teks-teks tersebut dengan situasi masyarakat modern, khususnya di Indonesia. Metode yang penulis lakukan adalah studi literatur dari berbagai sumber yang mungkin bisa memperkaya kasanah tulisan ini.

Bias Gender dalam Al-Qur'an
Telah diakui bahwa Islam membawa banyak perubahan sejak kehadirannya di tanah Arab yang waktu itu masih dikuasai oleh tradisi Jahiliyah. Menurut Nurul Agustina, dasar ikatan pernikahan yang semula adalah kepemilikan diganti menjadi ikatan kontraktual. Perempuan menjadi berhak menyatakan keberatan terhadap calon suami yang disodorkan walinya. Contoh lain adalah dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw yang mengatakan bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Dalam surat al-Hujrat (Al-Qur'an 49:13) disebutkan bahwa Allah sudah menciptakan pria dan wanita dalam suku dan bangsa yang berbeda-beda sehingga mereka satu sama lain dapat saling mengenal. Juga disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sejajar di hadapan Allah. Dengan demikian, Allah tidak membeda-bedakan laki-laki dan wanita. Di hadapan-Nya semua sama jika taqwa melakukan apa yang diperintahkan-Nya
Namun, kesulitan muncul—menurut M. Atho Mudzhar—ketika ada beberapa hadis yang justru mengatakan bahwa suatu masyarakat tidak akan pernah mencapai posisi puncak selama dipimpin oleh wanita. Hadis ini oleh beberapa kalangan dinilai sangat merendahkan derajat perempuan. Demikian juga terdapat ungkapan-ungkapan kontradiktif dalam Al-Qur'an yang diungkapkan Mudzhar, seperti misal dalam surat al-Nissa dipahami bahwa Siti Hawa, istri Nabi Adam diciptakan dari tulang rusuk yang menandakan sifat dasar wanita yang lebih rendah daripada pria. Dalam surat yang sama disebutkan bahwa pria adalah pemimpin bagi wanita. Hal ini menandakan bahwa laki-laki kedudukannya lebih tinggi dari wanita. Dalam surat al-Baqarah disebutkan pula bahwa kesaksian wanita dalam perjanjian utang piutang separo dari kesaksian pria.
Setelah sejenak melihat beberapa contoh kontradiksi yang ada, lalu bagaimana menentukan standar doktrin Islam yang mapan? Mudzhar dengan menarik membuat sebuah kesimpulan bahwa dalam sepuluh tahun pertama kelahiran Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat besarnya, kaum perempuan nampak menikmati kebebasan yang besar dalam menjalani kehidupan mereka. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama setelah munculnya para penafsir Al-Qur'an yang memainkan peranan cukup besar dalam membentuk tafsiran atas kemauan dan perintah Tuhan. Para penafsir ini menurut Mudzhar meskipun memiliki kedekatan dengan Nabi, namun berasal dari kelas atau segmen masyarakat tertentu yang disertai dengan budaya patriarki yang kuat.
Di sini nampak bahwa penafsiran teks-teks Al-Qur’an tetap diwarnai oleh salah satu budaya yang masih menganggap perempuan itu termasuk kelas dua. Menurut saya, Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diperuntukkan bagi umat-Nya saat itu adalah suci dan baik, terutama untuk mengangkat kaum perempuan yang mengalami masa-masa mengenaskan pada masa sebelum Islam ke taraf yang lebih baik. Persoalannya adalah manusia-manusia penafsir yang kebetulan dekat dengan Nabi itu memiliki kepentingan sendiri dalam menafsirkan keinginan Allah dalam Al-Qur’an. Jadi, untuk sungguh bebas nilai terhadap Al-Qur’an amat tidak mudah dilakukan karena terkait dengan nilai-nilai atau budaya dan tradisi yang sudah melekat dalam diri seseorang.
Saya tertarik dengan apa yang dikatakan Agustina sehubungan dengan urusan tafsir-menafsir teks Al-Qur’an ini. Beliau mengatakan bahwa tafsir harus dibedakan dari agama. Agama bersifat mutlak dan berada di dataran abstrak, sementara tafsir—sesuai dengan penafsirnya—bersifat relatif. Oleh karena itu, menurutnya, ketaksaan bahasa Al-Qur’an justru sebenarnya malah membuka pintu dialog dan penafsiran kembali selalu terbuka. Namun, saya mencoba mengkritisi pendapat Agustina bahwa ada persoalan di situ, yaitu sejauh mana tafsiran-tafsiran itu diterima oleh kalangan Kaum Muslim yang lebih luas. Bukankah tipologi masyarakat kita itu sangat patriariki dan paternal. Oleh karena itu, tafsiran itu pasti tidak bisa lepas dari bahasa-bahasa paternalistik yang cenderung memihak pada kaum laki-laki saja.
Lebih jauh lagi saya tertarik dengan apa yang disampaikan Prof. Dr. Nasarudin Umar ketika beliau diwawancarai oleh Nong Darol Mahmada dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang fakta adanya bias gender dalam kitab-kitab suci agama-agama lain, seperti Bible, kitab Konghucu, Budha, bahkan kitab Talmud. Beliau cukup heran dengan fenomena yang sama itu. Lalu beliau mencoba meneliti sumber penyebabnya. Menurut beliau, ada dua unsur penting yang turut membentuk wacana keagamaan yang bias gender tentang perempuan tersebut, yakni faktor teologi dan mitos. Maksudnya adalah bahwa terkadang dasar pandangan tentang perempuan itu mitos, namun dianggap kitab suci. Oleh karena itu, dalam bukunya berjudul Teologi Perempuan: Antara Mitos dan Kitab Suci, beliau banyak melakukan klarifikasi yang mana kitab suci yang mana mitos, yang mana budaya Arab, yang mana doktrin Islam.
Jika demikian, apa yang bisa dilakukan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi arus penafsiran yang sarat dengan budaya patriarki itu? Gerakan feminisme mungkin bisa menjadi harapan bagi kaum perempuan Islam untuk menghidupkan dan memberdayakan kembali hak-haknya sebagai manusia yang setara dengan kaum laki-laki

Feminisme Islam: Salah Satu Usaha Revivalisasi Islam
Lalu apa sebenarnya feminisme itu? Agustina mendefinisikan feminisme sebagai kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan yuang disebabkan oleh adanya sistem sosial yang tidak adil, yakni perbedaan jenis kelamin, dominasi laki-laki, dan sistem patriarkat. Gerakan feminisme tidak berhenti pada kesadaran, melainkan meliputi tindakan konkret untuk mencapai kesetaraan, harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih dan mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Selain itu, menurut Agustina, feminisme bertujuan untuk membangun tatanan yang masyarakat yang adil baik bagi perempuan maupun laki-laki, yakni masyarakat yang bebas dari penindasan dan diskriminasi berdasarkan kelas, jenis kelamin, kasta, dan suku. Feminisme hendak menyadarkan kaum perempuan akan hak-hak mereka, segala bentuk penindasan yang mereka alami, opresi, eksploitasi dan subordinasi.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, ada fenomena menarik tentang gerakan feminisme di Barat. Memang awalnya tujuan gerakan feminisme Islam senada dengan gerakan feminisme di barat. Namun, muncul feminis-feminis radikal yang mengutuk sistem partriaki, mencemooh institusi perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks yang justru menodai reputasi gerakan tersebut. Bagi feminis radikal, tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy.
Namun, gerakan ini akhirnya mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak karena dituduh merusak institusi keluarga, mempengaruhi banyak wanita untuk mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan. Dan karena terlalu radikal melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan itu berangsur-angsur surut dan tinggal wacana.
Gerakan feminisme radikal ini berpengaruh juga di kalangan Muslim, misalnya Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis the Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for The Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat, Zainah Anwar dari Sisters in Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama adalah dampak dari gerakan feminisme radikal di Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam.
Oleh karena itu, sebaiknya gerakan feminisme Islam tetap bertitik tolak pada ajaran-ajaran inti Islam yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah demi pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanitanya saja. Gerakan feminisme Islam yang sehat adalah berasaskan Islami dengan bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan agenda mereka. Jangan sampai terperangkap lagi ke dalam dualisme yang bersifat dikotomis.

Feminisasi di Indonesia
Ada upaya untuk melindungi kaum perempuan dari ketidakadilan hukum di Indonesia. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, namun masih gamang dalam melindungi hak-hak kaum perempuan dalam hukum-hukumnya. Ada kesan kuat, reformasi hukum untuk melindungi kaum perempuan masih suram, artinya masih ada kelompok konservatif yang ingin secara gigih mempertahankan doktrin Islam yang mapan tentang wanita.
Munawir Sadzali di tahun 80-an pernah berargumen bahwa bagian separo anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dalam hal warisan bukanlah peraturan yang final, namun lebih merupakan masa transisi, atau peraturan transisi. Kemudian Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU, ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departeman Agama RI mengeluarkan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah digagas sejak tahun 1985. Meskipun draft itu di saat bersamaan menuai kecaman keras dari kelompok konservatif yang memandang isi LCD itu kontroversial, meresahkan, dan mungkin menghina otoritas KHI, daya guncang yang dihasilkan cukup besar. Alasannya adalah bahwa draft itu tidak berpijak di tanah kosong atau hanya dalam ranah abstrak saja, melainkan berpijak pada realitas keseharian perempuan yang diakibatkan oleh hukum keluarga di Indonesia yang masih ”memusuhi” perempuan.
Tantangan yang dihadapi kaum feminis di Indonesia menurut Agustina adalah bagaimana mengolah dan mempertahankan isu kesetaraan gender supaya tidak ”fades away” alias surut dan perlahan-lahan menghilang. Selanjutnya bagaimana isu kesetaraan gender ini juga dipahami oleh kaum awam yang merupakan anggota terbesar masyarakat Indonesia.

Kesimpulan
Kembali pada judul makalah ini, sungguhkah feminisme Islam menjadi salah satu daya kekuatan untuk merevivalisasi Islam sehingga isu gender semakin bisa diatasi? Jawaban saya adalah bisa apabila ada kesepahaman di antara umat Islam sendiri mengenai pentingnya kesetaraan itu dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Persoalannya adalah tidak mudah membangun kesepahaman itu mengingat dalam tubuh Islam sendiri terdiri dari berbagai macam aliran yang masing-masing mengusung sendiri tafsiran-tafsiran mereka terhadap Al-Qur’an. Daya tafsir tentu saja mempengaruhi cara pandang dan cara bertindak. Inilah yang menjadikan Islam itu warna-warni. Seandainya ada satu badan yang resmi untuk melakukan kajian keIslaman, tentu tetap besar kemungkinan akan tergelincir pada kekuasaan atau klaim kebenaran atas tafsiran Al-Qur’an bila ada tafsiran lain.
Hal yang paling dirugikan tentu saja kaum awam yang tidak mengerti sama sekali tentang bagaimana melakukan tafsiran secara benar atas Al-Qur’an, terutama kaum perempuan. Situasi di Indonesia cukup beragam dan kompleks tidak seperti di negara-negara Arab. Ada beragam budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang melingkupi setiap kaum Muslim yang tersebar di seantero nusantara ini. Tentu akan sulit apabila menerapkan satu tafsiran atas kutipan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an pada kasus per kasus karena setiap kasus itu unik, singular, dan membutuhkan suatu interpretasi dan rekontekstualisasi yang segar untuk mampu dengan jernih melihatnya.
Mengenai isu kontradiktif dalam teks-teks Al-Qur’an, ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa kontradiksi itu demikian jelas, namun ada pihak yang mengatakan bahwa tidak ada yang kontradiktif tentang isu gender dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, penting sekali peran ilmu kajian historis sosiologis dan hermeneutika untuk membantu melakukan interpretasi baru apa-apa yang dahulu terjadi di jaman Nabi Muhammad dengan mengkaitkannya dengan situasi masyarakat Indonesia.

Sumber Acuan:
Agustina, Nurul. "Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society" dalam Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer oleh Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor). Jakarta: Paramadina. 2005.

Hanafi, Hasan dkk. 2007. Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (editor). 2005. Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina.

Mudzhar, M. Atho. "Status Wanita dalam Islam dan Masyarakat Muslim", dalam Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal oleh Hasan Hanafi dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Internet:
http://paramadina.wordpress.com/2007/03/16/semua-kitab-suci-bias-gender pada tanggal 25 Mei 2008, jam 22.00.
http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com pada tanggal 25 Mei 2008, jam 23. 08.

CAGAR BUDAYA CONDET YANG GAGAL

Oleh Vico SJ

Kegagalan itu disebabkan adanya perubahan yang telah terjadi di dalam masyarakat Betawi itu sendiri. Perubahan itu meliputi perubahan sosial, kebudayaan, dan perubahan dalam aspek kejiwaan. Perubahan sosial terjadi bila ada perubahan dalam pola-pola hubungan yang berlaku dalam kehidupan sosial antara lain sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Penyebab perubahan itu adalah pertama faktor ekonomi dan urbanisasi. Daerah Condet yang dikenal subur, penghasil buah duku dan salak yang baik, banyak pepohonan yang rindang ini lama kelamaan mengundang minat banyak pendatang, termasuk warga keturunan Arab dari daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. Hal ini mengundang minat warga Betawi untuk menggunakan nilai ekonomis dari tanahnya yang subur untuk dijual kepada para pendatang dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan mereka seperti menyekolahkan anak-anaknya. Namun, harapan ini terbentur dengan adanya penetapan kawasan Condet sebagai cagar budaya Betawi oleh pemerintah daerah (pemda) yang ingin melestarikan kebudayaan Betawi di daerah tersebut.. Ada beberapa aturan yang mengatur soal ijin membangun bangunan (IMB) yang sangat ketat, diantaranya adalah warga hanya dijinkan membangun bangunan seluas 20 persen saja dari keseluruhan tanahnya. Sisanya digunakan untuk resapan air. Aturan ini menimbulkan keengganan di pihak calon pembeli sehingga harga tanah turun dan menjadi sangat murah. Karena desakan ekonomi dari warga (mereka tidak berharap banyak dari hasil perkebunan buah-buahan karena tidak ada kompensasi dari pemerintah), ditambah dengan tidak berlanjutnya pelaksanaan janji pemerintah untuk membiayai renovasi cagar budaya Betawi, warga dengan terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah. Lama-kelaman lahan luas yang awalnya untuk perkebunan buah duku dan salak, serta sebagai tempat tinggal monyet dan burung-burung langka menyempit.
Kedua adalah ketidakkonsistenan pelaksanaan aturan IMB oleh pemda setempat. Akibat dari tanah yang mulai menyempit, warga Betawi ada yang pindah ke tempat lain (misalnya di Bekasi, Depok) dan ada yang menetap dengan memanfaatkan tanah sisa untuk didirikan bangunan baru sebagai rumah kontrakan. Tentu saja rumah-rumah baru yang dikontrakkan itu tidak memenuhi aturan IMB karena lahan mereka yang sempit. Demikian pula pada para pendatang, mereka pun mendirikan bangunan-bangunan modern tanpa memenuhi aturan IMB. Karena tidak ada tindakan tegas dari pemda setempat terhadap pendirian liar bangunan-bangunan itu, daerah Condet penuh dengan bangunan-bangunan modern sehingga tidak ada bedanya dengan pemukiman di tempat lain. Tidak ada nuansa betawi sedikit pun di daerah tersebut. Jadi, warga Betawi di daerah Condet tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan pemda (waktu itu Gubernur Ali Sadikin). Selain itu, tuntutan kebutuhan akibat modernisasi telah mengubah cara pandang mereka terhadap budaya mereka. Oleh karena itu, usaha pelestarian budaya Betawi dengan cara membangun kawasan cagar-cagar budaya, menurut saya tidak akan berhasil sejauh tidak ada penanganan serius dan tegas dari pemerintah tentang jaminan pelestarian budaya Betawi secara berkelanjutan.

SEKTE: SEBUAH BENTUK DESEKULARISASI?

Vico SJ


Pengantar
Abad modern ditandai dengan sekularitas, di mana peran agama mulai melemah dalam kehidupan publik di suatu masyarakat. Hal ini disebabkan antara lain adanya pertumbuhan sangat pesat dari industrialisasi dan ilmu pengetahuan. August Comte, seorang sosiologis fungsional dari Perancis percaya bahwa sejarah manusia dibangun melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis (supernatural), tahap metafisik (natural), dan tahap positivistik (ilmu pengetahuan). Di tahap yang ketiga inilah kepercayaan religius mulai hilang dari permukaan bumi ini digantikan dengan ilmu pengetahuan yang akan mempengaruhi pikiran dan tingkah laku manusia secara langsung.. Berbeda pendapat dengan Comte, Durkheim berpendapat bahwa indikasi menurunnya peran agama adalah karena adanya pembagian kerja di dalam masyarakat industri yang sedang berkembang. Hal senada juga diutarakan Marx bahwa penurunan peran agama sangat terasa di kalangan masyarakat kapitalis karena agama hanya dipandang sebagai alat untuk melegitimasi ketidaksetaraan kelas. Sedangkan, Max Weber mengatakan bahwa salah satu sebab melemahnya peran agama adalah karena masyarakat sekarang adalah masyarakat yang rasional. Rasionalisasi inilah yang memperkecil pengaruh agama. Para sosiologis kontemporer juga sependapat dengan para pendahulunya bahwa ilmu pengetahuan dan rasionalitas, menurunnya nilai-nilai tradisi, dan meningkatnya pembagian kerja yang terspesialisasikan akan memperkecil pengaruh agama secara khusus, dan kepercayaan irasional secara umum. Dengan demikian, masyarakat modern nampak tidak cocok dengan adanya peran agama ini.
Namun, akhir-akhir ini dalam sebuah laporan yang cukup komprehensif yang dibuat Majalah The Economist bulan November 2007, agama mulai kembali dan memegang peranan penting dalam berbagai kebijakan politik di berbagai negara, seperti misal Nigeria. Negara ini mengidentifikasikan dirinya pertama kali dengan agama mereka baru kemudian sebagai orang Nigeria. Di dalam politik Barat, agama telah kembali ke dalam kehidupan publik. Presiden Amerika memulai harinya dengan sebuah doa dengan berdiri di atas lututnya dalam setiap rapat kabinetnya. Perbandingan orang-orang yang terikat pada empat agama besar, seperti Kristen, Islam, Buddhisme, dan Hinduisme meningkat dari 67% di tahun 1900 ke 73% di tahun 2005 dan bisa meningkat hingga 80% di tahun 2050. Selain itu, orang-orang yang mengaku beragama sekarang cenderung berani bersuara di segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang bisnis.
Tetapi, mengapa kekuatan agama ini kembali muncul dan meningkat di era modern ini? Alasan pertama adalah adanya serangkaian reaksi dan reaksi balik, misalnya Islam fundamentalis telah membantu Yudaisme dan Hinduisme radikal yang telah ditekan oleh dominasi Mullah. Adanya kelompok Al-Qaeda. Kedua, globalisasi—bentuk terakhir dari modernitas—telah mendorong agama masuk ke dalam wilayah publik. Bagi seorang tradisionalis, iman bertindak sebagai penyangga melawan perubahan.
Dari keterangan di atas mengenai kembalinya peran agama di dalam dunia modern ini, saya akan memfokuskan diri pada munculnya salah satu gerakan keagamaan yang baru, yaitu sekte. Dalam makalah ini saya akan membicarakan beberapa subtema yang berkaitan dengan sekte ini, yaitu ciri-ciri sekte, sebab-sebab sekte ini muncul dan bertumbuh, kaitannya dengan sekularisme, dan akhirnya kesimpulan.

Ciri-ciri Sekte
Sebelum memasuki ciri-ciri sekte, saya akan memberikan contoh beberapa sekte, seperti “Sekte Gereja Kiamat” . Sekte ini berdiri sejak tahun 1999 dan telah menyebar ke sejumlah kota di seluruh Indonesia. Pemimpin sekte ini, pendeta Mangapin Sibuea, mengumumkan akan segera datang hari kiamat pada tanggal 10 November 2003 pukul 15.00 di Bale Endah, Bandung, Jawa Barat. Ia mengaku mendapat bisikan tentang kiamat ini dari Yesus. Oleh karena itu, ia mengumpulkan para pengikutnya di pondok Nabi itu. Tujuannya adalah agar mereka dapat terangkat ke surga oleh Yesus. Namun, oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Barat setelah mendapat masukan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Jawa Barat, Kumpulan Gereja se-Bandung dan Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Kabupaten Bandung, mereka dinyatakan penganut aliran sesat, dan dilarang aktivitasnya sejak 2000. Sekte ini dibubarkan oleh polisi pada tanggal 10 November 2003, saat mereka sedang menunggu hari pengangkatan itu. Mereka dikenai Pasal 156 KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama. Selama persiapan menjelang pengangkatan, mereka tidak diperbolehkan bergaul dengan masyarakat luar, apalagi berbicara tentang kegiatan mereka. Makanan mereka juga dibatasi. Pengikutnya kebanyakan kaum profesional dan berpendidikan.
Namun, dalam sejarah gerakan menyongsong kiamat, sudah ada beberapa sekte sebelum kelompok pendeta Sibuea yang muncul, diantaranya adalah sekte Kuil Rakyat di mana hampir seribu pengikutnya bunuh diri di bawah komando Jim Jones pemimpin mereka, karena yakin bahwa kiamat akan terjadi di Jonestown, Guyana. Lima tahun kemudian, hampir seratus anggota jemaat Ranting Daud pimpinan David Koresh membakar diri di markas mereka di Waco, Texas, Amerika Serikat. Baru-baru ini, juga ada fenomena menarik tentang seorang pemimpin sekte sempalan Gereja Mormon, Warren Jeffs yang kini mendekam dalam penjara karena didakwa mengatur pernikahan gadis-gadis di bawah umur dengan pria dewasa sampai inses oleh pengadilan Utah, AS. Berita ini diulas dalam Majalah TEMPO bulan Desember 2007. Sebagai seorang “nabi”, Jeff bisa mengambil alih istri dan anak-anak seorang suami yang dianggap tak taat, lalu menyerahkan mereka kepada pria pilihan yang lebih religius. Gereja Fundamentalis Orang Suci Zaman Akhir yang dipimpin Jeffs memang mempunyai pandangan sangat konservatif dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sekte ini mendukung poligami. Jeff sendiri menikahi 70 perempuan. Dalam sekte ini seorang laki-laki harus setidaknya memiliki tiga isteri untuk mencapai surga tertinggi. Sekte ini memiliki 10 ribu pengikut di kawasan perbatasan Colorado City, Arizona, dan Hildale, Utah.
Berdasarkan contoh di atas, saya mencoba menatapkannya dengan beberapa karakteristik sekte yang diutarakan oleh Troeltsch. Troeltsch mengatakan bahwa pertama, sekte merupakan suatu kelompok yang lebih kecil dan terintegrasi sangat kuat ke dalam kelompoknya di bandingkan dengan organisasi-organisasi religius lainnya. Mereka terkait dengan kelas dalam masyarakat yang lebih rendah atau setidaknya unsur-unsur dalam masyarakat yang berlawanan dengan negara dan masyarakat. Di sini sangat jelas terlihat bahwa beberapa contoh sekte di atas memiliki semacam kesepakatan yang sangat konservatif, bahkan tidak jarang berlawanan dengan aturan-aturan dalam masyarakat dan Negara, misalnya pelarangan bergaul dengan anggota masyarakat lain bagi anggota sekte Gereja Kiamat, adanya keharusan seorang laki-laki untuk memiliki setidaknya tiga isteri untuk mencapai tingkat surga tertinggi. Kedua, mereka nampak sekali selalu berada dalam oposisi terhadap dunia. Mereka menolak nilai-nilai dunia yang berada di sekitar mereka, seperti misal penolakan mereka untuk bersumpah dalam sebuah pengadilan, untuk memiliki hak milik pribadi, penolakan mereka terhadap hukum-hukum, atau mengambil bagian dalam perang. Ketiga, mereka cenderung menarik diri dari dunia luar sekte mereka, namun di saat yang sama, mereka ingin mengetahui perkembangan dunia luar. Keempat, anggota sekte diharapkan setia kepada kepercayaannya. Mereka mungkin akan dikeluarkan apabila mereka gagal memperlihatkan komitmen mereka. Seperti dalam kasus Jeff, para anggota yang melanggar akan dikenai hukuman, yaitu isteri dan anak-anak mereka akan dikawinkan dengan laki-laki dewasa yang lebih religius. Kelima, sekte ini, terutama pemimpinnya melakukan kontrol yang sangat kuat pada hidup para anggotanya. Kita bisa melihat pengaruh yang sangat kuat dari para pemimpin sekte ini pada anggota-anggotanya melalui contoh di atas. Keenam, mereka cenderung memonopoli kebenaran agama mereka sendiri, misalnya tanggal dan jam hari kiamat yang mereka yakini akan terjadi. Ketujuh, biasanya mereka memiliki pemimpin karismatik tunggal, yang kepribadian dan kualitas khususnya mampu membujuk para pengikutnya untuk mengikuti ajaran-ajarannya.
Berkaitan dengan karakteristik sekte yang diungkapkan Troeltsch, Roy Wallis mencoba membagi gerakan keagamaan baru dalam tiga kelompok utama: kelompok yang menolak dunia, yang berakomodasi dengan dunia, dan kelompok yang mengafirmasi dunia. Jika dikaitkan dengan karakteristik sekte yang diutarakan Troeltsch, sekte termasuk kelompok yang menolak dunia. Menurut Wallis, mereka memiliki konsep yang jelas tentang Allah. Ideologi mereka merupakan kritik terhadap dunia luar mereka dan gerakan ini mengharapkan atau secara aktif mencari perubahan. Beberapa kelompok mengharapkan Allah ikut campur tangan untuk mengubah dunia. Dalam kerangka meraih keselamatan, para anggota diharapkan memutus secara tegas kehidupan biasa mereka ketika mereka bergabung dengan gerakan ini. Artinya, mereka harus meleburkan diri dalam peraturan-peraturan komunitas. Dengan demikian, jelaslah bahwa sekte termasuk kelompok yang menolak keduniawian. Di sini, kita bisa melihat bahwa anggota sekte Gereja Kiamat meyakini bahwa tanggal 10 November 2003 merupakan hari kiamat sehingga mereka perlu menyiapkan diri dengan berpuasa, tidak berhubungan dengan masyarakat. Kita bisa melihat pula komunitas Gereja Fundamentalis Orang Suci Zaman Akhir yang dipimpin Jeffs yang mengisolasi diri di sebuah tempat di Utah, AS. Orang lain bagi komunitas ini dihadapi dengan curiga bahkan dengan kemarahan. Para jemaat juga dijauhkan dari media. Televisi dan internet adalah barang yang haram. Anak-anak dijauhi dari ilmu-ilmu terbaru.

Sebab Munculnya Sekte dan Perkembangannya.
Jika saya bertanya, pastilah saya akan melontarkan pertanyaan yang kurang lebih sama atau umum: Mengapa sekte-sekte ini memiliki pengikut yang setia bahkan fanatik? Hal istimewa apakah yang ditawarkan dari sekte-sekte ini kepada para pengikutnya? Alasan apa yang membuat para pengikut sekte ini mau menyerahkan dirinya dan tunduk kepada pemimpin karismatiknya? Jawabannya pastilah beragam. Saya akan mengambil beberapa pernyataan tokoh sosiologis yang menyediakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Menurut Weber, pertumbuhan sekte ini dikarenakan kemarjinalitasan anggota-anggota mereka di dalam masyarakat. Anggota-anggota kelompok ini sering merasa tidak menerima penghargaan yang selayaknya mereka terima dari masyarakat. Oleh karena itu, sekte-sekte ini menawarkan semacam harapan akan kehormatan atau kemuliaan baik di kehidupan setelah mati atau sebuah ‘dunia baru’ di dunia ini. Kita bisa melihatnya pada para anggota sekte Gereja Kiamat yang meyakini dan mengharapkan bahwa Yesus akan menjemput mereka dan membawa mereka ke surga sehingga penderitaan mereka di dunia dapat terlewatkan. Pendeta Mangapin Sibuea, dalam hal ini, dengan karismanya menegaskan akan adanya wahyu yang ia terima langsung dari Yesus yang menurut keyakinannya akan terlaksana pada tanggal 10 November 2003 yang harus diterima juga oleh jemaatnya.
Namun, menurut Bryan Wilson, penyebabnya bukan hanya marjinalitas dari para anggotanya, melainkan kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka bertumbuh. Kondisi-kondisi ini adalah kekalahan perang, bencana alam, atau runtuhnya perekonomian. Selanjutnya, ada fenomena lain yang perlu dijawab, yaitu adanya pengikut yang berusia muda dan berasal dari kelas menengah yang tertarik bergabung dalam anggota sekte-sekte tertentu. Apakah mereka sungguh-sungguh merupakan bagian masyarakat yang mengalami marjinalitas? Tentu saja tidak, lalu bagaimana menjelaskan hal ini? Konsep relative deprivation saya kira dapat menjelaskan hal ini bahwa konsep ini mengacu pada perasaan kehilangan atau perasaan kehilangan yang sebenarnya dirasakan orang. Secara objektif orang miskinlah yang paling merasakan kehilangan ini, namun secara subjektif, kalangan menengah ke atas juga mengalami perasaan kehilangan lebih dari orang miskin ini walaupun secara materi mereka tidak kekurangan. Kelompok menengah ini kehilangan perasaan spiritual di dunia yang mereka lihat yang terlalu materialistis, sepi, dan impersonal. Oleh karenanya mereka mencari keselamatan di dalam komunitas yang ditawarkan oleh sekte-sekte. Lebih jauh lagi, Steve Bruce mengatakan bahwa perkembangan institusi-institui keagamaan termasuk sekte dan cult terjadi karena proses modernisasi dan sekularisasi.

Kaitan Sekte dengan Sekularisasi
Oleh beberapa sosiologis, pertumbuhan sekte ini erat kaitannya dengan sekularisasi. Menurut Peter Berger, keyakinan pada hal-hal supranatural hanya dapat bertahan di dalam bentuk sektarian dalam sebuah masyarakat sekular. Setiap individu di dalam anggota sebuah sekte harus memutus diri mereka dari pengaruh dunia sekular di sekitar mereka agar keyakinan dan komitmen keagamaan mereka tetap kuat dan mencari dukungan dari mereka yang senasib. Di sini, sekte menyediakan sebuah konteks yang memungkinkan orang-orang ini saling mendukung satu sama lain. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sekte merupakan persinggahan supranatural terakhir dalam masyarakat sekular. Di sinilah sekte merupakan bukti sekularisasi. Brian Wilson juga berpendapat bahwa sekte merupakan sebuah fitur masyarakat yang mengalami sekularisasi dan mereka bisa dilihat sebagai sebuah respon terhadap situasi di mana nilai-nilai agama telah kehilangan kontrol keutamaan sosialnya. Dengan kata lain, sekte-sekte merupakan perhentian terakhir dari agama dalam masyarakat di mana keyakinan agama dan nilai-nilai mempunyai sedikit konsekuensi.

Kesimpulan
Dengan demikian, apakah sekte merupakan salah satu bentuk desekularisasi atau kembalinya kehidupan agama di kehidupan publik yang sarat dengan rasionalitas dan modernitas ini? Saya coba mengutip pendapat Anthony Giddens bahwa orang-orang menjadi semakin sadar apa yang mereka pilih dalam hidup ini, siapa mereka sebenarnya, dan apa yang mereka harapkan terjadi pada diri mereka. Mereka tidak secara sederhana menerima posisi mereka dalam masyakarat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan rasionalitas memungkinkan setiap orang dengan kesadaran budinya menentukan akan seperti apa cara hidup yang akan dipilihnya, identitas macam apa yang hendak mereka hidupi, dan konsekuensi-konsekuensi apa yang akan mereka terima dari masyarakat sebagai respon dari pilihan-pilihan mereka. Selain itu, menurut Giddens, perkembangan rasionalitas yang demikian cepat memungkinkan berkembangnya keraguan di pikiran orang-orang tentang segala macam aspek kehidupan mereka. Dengan demikian, mereka pun mempertanyakan dunia di mana mereka hidup: apakah dunia yang materialistis ini menjamin keselamatan yang mereka cari atau dambakan dalam kehidupan mendatang? Apakah kemajuan ilmu pengetahuan sungguh-sungguh merupakan jawaban dari pertanyaan eksistensial manusia tentang mengapa manusia ada, dari mana mereka berasal, dan akan kemana mereka setelah kehidupan ini berlalu dengan kematian?
Untuk itulah, sekte hadir dengan beragama harapan yang mereka tawarkan berhadapan dengan semakin sekularnya dunia ini, entah harapan sejati yang bisa sungguh-sungguh diandalkan atau harapan semu yang ditawarkan oleh beberapa pemimpin karismatis dengan dilatarbelakangi beragam motivasi terselubung. Namun, fakta memperlihatkan bahwa masih ada sampai sekarang orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu yang menjadi pengikut sekte-sekte ini.



Sumber Acuan

Primer:
Haralambos and Holborn. 2004. Sociology:themes and perspectives, HarperCollins,
Hammersmith, London.

Sekunder:
Majalah TEMPO, 2 Desember 2007.
Majalah TEMPO, 30 November 2003.
The Economist, “In God’s Name”, A Special Report On Religion and Public Life,
November 3rd 2007.


Situs Tondowongso: Warisan Klasik Indonesia

Oleh Vico

Pengantar
“Mahakarya di Kaki Kelud”, demikian judul sebuah artikel di Koran Tempo, mengisahkan penemuan 14 benda purbakala di pertengahan bulan Januari hingga awal Maret 2007 berupa tiga belas arca dan satu bangunan yang diperkirakan sebagai patirtan, yaitu kolam pemandian kuno di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Enam arca yang pertama kali ditemukan (berdasarkan urutan penemuannya) adalah arca Dewa Brahma, Lembu Andini, Dewi Durga Mahesa Sura Mandini, Yoni, Arca Syiwa Catur Muka dan arca Nandiswara. Penemuan berikutnya adalah Patirtan, disusul kemudian tujuh arca, yaitu alat perang gada, arca Dewi Dursonolo, arca Narada, arca Surya, arca Nyowo Dipati, arca Brahma, dan arca Gada Rujakpolo. Selain itu, ditemukan pula lima bangunan menyerupai altar dimana di puncak altar itu terdapat arca-arca tersebut, dan empat candi dengan satu candi induk. Situs seluas hampir 1, 06 hektar ini disebut penemuan arkeologi terbesar dalam 30 tahun terakhir setelah Prambanan (Yogyakarta) dan Penataran (Blitar).
Bagi saya, penemuan ini sungguh sesuatu yang luar biasa karena secara bertahap terkuak misteri kehidupan masyarakat di masa lalu, yaitu di abad ke-11 Masehi, khususnya bagaimana otoritas agama Hindu cukup berpengaruh pada masa itu. Selain itu, penemuan situs ini juga merupakan bagian dari penggalian kekayaan seni arsitektur sebagai warisan luhur bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, saya mencoba memetakan konteks situs itu dalam periodisasi sejarah awal bangsa Indonesia.

Konteks Situs Dalam Periodisasi Sejarah
Situs Tondowongso yang berlokasi di kabupaten Kediri, Jawa Timur dengan arca-arca bernuansa Hindu, seperti arca Syiwa, Brahma, Lembu Andini dan gaya arsitektur candi itu menunjukkan bahwa situs itu didirikan sekitar abad XI tidak lama setelah Kerajaan Hindu di Jawa Tengah berimigrasi ke Jawa Timur pada abad sebelumnya. Masa itu merupakan bagian dari zaman Klasik Madya sekitar tahun 900 M – 1250 M. Jaman itu merupakan bagian dari deretan periodisasi sejarah awal Indonesia yang terbagi dalam zaman prasejarah awal (2 juta-10 ribu SM), prasejarah akhir (10 ribu SM-200 M), protosejarah (200 M-600 M), Klasik Awal (600 M-900 M), Klasik Madya (900 M-1250 M), Klasik Akhir (1250 M-1500 M), dan Islam Awal (1500 M-1600 M). Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi di Jawa pada masa itu, diantaranya adalah menghilangnya kerajaan di Jawa Tengah, dan munculnya kerajaan-kerajaan baru di Jawa Timur, yang terpenting Kediri; kesusasteraan keraton Kediri mencapai zaman keemasannya, misalnya Kakawin, Bharatayuda yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, dan Smaradahana ; seni pahat Kediri menyimpang dari gaya Jawa Tengah: lebih kaku, dan tampak berfungsi untuk upacara pemakaman; di bidang agama, raja-raja Kediri mengidentifikasikan dirinya dengan Wisnu atau dewa pilihannya sendiri. Dengan demikian tampak bahwa situs Tondowongso ini bisa dikatakan merupakan bagian dari kejayaan pada masa Kerajaan Kediri sehingga ciri-ciri seni arsitekturnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Kerajaan Kediri.

Makna Seni Arsitektur Situs Tondowongso
Karena situs ini masih tergolong baru dan penamaan tiap arca dilakukan oleh warga setempat serta pengumpulan dan pengolahan data-data informasi masih dalam perkembangan , saya hendak menempatkan pemaknaan benda-benda temuan itu dalam konteks sejarah sebelumnya, yaitu sejarah klasik awal dan sejarah klasik madya.
Ciri seni arsitektur yang terdapat pada penemuan benda-benda arkeologis di situs Tondowongso, menurut saya tidak terlepas dari praktik keagamaan masyarakat saat itu, yaitu agama Hindu. Hal ini tampak dari arca-arca yang ditemukan, yaitu arca Brahma sebagai lambang Sang Pencipta, arca Syiwa yang melambangkan Sang Perusak, lembu Andini, tunggangan Syiwa, Nandiswara sebagai penjaga Sang Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Syiwa), bangunan altar sebagai pusat peribadatan masyarakat pada sesembahan mereka, yaitu Trimurti, dan candi yang berbentuk seperti candi Tikus yang ukurannya menyamai Candi Prambanan sebagai bentuk penghormatan masyarakat pada para penguasa yang telah meninggal.
Seni Arca Hindu jaman Klasik Awal dibuat dengan patokan keindahan sebagaimana dijelaskan dalam kitab pedoman Sansekerta, yaitu apa-apa saja yang diperbolehkan untuk patung-patung keagamaan. Namun, arca Hindu Jawa mempunyai kecenderungan memperkecil bentuk badan sehingga nampak menggairahkan. Hal ini tidaklah mengherankan karena selera Jawa menganggap bahwa kerampingan badan adalah salah satu syarat keindahan.
Mengenai candi, kebanyakan candi di Jawa Timur digunakan untuk menghormati orang-orang golongan penguasa yang meninggal. Agama di Jawa Timur memusatkan perhatian pada pembebasan jiwa (moksha) sebagai keadaan jiwa yang bersatu kembali dengan seorang dewa yang untuk sementara waktu terpisah dari dirinya. Oleh karena itu, arsitektur dirancang untuk menyelenggarakan upacara itu. Demikian pula seni arsitek bangunan candi di situs Tondowulan nampaknya dimaksudkan untuk itu. Selain itu candi juga disebut sebagai gunung tempat tinggal para dewa, khususnya dewa Syiwa atau Wisnu. Oleh karena gunung merupakan lambang alam semesta, candi dipuja dan disembah sebagai lambang alam semesta.

Apa arti benda-benda purbakala itu bagi zaman ini?
Secara singkat, adanya penemuan benda-benda bersejarah itu membuktikan pertama, adanya kebesaran dan kemegahan nilai-nilai budaya pada masa lampau yang terletak di tanah Indonesia dan menjadi milik bangsa ini. Namun, tidak cukup hanya mengagumi saja kebesaran itu, melainkan berusaha mencintai dengan mendalami secara sungguh pengetahuan tentang perkembangan sejarah awal masa lalu bangsa ini dan mengupayakan kelestariannya dengan membangun sikap menghargai dan merawat benda-benda itu. Kedua, kemunculan benda-benda itu di depan mata kita hendak menyampaikan pesan bahwa mereka pun bagian dari harta kekayaan bangsa ini sekaligus mengingatkan kembali akan identitas bangsa ini. Ketiga, kemunculan benda-benda dari masa lalu ini menegaskan adanya hubungan yang tak terputus antara masa lampau dengan masa kini. Keempat, bentuk arca dan bangunan candi yang hinduistik memperlihatkan adanya keyakinan yang mengagumkan akan kekuatan transendental yang menaungi mereka, menjaga mereka, dan memberi kehidupan bagi mereka, sehingga sebagai perwujudan keyakinan yang mendalam akan hal itu dibuatlah arca dan candi sebagai sarana penyatuan dengan Yang Transenden.

Masyarakat Suku Tengger dan Upacara Kasada

Vico SJ

Pendahuluan
Masyarakat suku Tengger bagi saya adalah suatu masyarakat yang menarik untuk diperhatikan. Saya pernah berjumpa dengan masyarakat ini pada tahun 2005, ketika saya sedang dalam perjalanan mendaki Gunung Semeru dan Gunung Bromo, tepatnya di daerah Ranu Pane di sekitar danau Ranu Pane, 2500 meter di atas permukaan air laut dan di kaki Gunung Bromo. Kesan pertama adalah kesederhanaan masyarakat ini dan bangunan Puranya yang indah dan terawat dengan baik di sekitar danau dan di atas pelataran lautan pasir di kaki Gunung Bromo.
Masyarakat ini dipercaya masih mempunyai kaitan erat dengan kerajaan di Jawa yang pernah berjaya sekitar abad ke-14, yaitu Kerajaan Majapahit. Bahkan masyarakat ini pernah disebut sebagai tiyang Gajah Mada.
Masyarakat ini mempunyai berbagai upacara adat yang penting seperti upacara hari raya Kasada, upacara hari raya Karo, Entas-entas dan Unang-Unang, yang bersifat tradisional. Dalam paper pendek ini, pertama-tama saya akan memberikan gambaran singkat mengenai letak geografis dan gambaran umum masyarakat suku Tengger, kemudian menjelaskan secara singkat apa itu upacara ritual Kasada beserta mitos seputar upacara dan tata inti upacara, kemudian peran dukun dalam upacara.

Letak Geografis Masyarakat Suku Tengger
Masyarakat Suku Tengger mendiami wilayah di kaki Gunung Bromo, tepatnya di Kecamatan Sumber, Kabupaten Pobolinggo. Gunung Bromo merupakan titik pusat dari suatu daerah pegunungan yang luas yang dinamakan Tengger. Daerah dataran tinggi Tengger terdiri atas lembah-lembah dan lereng-lereng perbukitan. Luas daerah Tengger terbentang dari arah Utara ke Selatan sekitar 40 km, dan dari arah Timur ke Barat sekitar 30 km. Ketinggiannya antara 1000--3676 meter di atas permukaan laut. Secara administratif, pegunungan Tengger terletak di daerah pertemuan empat kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang.
Gunung Bromo ( 2.392 meter d.p.l ) sendiri terletak di atas Kaldera (kawah) Tengger yang berupa lautan pasir yang sangat luas. Bahkan kaldera lautan pasir ini merupakan kaldera yang paling luas di Pulau Jawa.
Iklim di daerah Tengger adalah tropis. Namun pada saat musim penghujan antara bulan November sampai dengan bulan Maret, terdapat kabut yang sangat tebal sehingga kelembaban udara terasa sangat dingin. Pada musim kemarau, cuaca agak bersih dan pada malam hari biasanya temperatur terasa lebih dingin dari pada musim hujan.

Gambaran Umum Masyarakat Suku Tengger
Masyarakat Suku Tengger disebut sebagai tiyang Gajah Mada oleh Kraton Yogyakarta hingga sampai abad ke-18. Menurut sebuah naskah yang berasal dari Kraton Mataram, yang berangka tahun 1814, orang-orang Gajah Mada ini adalah penduduk di sebuah pegunungan yang dihadiahkan kepada Mahapatih Gajah Mada atas jasa-jasanya oleh Kraton Majapahit, sebuah kerajaan Hindu-Budha terakhir di Jawa pada abad ke-14.
Kerajaan tersebut jatuh oleh serangan Sultan Agung, Raja kerajaan Mataram (1613—1646) sekitar abad ke-15 sehingga sebagian orang-orang Majapahit melarikan diri ke pegunungan tersebut, termasuk di sini adalah Roro Anteng dan Jaka Seger. Di sana mereka tetap melestarikan agama leluhur mereka yang disebut agama Hindu. Mereka sangat yakin bahwa agama yang dianutnya adalah keturunan agama Hindu yang murni. Selanjutnya, banyak orang-orang Tengger telah mengidentisasikan tradisi keagamaan ini sebagai agama Hindu. Agama Hindu mereka sama seperti agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Namun, mereka tidak mempunyai istana, senjata, kekayaan seni budaya tradisional, maupun sistim kasta seperti di Bali. Setiap orang diakui mempunyai hak yang sama. Mereka jug a terkenal dengan ketaatannya pada adat istiadat mereka. Mereka percaya bahwa yang menjadi ikatan di antara mereka adalah hukum karma. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha berbuat baik.
Menurut M. Khoirul Anwar, masyarakat suku Tengger dikenal sebagai masyarakat yang jujur, sederhana dan hemat. Mereka tidak mempunyai keinginan yang muluk-muluk. Mereka tidak mempunyai rasa iri hati pada milik orang lain. Meskipun mereka mempunyai banyak harta, tak sedikit pun mereka mempunyai keingingan untuk bersaing dengan sesamanya.
Sementara itu mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani. Mereka menanam tanaman holtikultura. Tanaman pokok yang mereka tanam adalah jagung, ketela pohon, ketela rambat, umbi-umbian, dan sayur-sayuran seperti kentang, bawang putih, kobis, bawang pre, besai, dan wortel. Tanaman yang mereka tanam pada umumnya dapat dipetik dua kali setahun.

Upacara Ritual Kasada
Setiap tahun, pada tengah malam, pukul 00.00 wib sampai dengan 07.00 wib pada hari ke-15 bulan terakhir (bulan kedua belas) menurut kalender tahunan Tengger, ribuan orang Tengger berkumpul di Pura Poten yang terletak di pelataran pasir (poten) di kaki Gunung Bromo untuk merayakan upacara yang disebut Kasada, sesuai dengan nama bulan kedua belas, Kasada.
Upacara ini diawali dengan pengambilan air suci dari Sumber Widodaren, yang terletak di dalam sebuah gua di Puncak Gunung Bromo, kemudian di simpan di Pura Poten pada hari sebelumnya. Pada saat yang sama para pembantu atau asisten Dukun (legen) mempersiapkan persembahan sesaji (sesajen) yang bakal dipesembahkan kepada para dewa. Pada hari H, duduk berdampingan di atas alas semen di dasar gunung, 28 pemimpin upacara (dukun) berdoa kepada roh pegunungan dan memberi persembahan sesaji berupa daging matang, nasi, uang, dan sejumlah persedian makanan yang dibawa orang-orang desa. Setelah dukun-dukun itu menyelesaikan doanya dan mempersembahkan bahan-bahan kurban, penduduk desa mulai naik ke bagian utara dari puncak Gunung Bromo ke arah kawah dimana mereka melemparkan persembahan mereka ke kedalaman kawah. Sementara itu, di saat matahari telah naik beberapa jam sesudahnya, sebagian peserta upacara telah pulang karena telah menyelesaikan kewajiban ritual tahunan mereka.
Menurut , upacara ini sangat penting bagi masyarakat Suku Tengger karena upacara ini diyakini oleh masyarakat setempat memiliki nilai sakral yang sangat penting bagi kehidupan mereka Mereka beranggapan bahwa hidup itu harus selaras dengan irama alam. Segala peristiwa negatif yang terjadi di dunia ini adalah akibat rusaknya keharmonisan manusia dengan alam. Oleh karena itu perlulah menjalin hubungan yang harmonis dengan alam melalui ritual dan upacara yang ada.

Mitos Sekitar Upacara Ritual Kasada
Upacara ini bermula dari adanya kepercayaan yang diyakini dan diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun, yaitu “kekeramatan Gunung Bromo” dan daerah sekitarnya. Kekeramatan itu adalah berawal dari sejarah dan mitos masyarakat tentang sepasang suami istri : Roro Anteng dengan Joko Seger, yang merupakan asal-usul pertama penghuni daerah ini. Perkawinan mereka telah lama belum membuahkan keturunan sehingga mereka memutuskan untuk bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widi agar memberikan mereka anak dan berjanji bahwa kelak anak terakhir akan mereka persembahkan kepada para dewa di Gunung Bromo. Setelah semedi permohonan mereka dikabulkan sehingga setelah beberapa waktu lamanya mereka mempunyai 25 anak. Namun, mereka tidak rela menyerahkan anak terakhir, Raden Kusuma kepada para dewa di Gunung Bromo, hingga pada suatu saat kawah Gunung Bromo mengeluarkan lava dan cuaca menjadi mendung gelap dan petir terus menerus bergemuruh. Melihat hal ini, mereka yakin bahwa para dewa sedang marah karena mereka telah ingkar janji. Kemudian mereka membawa semua anaknya ke lautan pasir Gunung Bromo dan berdoa di sana. Tiba-tiba anak terakhir tersambar petir dan jatuh ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah suasana agak stabil, terdengarlah suara gaib dari Gunung Bromo yang diyakini sebagai suara Raden Kusuma:

“Wahai ayah dan ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah tenteram, aku berkorban demi kamu semua. Oleh karena itu hiduplah dengan rukun serta berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Kalian jangan memikirkan aku, pesanku satu jangan dilupakan: kirimkanlah sebagian hasil ladaang tanah ini ke kawah dan lakukanlah di saat bulan purnama setiap bulan Kasada”.

Sejak saat itu setiap bulan Kasada ditetapkan upacara ritual Kasada.

Tata Inti Urutan Upacara Ritual Kasada
Inti sebenarnya dari upacara ritual ini adalah sesuai dengan pola umum, yaitu melalui doa pemimpin upacara (dukun), para dewa diundang ke dalam dunia dan diberikan penghormatan dengan persembahan yang dibawa oleh para peserta ritual yang telah disucikan terlebih dahulu dengan air suci oleh pemimpin upacara. Tujuan umum dari upacara ini adalah untuk mendatangkan berkat bagi seluruh penduduk Tengger. Berkat tersebut dapat diperoleh hanya melalui kehadiran para dewa dan para dewa tersebut dapat dihadirkan hanya melalui tata urutan upacara yang sudah diatur secara hati-hati oleh para dukun.
Persembahan yang dibawa adalah bagian penting dari upacara ini karena sungguh tidak sakral apabila mengundang para dewa tanpa persembahan makanan. Persembahan khusus yang disediakan bagi para dewa adalah berupa sajenan dari daging matang, nasi, dan makanan-makanan yang berasa manis. Persembahan itu harus disiapkan oleh asisten dukun. Persembahan ini harus disucikan terlebih dahulu oleh dukun dengan air suci. Setelah mengucapkan doa penyucian, dukun tersebut mengundang para dewa untuk makan sari dari makanan-makanan itu. Sisa makanan persembahan tersebut tidak dihancurkan, melainkan diberikan kepada para peserta setelah upara ritual ini selesai.
Setelah mengundang para dewa untuk menikmati persembahan tersebut, dukun menutup tata urutan ritual tersebut dengan ritual resmi sembah hati ; tangannya dalam posisi doa dan mendaraskan sebuah doa, kemudian mengayunkan kedua tangannya ke pinggangnya sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk memberi salam hormat kepada para dewa kapan pun dan di mana pun ketika para dewa dipanggil. Jika ada ritual tambahan yang harus dilakukan, seperti pernikahan atau pemberkatan orang mati, atau pelantikan kepada dukun (ketua adat) baru, ritual tambahan tersebut harus dilakukan setelah upacara inti, yaitu mengundang para dewa, acara makan, dan penghormatan kepada para dewa.
Menurut Hefner ada beberapa ritual yang mendahului hari upacara ritual Kasada yang dilaksanakan dirumah seorang dukun secara pribadi dengan bantuan kehadiran asistennya beberapa hari sebelum hari H. Dukun tersebut memulai ritual yang mengarah ke Gunung Bromo tersebut dengan membakar sebuah kemenyan untuk memberitahu para dewa akan keberangkatan mereka ke Gunung Bromo. Ritual pemberitahuan ini disebut semeninga. Hari berikutnya ada sebuah ritual pemberitahuan yang serupa kepada para dewa. Ritual ini dilakukan di atas tebing di atas lautan pasir. Upacara ini tidak ada upacara penghormatan.
Baru beberapa tahun belakangan ini, tujuh sesepuh Hindu dari masing-masing desa berkumpul untuk menentukan upacara pendahuluan macam apa yang akan dilakukan oleh masing-masing individu dukun. Baru kemudian disempurnakan ke dalam upacara besar yang disaksikan oleh ribuah penduduk dari tujuh desa.
Menurut Hefner, Kasada adalah sebuah ritual besar yang berskala sosial namun sederhana dan tidak ada tarian maupun pesta. Tidak ada ritus lain yang mampu menggerakkan orang dari seluruh daerah pegunungan dalam ritual umum. Gunung Bromo diyakini oleh masyarakat Suku Tengger adalah pusat dari dunia mereka.
Hal yang menarik di sela-sela upacara adalah adanya para pedagang dari dataran rendah Tengger yang menjual minuman, makanan, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Mereka hanya mendapat penerangan dari lentera yang mereka bawa. Selain itu, ada juga sekelompok orang Cina, orang jawa dari dataran rendah, dan beberapa dari daerah yang jauh mengikuti upacara ritual ini dengan membawa persembahan. Kehadiran mereka menandakan bahwa upacara ritual Kasada telah tersebar luas. Namun, belakangan ini, kehadiran mereka malah mengurangi kesakralan suasana upacara tersebut karena di antara mereka ada yang membawa loud speaker yang mengeluarkan bunyi dari sebuah musik dengan suara yang memecah keheningan selama upacara.

Peranan Dukun dalam Upacara
Pusat perhatian selama upacara adalah para dukun pemimpin upacara. Menurut Muhamat Hayat, dukun adalah tokoh adat yang sangat dihormati dan berkarisma bagi masyarakat suku Tengger. Mereka begitu dihormati karena dipercaya masih merupakan keturunan cucu dari Majapahit. Selain itu mereka telah memenuhi beberapa kriteria tertentu antara lain 1) pernah menjadi legen selama beberapa tahun, 2) hafal sebagian besar mantra-mantra yang dibacakan pada bermacam-macam jenis upacara adat, 3) telah memenuhi sebagian syarat lain yang harus dipenuhi oleh pemangku adat Tengger, dan 4) seseorang dapat diangkat menjadi calon dukun apabila di tahun sebelumnya (dalam 44 hari sebelum Kasada) di desa tempat calon dukun tersebut tidak ada orang meninggal dunia.
Selain itu, menurut Muslimin Machmud, masyarakat suku Tengger memandang kesakralan Gunung Bromo sebagai suatu hal yang harus dijunjung tinggi dan penuh resiko karena penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, kepala dukun dianggap sebagai penghubung antara alam gaib dengan masyarakat pengikutnya, oleh karena itu petunjuk dan arahan pemuka agama atau pemimpin kegiatan tersebut sangat dihargai dan diikuti.

Penutup
Melihat keunikan masyarakat suku Tengger ini , pertama-tama saya kagum kepada keteguhan mereka dalam mempertahankan tradisi asli dari leluhur mereka. Keharmonisan dengan alam tidak hanya diwujudkan dalam upacara-upacara yang ada , melainkan juga diwujudkan melalui relasi dengan sesama. Upacara-upacara yang ada, khususnya upacara Kasada yang melibatkan seluruh masyarakat suku Tengger memperlihatkan bahwa keharmonisan yang berdimensi vertikal dan horisontal patut diperjuangkan. Dalam dimensi vertikal, mereka sangat menyadari segala keterbatasan yang ada dalam diri mereka, lebih-lebih dalam mengusahakan hidup yang baik. Oleh karena itu, mereka membutuhkan berkat dari Hakekat Tertinggi untuk kelangsungan hidup mereka. Melalui beragam persembahan yang mereka bawa dari masing-masing rumah ke kurban persembahan dalam upacara Kasada, mereka hendak mengucap syukur atas segala kebaikan-kebaikan dalam hidup mereka sekaligus mohon kelanjutan dari berkat itu. Dimensi horisontal tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari yang bersahaja. Tidak adanya tingkat-tingkat dalam bahasa pengantar sehari-hari, tidak adanya kasta sebagaimana terdapat pada masyarakat Hindu pada umumnya menunjukkan bahwa kesejajaran setiap individu dalam kebersamaan mereka sangat dijunjung tinggi. Selain itu, kehadiran mereka dalam upacara Kasada semakin mempererat komunitas mereka dan semakin mempertegas identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat suku Tengger baik di antara sendiri maupun di mata pihak luar. .
Namun, saya mempunyai keprihatinan akan kelestarian tradisi ini mengingat semakin derasnya pengaruh faktor luar yang mulai berdatangan, yang membawa berbagai macam kepentingan dan budaya baru. Ada kemungkinan adanya pergeseran pemaknaan tradisi dari masyarakat suku Tengger sendiri. Jika hal ini tidak segera disikapi oleh masyarakat suku Tengger sendiri, kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja terjadi.

Acuan Utama
Anwar, M. Choirul. “Desa Ngadisari: Potret Pemberdayaan Berbasis Masyarakat”. Dalam
Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Nurudin (ed).
Hlm.179-180. Yogyakarta: LkiS. 2003.

Hayat, Muhamat. “Bertahannya Tradisi Tengger Dalam Masyarakat Yang Sedang
Berubah”. Dalam Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin
dan Tengger. Nurudin (ed). Hlm.154-155. Yogyakarta: LkiS. 2003.

Hefner, Robert W. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. New Jersey: Princenton
University Press. 1985.

Machmud, Muslimin. “Mitos dan Adat Istiadat Masyarakat Tengger”. Dalam Agama
Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Nurudin (ed). hlm.149.
Yogyakarta: LkiS. 2003.

Nurudin (ed). Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger.
Yogyakarta: LkiS. 2003.

Acuan Tambahan
www.kompas.com/kompas-cetak/0110/06/UTAMA yang diambil pada hari Selasa, , 23
Maret 2006, pukul 23:30).
www.kompas.com yang diambil pada hari Selasa, 23 Maret 2006, pukul 23:34).
www.petra.ac.id/eastjava/tourism/kasada, yang diambil pada hari Selasa, 21 Maret 2006,
pukul 23:17).


AGAMA-AGAMA ASLI INDONESIA

Vico SJ


Pendahuluan
Bila saya ditanya apa sebenarnya kepribadian sejati bangsa Indonesia, saya akan berpikir seribu kali untuk menjawabnya. Saya menyadari bahwa begitu banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Bahkan sebelum negara Indonesia terbentuk, suku-suku bangsa tersebut sudah menghiasi wajah kepulauan Indonesia. Oleh karena itu saya belum bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat krusial karena bagaimana kita akan membangun negara ini bila kita tidak sungguh-sungguh mengenal siapa kita, apa kekuatan dan kelemahan kita, komponen apa saja yang cukup penting untuk menjadi dasar berpijak membangun negara ini.
Rachmat Subagya (RS), melalui bukunya berjudul Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia, hendak menawarkan suatu tema tentang identitas sejati bangsa Indonesia yang de facto terdiri dari 360 suku bangsa ini. Melalui studi dan penelitian tentang suku-suku tersebut, RS mencoba mendalami agama dan kerohanian asli suku-suku tersebut dengan harapan akan membuka cakrawala baru bagi siapa pun yang berhasrat ingin mengenal identitas bangsa Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya hendak menyampaikan hal-hal yang penting dalam buku RS tentang agama asli di Indonesia, pertemuannya dengan agama pendatang, pola-pola penyesuaian yang dilakukan oleh agama asli, krisis yang dialami agama asli dan bagaimana agama asli bangkit di tengah derasnya arus agama-agama pendatang dengan segala perangkat modernnya. Selanjutnya, bagaimana agama-agama asli itu mempengaruhi dan mewarnai keperibadian bangsa Indonesia dan akhirnya ditutup dengan tanggapan kritis terhadap tulisan RS.

Agama Asli Indonesia
Dalam bab pendahuluan, RS mencoba mendefiniskan agama asli sebagai kerohanian dari suatu bangsa atau dari suku bangsa sejauh berasal dan diperkembangkan di tengah-tengah bangsa itu sendiri dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian bangsa lain atau menirunya. Kerohanian itu dihayati dalam sikap batin terhadap Zat Tertinggi, suatu pengada yang mempunyai kekuatan tak terbatas dan mengatasi manusia. Kerohanian sendiri adalah cara khusus dalam menghayati hakekat agama umum. Sedangkan agama adalah sikap iman kepada Hakekat Tertinggi yang menaungi hidup manusia dan yang kepadanya manusia merasa bergantung sehingga menimbulkan sikap batin khusus kepadaNya.
Yang dimaksud dengan asli lebih diartikan sebagai otokhton yang berarti berasal dari bumi/ daerah itu sendiri, yang sejak dahulu sudah ada di situ dan tidak diimpor dari luar. Agama asli di Indonesia nampak dalam dua ragam, yaitu yang satu murni tak tercampur dan yang lain tercampur atau menyamar. Agama asli jenis murni terdapat pada suku bangsa yang dikenal dengan protomelayu seperti Nusa Tenggara Timur sampai dengan Irian Jaya, Siberut, Nias Selatan, Kubu dan Lubu di Sumatra Selatan, Punan di Kalimantan, Toala dan Tokea di Sulawesi Tengah. Contoh agama jenis ini adalah Parangan Ada, agama asli di Sulawesi Tengah, Ono Niha di Nias
Agama asli jenis kedua yang sudah banyak mengalami pencampuran dan keaslian mereka hampir hilang terdapat pada suku bangsa yang dikenal dengan deuteromelayu seperti Sumatra, Jawa, Bali, Madura, Bawean, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Nias. Agama asli ini bergerak di dalam agama universal secara menyamar (incognito). Mereka tidak bergerak secara menyolok memperlihatkan kebatinan yang mereka hayati dalam agama universal yang mereka anut, melainkan apabila ada kesempatan, mereka akan mengungkapkannya. Kadangkala kedua penghayatan yang serentak ini bertentangan satu sama lain.

Pertemuan Agama Asli dengan Agama Pendatang
Menurut RS, masuknya agama-agama pendatang diakui ikut mempengaruhi proses pembaharuan dalam agama-agama asli di Indonesia meskipun tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia, khususnya dalam penghayatan hidup. Kedatangan agama-agama pendatang tersebut diawali oleh agama Hindu yang dipelopori oleh para pelaut India yang disusul oleh para brahmana. Namun, dari berbagai peninggalan zaman Hindu-Indonesia, entah berupa candi, arca maupun tulisan, tampak bahwa agama Hindu tak pernah bisa menjadi milik bangsa Indonesia. Karakter agama asli-lah yang justru tampak lebih dominan. Disusul kemudian oleh masuknya agama Budha yang mengalami pengalaman lebih buruk dibandsingkan dengan Agama Hindu. Bukti kegagalannya yang terbesar adalah bahwa Sang Budha didewakan dan disamakan dengan dewa Civa, lalu disembah sebagai Civabudha, dewa tertinggi di kerajaan Singasari dan Majapahit, pun di Bali. Tidak ketinggalan pada tahun sekitar 645-1500 M, agama Kristen pertama masuk . Namun kekristenan pertama ini kurang berbekas sama sekali karena diindikasikan kurang mengakar di Indonesia dan hubungan mereka yang terputus dengan pusatnya di Asia Barat. Kemungkinan lain adalah adanya ekspansi Muslim pada abad ke-15. Islam pun mengalami hal yang sama dengan agama pendahulunya, yaitu kurang mengakar di hati masyarakat pribumi karena pertama, Islam hanya menjadi agama penguasa, yaitu agama para penguasa. Sedangkan rakyat tidak sungguh-sungguh menghayati agama tersebut. Kedua, sifat arabnya yang sulit membaur dengan agama asli. Ketiga, belum ada evaluasi teologis dari para cendekiawan muslim sendiri terhadap kerohanian agama-agama lain. Sementara itu pada abad ke-16, agama Kristen masuk lagi untuk kedua kalinya. Kali ini, Kristen membawa pesan universal yang mampu diterima oleh agama asli karena membuka ruang untuk mengormati dan melestarikan keaslian agama asli. Kekurangan yang dirasakan oleh agama asli terhadap agama kristen ini adalah pakaian ritus yang dipakai dan simbol roti anggur dalam ritus tersebut. Selain itu, kekristenan sering dijadikan alat untuk mencapai kepentingan pribadi dari sekelompok orang kristen tertentu.
Pertemuannya dengan agama asing ini mempunyai dua corak yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan. Corak yang menguntungkan adalah corak yang bersifat membangun (alokhton). Corak ini dikatakan membangun apabila mampu melengkapi agama asli sehingga agama asli mengalami kemajuan. Corak kedua dinamakan heterokhton karena berbeda dengan agama asli, dengan demikian tidak mampu meluruskan agama asli.

Kepercayaan Indonesia Asli
Kepercayaan yang ada dalam agama-agama asli menarik untuk diperhatikan secara lebih dekat karena dari macam-macam kepercayaan kita bisa melihat momen semiotik yang bisa membantu pemahaman kita mengenai kepribadian bangsa Indonesia.
Pada umumnya, agama-agama asli di Indonesia percaya akan adanya suatu aturan tetap yang mengatasi segala apa yang terjadi dalam alam dunia atau yang dilakukan oleh manusia. Aturan tersebut berasal dari suatu Hakekat Tertinggi yang bersifat ilahi. Ada dua bentuk sikap dalam memandang Yang Ilahi itu. Pertama, Yang Ilahi disebut sebagai fascinosum, artinya yang menarik dan mempesona. Kedua, Yang Ilahi disebut sebagai tremendum, yaitu yang menakutkan, yang jauh dan dahsyat.Jika kedua bentuk sikap itu digabung akan melahirkan teisme dan monoteisme.
Di berbagai daerah yang tidak memeluk agama pendatang, muncul sebutan teistis seperti sebutan orang Batak terhadap Tuhan dengan nama Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon, orang Jawa memakai nama Hyang Murbeng Dumadi. Nama-nama ketuhanan ini mengungkapkan sikap batin manusia terhadap Tuhan yang dipakai dalam istilah deisme. Deisme diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan yang jauh dari manusia. Dalam paham deisme dan mitologi alam dikenal istilah animisme, yaitu suatu kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan ikut campur dalam urusan manusia. Cara lain untuk memenuhi kebutuhan manusia akan Tuhan yang dekat adalah paham hierofani dan teofani. Dalam paham hierofani, pancaran dan kekuasaan ilahi nampak dalam alam dunia; dalam paham teofani, Tuhan sendiri mengenakan wujud insani, ia dianggap turun dari surga untuk sementara menghuni tubuh insani.
Pandangan agama asli terhadap manusia juga menarik untuk diperhatikan bahwa mereka mengandaikan manusia berjiwa dua, yaitu jiwa selama manusia hidup dan jiwa sesudah manusia mati terpisah dari badan. Selain itu, mereka juga memahami bahwa manusia terdiri dari unsur alam raya.
Kepercayaan asli Indonesia terhadap dunia juga nampak di dalam cerita-cerita rakyat. Menurut RS ada pola umum dalam cerita-cerita tersebut mengenai kejadian dunia. Pola tersebut memuat beberapa hal, yaitu 1) dualisme antara alam atas dan bawah, 2) terjadinya perkawinan antarkeduanya, 3) turunan mereka menjadi penguasa dunia, 3) adanya pertarungan antara lambang-lambang atas dan bawah, dan 4) kematian satu pihak dipandang sebagai kurban diri. Pola tersebut, pada umumnya disebut homologi antropokosmis, yaitu kesesuaian manusia dengan dunia. Kesesuaian ini melahirkan pengenalan akan perhitungan bintang yang disebut astrologi dan horoskop. Hal ini untuk melihat keharmonian dengan alam sebagai bentuk transendensi yang ilahi. Dinamisme, suatu kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat atau bertuah juga menjadi bagian yang khas dari agama-agam asli.
Pandangan agama asli terhadap ketuhanan, jiwa manusia, dan alam dunia itu mengungkapkan bahwa mereka (manusianya) berusaha mencari makna hidup di dunia ini. Eksistensinya yang serba terbatas membuat perbuatan manusia selalu berdimensi dua, yaitu vertika dan horisontal. Dalam dimensi vertikal, manusia mengalami celah dalam hidupnya yang melahirkan ketegangan, perceraian antara cita-cita mulia dan realitas bengis. Oleh karena itu ia perlu menyesuaikan diri dengan tata alam agar disinari dan diringkatkan oleh kontak dan partisipasi pada kenyataan yang lebih tinggi. Dalam dimensi horisontal, manusia terlibat dalam perbuatan yang konkret yang menghasilkan perbuatan khusus yang bersifat simbolis, artinya perbuatan tersebut melambangkan kenyataan yang mengatasinya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan suatu lambang lahiriah yang membuat hidup batin mereka menjadi hidup dan bergairah. Lambang itu berupa mitos asal dan ritus atau upacara, yaitu kelakuan simbolis yang mengkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tatanan tersebut. Contoh upacara dalam agama asli adalah Upacara Toraja, Sa’dan dan di Jawa Bedhoyo Ketawang, suatu tarian sakral. Selain itu ada upacara harian seperti misal upacara mulai panen padi, membuat rumah, pemberkatan desa, upacara peralihan, upacara perkawinan, dan upacara yang berkaitan dengan kematian dan pemakaman.

Krisis Agama Asli dan Kebangkitannya
RS melihat bahwa dalam sejarahnya, keberadaan agama asli selalu mengalami krisis eksistensi seiring membanjirnya agama-agama asing yang masuk ke Indonesia. Agama pendatang selalu mengancam keberadaan agama asli dengan berpayungkan para penguasa. Selalu ada konfrontasi tegas untuk mempertahankan agama asli dari agama pendatang. Pada saat agama Islam masuk, mereka memandang penduduk yang beragama asli sebagai pendosa atau abangan.
Pada zaman penjajah, krisis agama asli memuncak dengan pengkategorian mereka sebagai kafir dan barang yang tersisa. Peraturan pemerintah juga mewajibkan mereka melakukan proses perkawinan dengan tata cara Islam. Namum, dari pihak Islam tidak ada usaha serius untuk mendidik orang Islam itu secara Islami. Demikian pula pada zaman kemerdekaan, polarisasi Islam Santri semakin meningkat, misalnya dengan pasal Ketuhanan yang mahaesa.
Tantangan agama asli adalah ancaman terhadap ateisme, dunia modern yang menawarkan nilai-nilai baru, kemerosotan moral yang menggoncangkan iman akibat kehadiran teknologi yang mampu mengatasi bencana dan penyakit, dan tantangan dari arus sekularisasi. Perkembangan rasionalitas masyarakat melalui pendidikan membuat hal-hal yang dianggap irasional dalam agama asli menjadi tidak tahan uji terutama mereka yang berada di pedesaan. Mereka mulai bertanya tentang kegiatan mereka yang irasional dan mereka berusaha lepas dari kegiatan yang tidak masuk akal itu. Kehadiran teknologi yang diusung oleh modernitas sering dirasa lebih menjanjikan dan lebih memenuhi kebutuhan mereka sehingga peran ekonomi dalam arus sekularisasi menjadi lebih besar. Sebagai akibatnya, mereka mulai terpisah dari keagamaan mereka.
Krisis yang melanda agama asli mempunyai dua dampak bagi para penganutnya. Pertama, Ada yang menggantikan kepercayaan kuno mereka dengan suatu pandangan hidup baru; kedua, ada pula yang berusaha menyesuaikan keyakinan mereka mengenai ketuhanan, manusia, dan alam dari tempo dulu dengan tuntutan jaman sekarang. Usaha ini dilakukan agar identitas mereka tidak tenggelam dalam arus modernisasi. Sebagai pengimbang arus modernisasi teesebut muncullah beragam aliran kebatinan yang menyediakan baik peningkatan rasa agama dan kepribadian asli maupun pemulangan harga diri melawan rasa minder terhadap teknologi asing. Tercatat ada sekitar 644 aliran yang terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan pada tahun 1972. Perkembangan terbesar ada di daerah-daerah yang tidak aman karena teror laskar , di pelosok-pelosok yang berekonomi minus, dan di kota-kota besar tempat detradisionalisasi meraja lela.

Pembentukan Kepribadian Bangsa Indonesia
Dari uraian mengenai agama asli dan segala pergulatannya, tidak mudah untuk merumuskan kepribadian bangsa Indonesia yang terdiri dari 360 suku tersebut. Keprihatinan untuk merumuskan kepribadian dan sifat-sifat khusus bangsa Indonesia menjadi suatu permenungan yang tidak mudah untuk dijawab. Ada dua macam pluralitas dalam kepribadian bangsa Indonesia sangat bersifat sinkronis (sejaman) dan diakronis (melalui zaman). Kepribadian Indonesia secara sinkronis belum merupakan kepribadian kesatuan. Perbedaan yang berasal dari pluralitas itu hanya dapat disalurkan ke kesatuan nasional di bawah naungan lambang Bhinneka Tunggal Ika. Namun penyatuan yang tergesa-gesa ke dalam lambang tersebut dapat memiskinkan kepribadian bangsa yang sudah terdapat dalam genius loci, khasiat dari primordial solidarity dengan golongan sebahasa, seadat, dan serasa hidup. Agaknya proses penyerahan dari identitas regional ke identitas nasional tidak akan terjadi secara serentak dan sewaktu. Proses penyatuan itu harus tepat guna karena menurut RS, apa gunanya keragaman Indonesia bila tidak punya substansi.
Pluralitas kepribadian Indonesia juga mengalami proses melalui zaman atau yang disebut diakronis. Pergantian tipe kepribadian juga dapat menguasai suatu zaman, dimana satu tipe kepribadian dalam suatu zaman dapat merupakan tambahan terhadap warisan dahulu atau sebagai reaksi. Oleh karena itu, R. Moh. Ali menentukan adanya lima tipe, yaitu manusia magis, manusia mistis, manusia feodal, dan manusia pencari pola hidup yang menurut M. Ali bersifat ekstrovert dan dinamis dibanding keempat tipe sebelumnya yang bersifat introvert, retrospektif atau ber-status quo dan hanya mempertahankan kelangsungkan penderitaan rakyat.
RS lalu menawarkan suatu rumusan percobaan mengenai pokok-pokok keindonesiaan, pertama adalah keselamatan sebagai suatu keseluruhan dari keselamatan rohani dan jasmani, dunia dan akherat; kedua, etik dan pencitraan manusia dalam sosialisai dan akulturasi yang memperlihatkan gambaran yang sama; ketiga, kolektivitas asli atau keinsafan kesatuan orang-orang dengan gotong royong, musyawarah, perayaan, upacara dan ikatan-ikatan masyarakat yang lain sudah cukup dimaklumi; keempat, kecenderungan akan identifikasi adalah pokok lain. Manusia Indonesia lebih mencari harmoni dan kerukunan sampai ke dalam perasaan: rela, tenteram, sumarah, sabar dan lain-lain dibandingkan corak kebudayaan Eropa yang terdiri dari kategori-kategori yang jelas, tegas, dan terpisah satu sama lain. Akhirnya, RS menekankan pentingnya penyussunan teologi, moral sosial dan spiritualitas yang bercorak pribumi.

Tanggapan Kritis
Pertama-tama saya hendak mengungkapkan kekaguman saya akan usaha RS dalam menampilkan agama dan kerohanian asli bangsa Indonesia. Dari ulasannya, terungkap wajah Indonesia yang pada hakekatnya merupakan perpaduan pelbagai macam agama, kerohanian, dan budaya asli. Bagi saya, bukunya nampak seperti mininiatur yang mencerminkan kepribadian asli bangsa Indonesia. Pertanyaan saya adalah sungguh aslikah apa yang telah dipaparkannya mengenai agama dan alam kerohanian asli bangsa Indonesia? Jika ya, sampai sejauh mana keasliannya dapat dibuktikan.
Memang, RS telah menjelaskan dalam bab pendahuluan definisi tentang asli, yaitu wajar, yang sungguh-sungguh, jujur, pribumi, yang sejati, yang tulus, serentak: orisinil, mempribadi, berakar, dan berdasar teguh, selaras dan sepadan, otentik dan otokhton. Namun, saya masih mempunyai keraguan tentang yang apa yang asli. Berangkat dari keraguan saya, saya berpendapat apa yang dipaparkan RS dalam bukunya tersebut adalah semacam fenomena yang tertangkap olehnya pada saat ia melakukan penyelidikan terhadap pelbagai agama dan kerohanian bangsa Indonesia selama beberapa periode tertentu (pastilah masih seputar abad ke-20). Ada suatu rentang jarak yang cukup panjang antara usaha penyelidikannya dengan keberadaan awal agama dan kerohanian asli bangsa Indonesia tersebut. Katakanlah ia melakukan penelusuran sejarah melalui berbagai peninggalan sejarah yang ada (yang sempat ditemukan, dipelihara, dan dianggap bernilai historis oleh para ahli arkeologis), kemudian membuat suatu kesimpulan bahwa agama dan kerohanian suatu suku bangsa tersebut dapat dikatakan asli. Memang saya mengakui bahwa fenomena atau apa yang nampak secara lahiriah mengungkapkan kerohanian suatu suku tertentu dan bisa mencerminkan kepribadian atau apa yang dihayati suku tersebut. Namun jaminan keaslian dari suatu penghayatan suku tertentu tidaklah bisa dibuktikan mengingat adanya keterbatasan jarak dan waktu antara penulisan dan kehadiran suku tersebut di bumi Indonesia. Menurut saya, fenomena (termasuk peninggalan purbakala) tersebut merupakan hasil perjalanan panjang (pergulatan) suatu agama asli dari sisi historisitasnya yang bagi saya masih berupa misteri, apakah sungguh asli berangkat dari penghayatan seseorang mengenai kehidupan atau memang sudah pada awalnya mendapat pengaruh atau setidak-tidaknya terinspirasi oleh suatu budaya lain.
Pertanyaan saya berikutnya adalah apakah peng-abstraksi-an pelbagai agama dan kerohanian asli tersebut ke dalam suatu sistemasi yang disampaikan RS sungguh mewakili “kesejatian” agama-agama tersebut. Menurut saya, universalisasi atas keunikan masing-masing agama akan mereduksi “kesejatian” agama-agama asli tersebut. Dengan kata lain, tetap ada sesuatu “yang lain” atau kekhasan agama-agama tersebut yang tidak bisa diabstraksi begitu saja. Apabila RS hendak melakukan pendefinisian tentang kepribadian bangsa Indonesia berdasarkan hasil abstraksinya atau peng-universalisasi-annya atas pelbagai macam agama dan kerohanian suku-suku tersebut, menurut saya, menjadi tidak utuh atau bukan merupakan suatu totalitas yang mendasar. Bagi saya, kepribadian bangsa Indonesia sangatlah komplek. Usaha pendefinisan atas kepribadian bangsa Indonesia menurut saya masih harus memerlukan semacam diskursus yang panjang. Saya memahami bahwa RS baru dalam taraf suatu penawaran sebuah rumusan tentang pokok-pokok keindonesiaan. Namun, menurut saya, langkah RS sudah tepat karena penyajian keindonesiaan ala RS ini bisa menjadi titik tolak bagi usaha pemahaman tentang kepribadian bangsa Indonesia lainnya.

Sumber Acuan
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.2001.
Subagya, Rachmat. Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia. Jakarta Pusat: Yayasan Cipta Loka Caraka bekerja sama dengan Penerbit Nusa Indah dan Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik.1979.

Acuan Tambahan
Anderson, Benedict R.O’G. ”Political Culture in Indonesia”. Hlm.324.
Harun, Martin. Pengantar Kepada Perjanjian Baru. Jakarta: STF Driyarkara. 2006.