Senin, 27 Juni 2011

Yang Absen, Yang Diciptakan Kembali secara Global

Oleh Vico Christiawan

“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama. Mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.” (kutipan film Tanda Tanya)

Inilah kalimat-kalimat pembuka yang mengantar film Tanda Tanya besutan sutradara Hanung Bramantyo. Film yang dirilis sejak tanggal 7 April 2011 yang lalu ini telah menimbulkan reaksi keras dari lembaga-lembaga keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Front Pembela Islam (FPI). Tuduhan yang dialamatkan pada film ini adalah adanya muatan pluralisme yang telah difatwa haram oleh MUI sejak tahun 2005 yang lalu (Republika.co.id/07/04/2011). Mengapa haram? Menurut fatwa tersebut, pluralisme agama mendangkalkan keyakinan aqidah karena menganggap semua agama sama saja. Oleh karena itu, KH. A. Cholil Ridwan, yang juga Ketua MUI bidang budaya, mengatakan bahwa film ini sangat sesat dan menyesatkan. Hal senada juga dilayangkan koordinator aksi FPI Jawa Bawat, Abdul Kohar. Ia mengatakan bahwa film ini telah menciderai umat Islam dan mengancam akan men-sweeping bioskop-bioskop yang memainkan film ini (Mediaindonesia.com/10/05/2011).
Bagi Hanung, film yang berdurasi 106 menit ini adalah sebuah film yang jujur mengungkapkan realitas masyarakat Indonesia yang multietnik, multikultur, dan multireligi. Ia ingin mengembalikan krisis toleransi yang ia tangkap kepada semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Mediaindonesia.com/04/04/2011). Selain keberagaman yang ditonjolkan, film itu juga menunjukkan bahwa pilihan akan suatu keyakinan tertentu adalah kebebasan mutlak pribadi. Dengan kata lain, agama dimasukkan ke dalam ruang privat ketika menyentuh dimensi eksistensial seseorang berhadapan dengan realitas hidupnya. Keberagaman dan kebebasan ini ditampilkan dalam tokoh Tan Kat Sun (Henky Solaiman), pemeluk Konghucu/Buddha dan pemilik restoran masakan Cina. Soleh (Reza Rahadian), seorang muslim dan pengangguran yang rajin menjalankan ibadah. Menuk (Revalina S Temat), istri Soleh, yang berjilbab bekerja di restoran Tan Kat Sun. Rika (Endhita), janda berputra tunggal, yang belajar agama Katolik dan ingin dibaptis atas pilihannya sendiri. Meski ingin dibabtis Katolik, ia tetap mendorong putranya memperdalam agama Islam di mesjid setempat. Surya (Agus Kuncoro), yang bercita-cita menjadi aktor hebat tapi selalu mendapat peran figuran. Melalui berbagai latar belakang dari tokoh-tokoh ini, Hanung hendak mengangkat realitas masyarakat Indonesia yang beragam.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa keberagaman yang hendak ditonjolkan dalam film ini menuai kritik keras dari lembaga-lembaga Islam? Mengapa muncul kekuatiran terjadinya pemurtadan agama dari kalangan elite agama Islam? Mengapa pilihan Rika untuk menjadi Katolik dipersoalkan? Mengapa pilihan Hendra untuk memeluk agama Islam di akhir film tidak dipersoalkan? Mengapa pilihan sikap Tan Kat Sun untuk memisahkan peralatan masaknya dan meliburkan restorannya pada hari Idul Fitri tidak dipuji? Bukankah film ini sesungguhnya hendak mengajak penonton untuk menghargai dan menghormati perbedaan dan keragaman yang sesungguhnya nyata dialami masyarakat Indonesia? Atau, adakah yang hilang dari masyarakat yang rupa-rupanya telah ditangkap Hanung untuk diangkat dalam film ini? Apakah yang hilang itu? Mengapa perlu diangkat? Untuk tujuan apa? Dalam skala yang lebih luas, apakah benar bahwa film-film yang telah dibuat, baik fiksi maupun non-fiksi, baik Hollywood maupun non-Hollywood, merupakan usaha mengangkat apa yang hilang dari apa yang seharusnya ada dalam masyarakat? Lalu mengapa yang hilang itu seharusnya berlaku dan ada dalam masyarakat? Apakah ada gejala penolakan terhadap realitas? Atau apakah yang hilang itulah yang sesungguhnya yang nyata? Bisa dikatakan bahwa justru film Tanda Tanya itulah yang sesungguhnya nyata secara jujur mengungkapkan realitas yang ada dalam masyarakat. Kalau demikian, apakah bisa dikatakan bahwa realitas yang ada sekarang dalam masyarakat ini adalah realitas semu?
Berangkat dari film Tanda Tanya, penulis merasa bahwa ada persoalan-persoalan yang menarik untuk dikaji, yaitu pertama soal munculnya kekuatiran atas dampak yang ditimbulkan dari film ini bagi suatu masyarakat tertentu, katakanlah masyarakat Islam. Mengapa ini muncul? Bukankah film adalah sekedar alat yang dipakai seseorang untuk mengampaikan gagasan atau idenya tentang suatu hal yang seharusnya berlaku dalam masyarakat? Apa yang sebenarnya bisa ditimbulkan dari sebuah film Tanda Tanya tersebut? Kedua, nampak bahwa film memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi dan menggerakkan orang untuk berbuat seturut apa yang menjadi pesan dalam film tersebut. Setidaknya-tidaknya, dengan menonton sebuah film, orang diajak untuk melihat kembali perjalanan hidupnya atau ditantang untuk mempersiapkan diri bila suatu saat mengalami peristiwa yang sama. Dengan kata lain, sebuah film mampu memancing munculnya sebuah refleksi pribadi dan kolektif. Ketiga, film ini hendak mengajak kita untuk melihat kembali apa sebenarnya identitas bangsa Indonesia berhadapan dengan pengaruh globalisasi yang sedang terjadi. Sudah kita ketahui bersama bahwa macam-macam film dari luar membanjiri dunia perfilman Indonesia. Setiap film yang berasal dari luar selalu menawarkan sebuah budaya baru. Kalau boleh penulis sebut: sebuah ekspansi kultural. Sebagai contoh, Priptu Norman Kamaru, seorang polisi anggota Brimob Polda Gorontalo telah dengan fasih menyanyikan lagu berjudul Chaiyya Chaiyya yang merupakan soundtrack asli dari film India berjudul Dil Se. Bahkan ia menggemari lagu-lagu India sejak di bangku SMP. Contoh lain adalah pentas wayang modern bertajuk “Jabang Tetuko” pada tanggal 19 Maret 2011 yang lalu. Sang sutradara, Mirwan Suwarso, tidak tanggung-tanggung menggaet penata musik film Hollywood The Surrogates, Deane Odgen dan penata laga film Transformer 3, Transporter 2, dan Bad Boys 2 Benjamin Rowe agar pertunjukkan ‘Jabang Tetuko’ ini seseru aksi Superman (DetikHot, 14/02/2011). Lalu apakah pementasan wayang orang Bharata di kawasan Senen, Jakarta Pusat setiap malam minggu tidak berkelas atau seru? Di sini nampak bahwa film-film Hollywood sangat memengaruhi orang Indonesia (baca: produser dan sutradara film) untuk menerapkan kriteria sebuah film yang berkelas.

Film: Hadirkan “Yang Absen” dari Realitas
            Kecemasan para elite agamawan Islam sebenarnya sungguh beralasan. Pasalnya, sebuah film memang memiliki potensi kekuatan untuk mengubah atau menciptakan perubahan dalam masyarakat.  Bisa dibayangkan ketika tokoh pemeran Fahri, yaitu Fedi Nuril, dalam film Ayat-Ayat Cinta yang meledak di tahun 2008 begitu digandrungi para ibu-ibu, bahkan ada yang mau menjadi istri ketiga Fedi atau ingin menjadikan Fedi menantunya (Kompas, 12/04/2008). Padahal figur Fedi yang nyata dengan Fahri sungguh berbeda. Fedi hanya memerankan Fahri dalam layar lebar saja, dengan karakter sesuai novelnya. Di sini nampak bahwa penonton hidup dalam imajinasi atau gagasan yang ditawarkan film tersebut. Tidak hanya di dalam gedung bioskop saja, melainkan setelah keluar dalam gedung bioskop. Tidak hanya penonton, penulis pun ketika menonton adegan film aksi dari aktor Cina, yaitu Jet Li dalam film the Hero (2002), juga terinspirasi dan digerakkan oleh gagasan untuk meniru heroisme Si Nameless (Jet Li). Ia mau berkorban demi kepentingan Kaisar Qin (221 BCE) untuk menyatukan seluruh daratan Cina dalam hidup sehari-hari. Setidaknya, penulis mempertanyakan diri sendiri apakah penulis sudah bertindak heroik seperti Si Nameless, yaitu membaktikan diri lebih sungguh bagi kepentingan komunitas, dalam realitas sehari-hari.
            Fenomena tersebut sebenarnya sudah ditangkap oleh seorang filsuf Perancis, Jean Baudrillard (1929–2007), dalam bukunya berjudul Simulations (1983). Di situ ia mengungkapkan bahwa masyarakat Barat sekarang adalah masyarakat simulasi. Artinya simulasi menjadi penanda dominan dari sebuah realitas. Istilah simulasi ini sendiri berasal dari bahasa Latin, simulare, yang berarti meniru. Dalam bahasa Inggris modern, istilah ini mengandung arti kepalsuan (falseness) dan seolah-olah (pretence). Baru-baru ini, istilah ini diartikan sebagai sebuah penciptaan sebuah model analog atau matematis dari sesuatu untuk dipelajari caranya bekerja secara artifisial atau abstrak. Dalam dunia media, seperti fotografi, film, TV, rekaman suara, dan media digital, simulasi ini mengacu pada sebuah pengalaman audio-visual yang meniru namun tidak memiliki kaitan sama sekali dengan realitas yang digambarkannya, sebagaimana dalam sebuah simulator penerbangan yang digunakan untuk melatih pilot dan dalam video game.  Dengan kata lain, sebuah tiruan bukan melulu tidak dapat dibedakan dengan apa yang ditirunya, melainkan perbedaan antara tiruan dan yang ditiru itu lenyap. Keadaan inilah yang disebut oleh Baudrillard sebagai simulacrum, yaitu sebuah tiruan tanpa sama sekali merujuk pada apa yang ditirunya (baca: realitas sesungguhnya). Akhirnya sebuah dunia yang terdiri dari hanya simulasi-simulasi hanyalah sebuah tiruan dari tiruan. Dengan demikian, dunia semacam itu kehilangan acuan kepada keaslian dan kebenaran.
Dalam esainya berjudul “Simulacra and Simulations”, Baudrillard menganalogikan simulasi dengan sebuah peta detail buatan seorang kartografer kerajaan yang mencakup seluruh wilayah kerajaan. Bagi Baudrillard, dalam simulasi,  wilayah tersebut tidak lagi mendahului peta atau pun mempertahankannya. Sebaliknya, petalah yang mendahului wilayah. Peta juga yang akhirnya melahirkan sebuah wilayah. Jika kisah itu dihidupkan saat ini, wilayah itu dengan sendirinya akan menghilang di balik peta. Namun, lanjut Baudrillard, persoalan saat ini bukan lagi tentang peta atau wilayah, melainkan lenyapnya perbedaan antara mereka. Tidak ada lagi cermin pengada maupun penampakannya. Yang ada adalah miniaturisasi genetik yang merupakan dimensi dari simulasi. Yang nyata dihasilkan dari unit-unit miniatur, acuan-acuan, simpanan ingatan dan model-model. Dengan hal semacam ini, yang nyata dapat diciptakan lagi dan lagi hingga jumlah dan waktunya tak terbatas. Inilah yang akhirnya Baudrillard sebut sebagai hiperrealitas, yaitu sebuah hasil dari sintesa dari pelbagai model yang digabung dalam sebuah hiperruang tanpa acuan. Bagi Baudrillard, hiperrealitas inilah yang nyata karena realitas dunia saat ini memang sesungguhnya diciptakan dari hasil sintesa pelbagai model secara berulang-ulang sehingga melahirkan sebuah realitas yang baru (Baudrillard, 1983:183).
Lanjut Baudrillard, tidak meniru (to dissimulate) berarti berpura-pura tidak memiliki yang orang lain miliki. Hal ini menyiratkan kehadiran. Sementara itu, meniru (to simulate) berarti berpura-pura memiliki apa yang orang lain tidak miliki. Hal ini menyiratkan ketidakhadiran. Persoalannya, meniru tidak sekadar berpura-pura, misalnya seorang yang berpura-pura sakit dapat pergi tidur dan berpura-pura bahwa dia sedang sakit. Di sini ia menciptakan gejala sakit pada dirinya. Dengan demikian, simulasi mengancam perbedaan antara “benar” dan “palsu”, antara “nyata” dan “tidak nyata”. Bahkan simulasi membelokkan yang nyata. Dengan kata lain, yang tidak nyata ini memiliki kemampuan membunuh yang nyata. Inilah yang membedakannya dengan representasi. Representasi (masih mengacu pada yang nyata) mencoba menyerap simulasi dengan menafsirkannya sebagai representasi palsu, sementara simulasi melipat keseluruhan representasi sebagai sebuah simulacrum.
Apa yang Baudrillard refleksikan tentang apa yang nyata dan tidak nyata juga berlaku pada film Tanda Tanya. Gagasan Hanung untuk menghadirkan yang tidak hadir dari realitas masyarakat Indonesia merupakan sebuah simulasi yang akhirnya berpotensi menjadi model bagi penciptaan sebuah tata masyarakat yang baru, masyarakat yang lebih semakin menghargai perbedaan dan toleransi umat beragama, masyarakat yang menghargai pluralitas keagamaan. Yang tidak hadir dari realitas itu akhirnya juga lenyap bersamaan dengan terciptanya sebuah realitas baru dari hasil meniru yang dihadirkan film itu. Memang belum terbukti apakah film Tanda Tanya ini melahirkan sebuah masyarakat yang pro-toleransi dan pro-pluralisme yang dikawatirkan oleh para elite agama. Namun, kehadiran yang “dianggap” absen dalam masyarakat dalam film tersebut sudah menjadi wacana baru dalam kasanah dinamika hidup keagamaan masyarakat Indonesia. Wacana baru itu akan menjadi semakin nyata ketika menjadi bahan pembicaraan yang semakin hangat di antara pemeluk agama, entah menolak maupun menerima. Dengan demikian, simulasi dalam bentuk film Tanda Tanya tersebut lambat laun menjadi sebuah realitas baru yang nyata yang sama sekali tidak mengacu pada realitas yang sesungguhnya. 


Hollywood sebagai Agen Globalisasi
Hiperrealitas yang digagas Baudrillard sungguh nyata kita lihat dalam industri film terbesar dunia saat ini, Hollywood. Film-film yang diproduksi mampu masuk ke dalam box-office global. Menurut data dari European Audiovisual Observatory (EAO), perlu dicatat bahwa sepanjang tahun 2007, 19 dari 20 film yang masuk ke dalam box-office berasal dari Amerika, dalam hal ini Hollywood, atau kerjasama Amerika-Eropa. Kenyataan ini mau tidak mau menjadikan Hollywood sebagai sebuah trendsetter perfilman dunia. Dominasi Hollywood membuat gerah beberapa industri film negara-negara lain, seperti Eropa. Mereka tidak mampu bersaing dengan dominasi Hollywood, terutama dalam mencetak film-film yang berpotensi besar masuk ke dalam box-office perfilman dunia. Hal ini dapat terjadi karena secara historis, menurut Finola Kerrigan, seorang dosen dan peneliti senior dalam Marketing di King's College London, industri film Amerika mulai mengeruk keuntungan ketika pada masa Perang Dunia I (PD I). Pada saat itu Perancis, German, Itali, dan Inggris mengalami banyak kerugian karena perang sehingga pendanaan untuk industri film mereka berkurang. Hal ini merupakan faktor tambahan yang memastikan dominasi Amerika berlanjut secara global, khususnya dalam menguasai pasar Eropa. Salah satu kunci sukses dari dominasi ini, menurut Kerrigan, adalah kesadaran yang muncul dari para pembuat film Amerika akan pasar Eropa selama PD I. Oleh karena itu, mereka mengembangkan pasar ini di permulaan tahun 1920-an. Pada tahun-tahun itulah Amerika mulai mendominasi box-office.
Menurut Karrigan, ada beberapa faktor yang membuat Amerika masih mendominasi dunia perfilman global saat ini. Pertama adalah unsur komersial. Komersialisasi dalam industri film sangat penting untuk mendukung semua sektor dalam industri film. Komersialisasi itu meliputi informasi dan akses ke pasar, penciptaan pasar baru (merchandise, program TV, home video, multimedia). Kedua, pemasaran dan distribusi. Tidak diperdebatkan lagi bahwa industri Hollywood memiliki  lebih banyak bintang dengan reputasi internasional dari pada industri film lainnya. Mereka juga melakukan kontrol atas jaringan distribusi dunia. Sektor distribusi ini merupakan unsur yang paling penting bagi sebuah film untuk mencapai penontonnya. Sebuah kampanye marketing yang baik merupakan hal paling penting untuk mengamankan perolehan box-office. Ketiga, kecurigaan para pembuat film terhadap para distributor yang sering mengubah konsep film mereka agar sesuai pasar tidak berlaku di Amerika. Kecurigaan ini melanda para pembuat film non-Hollywood. Keempat, restrukturisasi yang dilakukan Hollywood sebagai tanggapan terhadap kehadiran TV di tahun 1950-an yang berdampak secara negatif pada industri film. Kelima, lobi internasional yang kuat. Kekuatan dan pentingnya industri film telah dilihat oleh pemerintah Amerika sehingga mereka menggunakan jaringan diplomatiknya untuk mempromosikan film-film mereka ke seluruh dunia. Pelobi film dari Amerika yang kita kenal saat ini adalah MPAA. Kekuatan lobi Amerika ini juga nampak ketika bernegosiasi dengan Korea Selatan. Amerika menekan Korea Selatan untuk mengurangi kuota film-film lokal dari 40% menjadi 20% dalam rangka meningkatkan perdagangan di bidang lain dengan Amerika. Di sini nampak bahwa posisi tawar Amerika terhadap negara-negara lain cukup tinggi.
Kehadiran jaringan pasar film-film Hollywood yang begitu kuat dan dominan secara global tersebut juga membuat pemerintah Indonesia menghadirkan kembali film-film Holywood di Indonesia (Kompas.com, 9/6/2011) yang pada bulan Februari 2011 lalu sempat terhenti karena soal pajak. Persoalannya apakah ada tekanan dari pemerintah Amerika kepada pemerintah Indonesia atau tidak, seperti yang dialami pemerintahan Korea Selatan, belum ada penjelasan. Faktanya, dalam jangka dekat kita akan menyaksikan kembali film-film box-office, seperti Kungfu Panda 2 dan Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides. Lalu bagaimana dengan nasib film Tanda Tanya atau film-film lokal lain yang mengusung persoalan khas bangsa kita ini? Apakah realitas baru yang diwacanakan atau yang hendak dijadikan bahan refleksi pribadi dan kolektif tenggelam dalam film-film luar yang kebanyakan tidak mendidik dan hanya bersifat menghidur penonton tersebut? Sebenarnya yang diminati penonton kita adalah film-film yang menghibur saja, atau mendidik? Jika dilihat secara sepintas dalam situs www.21cineplex.com yang menampilkan film-film baik dalam negeri maupun luar negeri nampak bahwa sebaran film-film yang menghibur, seperti film-film Hollywood, film horror Indonesia, film berbau seks dengan artis pendukung dari negara luar (Jepang, Amerika) lebih dominan. Ini mengindikasikan bahwa pembuat film dalam negeri pun terpancing untuk menghasilkan film-film yang tidak mendidik. Kehadiran film ini pun disinyalir akan membuat perubahan mental masyarakat yang menontonnya.
Pengaruh pembuatan jenis-jenis film di Indonesia seperti itu pun mau tidak mau dipengaruhi dengan gaya bertutur dalam film-film Hollywood yang mengglobal. Menurut Scott R. Olson, gaya film Amerika tidak lepas dari permintaan orang-orang Amerika sendiri yang tidak ingin berpikir ketika menonton film, tetapi lebih ingin menebak setiap tayangan bagian film selanjutnya. Maksudnya adalah bahwa faktor penonton yang menginginkan absennya daya pikir dan lebih memilih film-film yang lebih sederhana memengaruhi para pembuat film Amerika untuk membuat film-fim sesuai permitaan penonton Amerika. Yang penting bagi penonton adalah mereka dapat memahami dan menikmati film. Oleh karena itu wajar bila film-film mereka diminati oleh sebagian besar orang karena unsur menghiburnya lebih dominan dari pada yang memerlukan usaha berpikir.
Dengan demikian nampak bahwa globalisasi yang diusung Hollywood telah sedemikian memengaruhi dunia melalui kehadiran film-filmnya. Dalam arti ini, globalisasi berarti dominasi ekonomi dan politik dari Amerika, termasuk budayanya yang yang didominasikan ke seluruh penjuru dunia. Dominasi ini akan berdampak pada perubahan ekonomi dan teknologi yang merupakan penggerak globalisasi itu sendiri. Perubahan ini akan berpotensi besar menciptakan persoalan sosial dan politik di negara-negara yang mengalami globalisasi, seperti jurang pemisah antara yang menang dan kalah semakin besar baik di dalam maupun di antara masyarakat, dan tantangan terhadap gagasan tradisional tentang nasionalisme. Mengutip sejarawan Chili, Claudio Veliz, Berger mengatakan bahwa fenomena dari dominasi Amerika ini disebut dengan istilah “Hellenistic phase of Anglo-American civilization”, yaitu fase helenisasi dari peradaban Anglo-America. Frase ini dimaksudkan untuk membedakan apa yang dimaksud dengan imperialisme. Mesin global dari jaman Yunani waktu itu adalah Koine, yaitu bahasa umum Yunani. Saat ini, bahasa Inggris, lebih dalam bentuk Amerika dari pada Inggris, merupakan koine dari kemunculan budaya global. Jutaan orang di seluruh dunia menggunakan bahasa ini sebagai bahasa pengantar untuk alasan-alasan praktis. Hal ini bisa kita lihat sangat jelas dalam film Robinson Crusoe (1997), di mana Crusoe (Pierce Brosnan) memaksa Friday (William Takaku) untuk berbahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengannya. Ini berarti, untuk mampu bersaing dengan pasar internasional, mau tidak mau dunia dunia perfilman kita mesti menggunakan bahasa Inggris. Paling tidak ada subtitle yang berbahasa Inggris dalam film-film kita agar diterima oleh publik internasional, khususnya publik Amerika.
Lalu bagaimana kita menyikapi dominasi dari budaya Hollywood ini agar kekhasan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia tetap bisa lestari melalui film-film berbasis realitas masyarakat? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab sekarang ini. Kenyataannya, para penonton kita lebih cenderung ingin mendapatkan hiburan yang berkualitas. Mereka sudah terbuai dengan sensasi yang dimunculkan film-film Hollywood, melalui teknologi visual effect-nya yang maju (termasuk teknologi 3D). Satu-satunya jalan adalah meningkatkan produksi film-film berbasis budaya lokal masyarakat Indonesia segencar mungkin. Misalnya mengangkat kembali kisah jaman kerajaan yang kaya sekali dengan muatan nilai dan moral yang baik atau mengangkat kearifan lokal budaya Indonesia. Tentu ini sudah kita lihat dalam pertunjukan wayang “Jabang Tetuko”. Penulis kira dengan langkah ini, para penonton film Indonesia akan dengan mudah memilih film-film yang familiar dengan mereka, film-film yang mewakili apa yang menjadi kerinduan mereka, film-film yang mengangkat budaya Indonesia.

Refleksi atas Pengaruh Daya Ubah Film (Media)
Kembali pada film Tanda Tanya yang mengangkat yang absen dalam masyarakat Indonesia, penulis merasa bahwa apa yang digagas Baudrillard adalah benar. Dunia kita saat ini memang merupakan dunia simulasi, yaitu meniru dari realitas sesungguhnya, untuk kemudian dari tiruan tersebut menciptakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu sendiri, yang sudah terlepas dari realitas sesungguhnya, menjadi sebuah realitas yang baru lagi, dan realitas tersebut menjadi realitas yang sesungguhnya. Apa yang diangkat film Tanda Tanya adalah sebuah gambaran ideal atau imajinasi yang sesungguhnya tidak jelas apakah sungguh mengacu pada realitas yang sesungguhnya atau sudah dimasuki gagasan atau ide-ide pembuat film. Akibatnya antara gagasan atau idea tau imajinasi dengan realitas tidak jelas. Batasan itu menghilang. Yang tersisa adalah sebuah karya baru yang siap untuk didiskusikan dalam ruang-ruang publik. Pewacanaan film tersebut dalam ruang publik akhirnya menjadi sebuah realitas baru.
Ini juga berlaku pada film-film Hollywood. Para pembuat film dan tentu saja para pemilik industri film di Hollywood sadar akan kekuatan dari film-film buatan mereka. Sebuah film akan mendatangkan sebuah keuntungan amat besar bila diminati semakin banyak orang sehingga bisa masuk ke dalam box-office global. Semakin banyak orang membicarakan film tersebut, katakanlah Avatar (2009), semakin film itu hadir secara nyata dalam hidup masyarakat internasional. Bahwa kehadiran ratusan film-film yang masuk box-office telah sedemikian besar mengambil peran perubahan global, entah yang baik maupun berakibat buruk. Bahwa sebuah karya seni (film) yang dipadu dengan bisnis menjadi sebuah kekuatan transformatif bagi masyarakat global. Inilah dunia yang dimaksud oleh Baudrillard sebagai hiperrealita.
Lalu bagaimana dengan pengaruh daya ubah sebuah film bagi masyarakat penonton? Apakah berpotensi menggoyahkan iman mereka yang memiliki keyakinan agama tertentu—seperti  disinyalir dalam fim the Da Vinci Code (2006) dan Angels and Demons (2009)? Atau malah memicu pemurtadan karena muatan pluralisme yang kental, seperti yang dikuatirkan para pemuka agama terhadap film Tanda Tanya? Atau masyarakat dimasukkan ke dalam sebuah realitas semu yang telah ditawarkan dalam film-film tersebut, seperti film-film fiksi? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis berkaca pada posisi Vatikan terhadap kehadiran film yang menurut penulis masih relevan untuk masa sekarang ini. Sejak tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II (YP II) telah menyadari peran penting film dalam perubahan masyarakat. Melalui pesannya dalam Hari Komunikasi Sedunia ke-29 tanggal 28 Mei 1995 yang bertema “Cinema: Communitacor of Culture and Values”, Paus menyatakan bahwa film mampu mempengaruhi dan mengkondisikan pilihan-pilihan masyarakat, khususnya kaum muda, dalam sebuah bentuk gambar yang memiliki dampak sangat besar bagi para penonton dan bagi alam bawah sadar mereka. Selain itu, film dapat menekan kebebasan ketika film itu membelokkan kebenaran dan ketika menjadi sebuah cermin dari jenis-jenis perilaku negatif, misalnya menggunakan tayangan kekerasan dan seksual untuk merangsang perhatian para penontonnya. Sikap dari mereka yang secara tidak bertanggungjawab membawa pada degradasi moral tidak bisa dianggap sebagai ungkapan artistik yang bebas karena hanya dalam Kebenaranlah kita menjadi bebas (Yoh 8:32). Oleh karena itu YP II, berseru kepada mereka yang bertanggungjawab dalam industri film dan para penonton agar lebih kritis dalam menghadapi permintaan dari dunia media, termasuk sinema dan siap untuk menilai antara apa yang bisa dijadikan kesempatan untuk mengembangkan diri (misalnya film-film berbasis kearifan lokal atau keagamaan atau dokumenter) atau yang malah membahayakan mental atau akhlak (misalnya film-film yang berbau seks, porno, atau horor).
Bagi penulis, dunia tiru-meniru ini tidak terelakkan. Media, seperti TV, internet, Film, dan alat-alat komunikasi telah menjadi bagian hakiki kehidupan manusia. Dominasi Hollywood dalam dunia perfilman yang berpotensi besar memengaruhi budaya kita juga tidak terbendung. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah memanfaatkan sarana-sarana yang tersedia untuk mengembangkan identitas kultural bangsa Indonesia sendiri melalui film-film berbasis budaya, kearifan lokal, yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan. Melalui film tersebut, realitas baru akan tercipta, yaitu masyarakat yang cinta akan tanah air, yang lebih beradab, dan yang mengenali akar sejarahnya sendiri. Dengan demikian,  sebuah masyarakat yang menghormati perbedaan dan keanekaragaman bangsa ini dengan paradigma yang baru akan tercipta sepenuhnya.

Sumber Pustaka
Berger, Peter L. and Samuel P. Huntington (ed.). 2002. Many Globaliszations: Cultural Diversity
in the Contemporary World. New York: Oxford University Press, Inc.
Kerrigan, Finola. 2010. Film Marketing.Oxford: Elsevier.
Olson, Scott R, “The Globalization of Hollywood” dalam International Journal on World Peace
17 (2000): 3-17.
Poster, Mark (ed.). 1992. Jean Baudrillard: Selected Writings. Cambridge: Polity Press.
Smith,  Richard G. (ed.). 2010. The Baudrillard Dictionary. Edinburgh: Edinburgh University
Press, Ltd.

Sumber Internet:
Paulus II,  Yohanes, "Cinema: Communicator of Culture and of Values" dalam 


Jumat, 18 Februari 2011

Wayang: Perannya dalam kehidupan manusia

Selasa sore, 8 Februari, saat istirahat di sela tennis, saya menanyakan pendapat Pak Dalijo, usia 70 th tentang wayang: apa peran wayang bagi kehidupan orang Yogya dan bagi beliau. Menurut beliau, wayang berisi tentang filosofi kehidupan. Segala watak manusia terwakili dalam tokoh-tokoh wayang. Demikian pula kebajikan dan kearifan manusia ditonjolkan di situ. Dengan melihat wayang, kita dapat melihat pula watak diri kita sendiri. Selain itu, kita bisa memiliki panutan tokoh yang memiliki watak dan kepribadian ideal yang kita inginkan atau harapkan. Bagi Beliau tokoh wayang yang ia gemari adalah Bima atau Werkodara, tokoh Pandawa. Menurutnya, Bima atau Werkodara adalah tokoh yang dikenal dengan kejujurannya, ceplas-ceplos, apa yang ada di hatinya itulah yang ia katakan. Bima adalah tokoh yang apa adanya, tidak dibuat-buat, bahkan tidak segan-segan bicara ‘ngoko’ kepada orang yang lebih tua darinya.

Memang di rumahnya tidak terpasang gambar wayang, namun Pak Dalijo ini memahami peran wayang dalam kehidupan orang-orang Yogya. Menurutnya, melalui “lakon” wayang, seorang dalang bisa menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah, terhadap perilaku masyarakat dan situasi masyarakat kini yang sedang menjadi pembicaraan utama, lalu diakhiri dengan semacam ‘refleksi’ yang diungkapkan dalam pertobatan atau pencerahan yang dialami tokoh-tokoh utama wayang yang sedang di-“lakon”-kan. Pesan dari “lakon” wayang yang ditampilkan itu diharapkan ditangkap dan direnungkan oleh para pendengarnya waktu itu sehingga diharapkan pula para pendengar tersebut mulai memikirkan langkah-langkah baru dalam kehidupannya agar semakin menjadi baik.

Pendapat Pak Wahyu, 40-an tahun, yang saya wawancarai pada hari sabtu, 5 Februari kemarin, tentang wayang hampir senada dengan Pak Dalijo ini. Beliau mengemukakan pendapatnya bahwa masing-masing tokoh wayang memiliki peran dan tugas masing-masing. Misalnya Semar, yang adalah saudara Batara Guru, bertugas di dunia untuk mendampingi manusia. Ketika Batara Guru melakukan kesalahan, ia menegur adiknya itu. Demikian halnya ketika pandawa telah salah jalan, ia menasihati mereka agar segera bertobat. Peran dan tugas masing-masing hendaknya dijalankan dengan setia agar tercipta keselarasan dan keharmonisan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, akan terjadi kekacauan. Misalnya, “lakon” Petruk yang ingin jadi raja. Tentu pemerintahan tersebut mengikuti gaya Petruk. Karena Petruk berperan bukan sebagai seorang negarawan, maka pemerintahannya menjadi kacau.

Demikian nyata bahwa wayang memiliki peran dalam kehidupan masyarakat menurut kedua responden tersebut. Meski keberadaannya hanyalah sebagai mitos, namun perannya melalui berbagai macam karakter dan sifat tokoh-tokoh wayang dirasakan oleh masyarakat Yogyakarta.

Jumat, 21 November 2008

Saat Bicara tentang Cinta

Berucap tiada henti
Tentang sebuah cinta
Sang Pujangga pun terdiam membisu
Menanti sebuah 'saat'

Saat yang takkunjung tiba
Berpeluhkan penantian
Pengadilan demi pengadilan
Bergiliran mengiringi
Hingga ....

Tibalah Saatku
Bicara tentang Cinta yang sesungguhnya

Jumat, 14 November 2008

Karl Rahner: Metafisika Pengetahuan

Vico SJ

Pengantar
Karl Rahner (1904—1984) dikenal sebagai seorang teolog Jerman, salah satu teolog Katolik Roma yang paling berpengaruh di abad ke-20. Sebelum karya-karya teologinya yang terkenal, Theological Investigations (Selections from Schriften zur Theologie) (1938-1985) muncul, ia terlebih dahulu membuat karya filosofis dalam bukunya yang pertama, Geist in Welt (Spirit in The World) di tahun 1939. Karya itu sebenarnya merupakan desertasi doktoralnya yang dulu pernah ditolak, namun diterbitkan di tahun 1939.
Konteks pemikiran pada zamannya saat itu adalah adanya jalur pemikiran yang mengusung kembali jaman keemasan sebelumnya, yaitu zaman ‘skolastisisme’ Abad Pertengahan yang kemudian disebut sebagai neo-skolastisisme. Aliran ini mendasarkan dirinya pada sistem filsafat dan teologi Thomas Aquinas. Aliran skolastisisme ini mempunyai corak sistem yang sangat terstruktur, tertutup, mengesampingkan dunia modern dan hambatan intelektual yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Rahner berusaha untuk membuka neo-skolastisisme ini dengan argumen bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak mesti rapi terstruktur, tetap ada ruang –ruang baru untuk tumbuhnya ide-ide baru, pemikiran baru, serta keterlibatan dalam dunia modern.

Pemikiran Rahner
Karyanya, Spirit in The World ini sering dikatakan sebagai interpretasi atas karya Thomas Aquinas dengan kaca mata Kant dan post-Kantian di bawah pengaruh Joseph Maréchal dan sedikit dari Martin Hedegger. Ia berangkat dari apa yang disangkal Kant, yaitu metafisika sebagai pengetahuan adalah tidak mungkin. Namun, baginya, Metafisika sebagai pengetahuan adalah mungkin. Argumennya ini didasarkan atas interpretasi Summa Theologia-nya Thomas Aquinas artikel 7, pertanyaan 84 dari Prima Pas: “Can the intellec know anything through the intellegible species which it possesses, without turning to the phantasms?” (Dapatkah budi mengetahui segala sesuatu melalui jenis atau macam hal yang dapat dimengerti tanpa berubah atau beralih ke phantasme—sebuah ilusi?). Selanjutnya dalam bukunya—Spirit in the World, ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut: bagaimana metafisika mungkin terberikan jika segala pengetahuan kita berakar di dalam dunia. Menurutnya, metafisika merupakan pengetahuan yang melampaui dunia, suatu pengetahuan tentang Ada dan Allah. Sedangkan dunia adalah sebuah realitas yang dapat diraih atau dialami oleh pengalaman manusia. Kemudian ia bertanya: jika pengetahuan manusia mulai dengan dan tetap terperangkap dalam dunia ruang dan waktu sehingga dunia dikenal melalui indera, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui sesuatu yang melampaui ruang dan waktu dan segala persepsi inderawi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ia mengajukan konsep Vorgriff auf esse, yaitu suatu kondisi kemungkinan atau posibilitas akan suatu pengetahuan tentang dunia, sebuah pre-apprehend of being (prapemahaman tentang pengada). Menurutnya, prapemahaman tentang pengada merupakan kondisi yang mungkin dari semua proses pemahaman kita. Artinya, ketika kita mengenali, memilih, dan memahami beberapa objek yang partikular atau khusus atau menghendaki nilai-nilai yang sifatnya terbatas, kita selalu terarah pada suatu pengada yang tak terbatas melampaui hal-hal yang partikular dan yang bersifat terbatas itu, dan hanya karena pelampauan inilah kita bisa mengenali atau memilih objek individual yang terbatas. Lebih jauh lagi, ketika kita terarah pada keseluruhan yang ada itu, kita juga menjangkau ke arah Allah.
Untuk menjelaskan Vorgriff tersebut, Rahner mendasarkan diri pada tiga gambaran tentang Vorgriff. Gambaran pertama—dengan mengambil konsep dari Heidegger—adalah bahwa kita menyadari pengada yang tak terbatas sebagai horison atau cakrawala pengetahuan kita yang terbatas. Sebuah kesadaran akan pengada yang tak terbatas dan akan Allah membentuk sebuah latar belakang dan niscaya bagi pengetahuan kita tentang objek-objek partikular yang terletak di latar depan kesadaran kita. Gambaran kedua—mengambil konsep Aquinas—adalah bahwa Vorgriff adalah cahaya yang menerangi objek-objek individual sehingga memungkinkan budi kita dapat menangkap mereka. Dengan demikian, kesadaran kita akan Allah memungkinkan kita mengetahui Allah. Gambaran ketiga—mengambil konsep Maréchal—adalah bahwa kita mempunyai dinamisme dalam pikiran, suatu dorongan dasar untuk bergerak dari semua objek terbatas menuju yang tak terbatas dan Allah. Dinamisme dalam pikiran ini merupakan syarat pengetahuan.

Tanggapan
Rahner, dalam menjelaskan metafisika pengetahuannya selalu bertitik tolak pada kesadaran akan objek-objek individual yang terbatas untuk menuju kepada pengada yang tak terbatas dan Allah. Dengan kata lain, pemahaman akan pengada yang tak terbatas dan akan Allah selalu terkait dengan pengetahuan akan pengada-pengada yang terbatas. Kesadaran ini oleh Rahner disebut Vorgriff, yaitu suatu kondisi kemungkinan akan suatu pengetahuan tentang dunia. Vorgriff inilah—sebagai sebuah prapemahaman akan suatu pengada—yang memungkinkan kita mengenali pengada yang tak terbatas dan Allah melalui objek-objek yang terbatas. Jadi, menurut saya Vorgriff ini menyerupai istilah Kant, a priori, suatu perangkat dalam budi untuk menjangkau pengetahuan tentang hal-hal di luar partikulatitas dunia ini. Dalam hal ini, saya melihat bahwa Rahner tetap menggunakan kemampuan rasio atau budi untuk menjangkau pengetahuan metafisis yang melampaui pengetahuan tentang hal-hal yang partikular, konkret, dan terbatas—yang bagi Kant adalah tidak mungkin.

Penutup
Pengetahuan akan hal-hal yang tak terbatas yang melampaui pengetahuan akan partikularitas dunia ini adalah mungkin bagi kita, manusia. Mengapa? Karena kita memiliki Vorgriff yang memungkinkan kita mengenal hal-hal yang tak terbatas dan Allah. Meskipun tidak secara langsung kita bisa sampai pada pengada yang tak terbatas dan Allah, toh kita pun tetap bisa mengenalinya karena kita pun mempunyai sisi transendental dan suatu receptive knowledge untuk mengetahui hal-hal di luar diri kita. Dengan demikian, Rahner hendak menunjukkan pada kita suatu daya rohani yang dimiliki manusia untuk sampai pada pengetahuan akan hal yang tak terbatas.

Sumber Acuan
Hadi, P. Hardono (penterjemah), 2001, Karl Rahner, Yogyakarta: Kanisius.
Kilby, Karen, 2004, Karl Rahner: Theology and Philosophy, London and New York:Routledge.
en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Mar%C3%A9chal (diambil hari Minggu, 20 Mei 2007)

MODAL FISIK MENURUT PIERRE BOURDIEU

Oleh Vico


Pendahuluan
Teori reproduksi sosial Bourdieu berkenaan dengan tubuh sebagai pembawa nilai simbolik. Konsepnya tentang tubuh menggambarkan karya Elias, tetapi salah bila terlalu menekankan kesamaannya. Bourdieu berkenaan secara utama dengan tubuh dalam masyarakat kontemporer, sementara Elias berbicara tentang proses-proses sejarah yang terlibat dalam perkembangan pemberadaban tubuh.
Inti pendekatan Bourdieu adalah produk modal fisik (perkembangan tubuh yang dikenali sebagai pemilik nilai dalam bidang-bidang sosial) dan perubahan modal fisik (terjemahan dari tubuh yang berpartisipasi dalam pekerjaan, kesenangan, dak bidang-bidang lain dalam bentuk-bentuk modal yang berbeda). Modal fisik biasanya diubah ke modal ekonomi (uang, barang-barang, dan pelayanan), modal kultural (pendidikan) dan modal sosial (jaringan sosial).


A. Produksi Modal Fisik

Pengantar
Bourdieu berfokus pada komodifikasi tubuh dalam masyarakat modern. Hal ini mengacu tidak hanya pada implikasi tubuh dalam pembelian dan penjualan tenaga pekerja, tetapi juga pada metode-metode dimana tubuh telah menjadi sebuah bentuk modal fisik—pemilik kekuatan, status, dan bentuk-bentuk simbolik yang berbeda yang berpusat pada akumulasi dari pelbagai sumber. Bentuk-bentuk modal fisik ini secara khusus telah tersebar dalam dunia modern.
Contoh :
- Seseorang olahragawan profesional menukarkan performa tubuhnya dengan financial rewards.
- Night club dan disco seringkali memperkerjakan body-builder sebagai bouncer.
- Pelacur menggunakan tubuh mereka untuk mempertahankan hidup.

Pertukaran Tubuh ini beragam tingkatnya tergantung dari mana pemiliknya memperoleh keuntungan dan dieksploitasi –contohnya transaksi-transaksi. Hal yang umum bagi mereka semua adalah tubuh digunakan sebagai sebuah bentuk modal.

Kelas-kelas Sosial: Kelas Dominan, Kelas Menengah, dan Kelas Pekerja
Dari contoh-contoh tersebut, jelaslah bahwa tubuh terlibat dalam penciptaan dan reproduksi sosial yang berbeda-beda yang terlihat dalam kelas-kelas sosial. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor:
1. lokasi sosial individu (materi sekitar hidup harian mereka);
2. pembentukan habitus mereka (disposisi tubuh yang membentuk reaksi seseorang pada situasi yang dikenal dan baru)
3. perkembangan cita rasa mereka.

Dari faktor tersebut, orang cenderung mengembangkan tubuh mereka secara berbeda dan menaturalisasikan perbedaan-perbedan sosial tersebut melalui beragam bentuk seperti aksen, pengendalian diri, dan gerakan-gerakan.

Kelas Pekerja
Menurut Bourdieu, kelas pekerja cenderung mengembangkan sebuah relasi instrumental pada tubuh mereka. Tubuh adalah alat untuk mencapai tujuan akhir dan ini merupakan bukti, sebagai contoh, dalam relasi penyakit dan pengobatan (dimana ‘menempatkan tubuh secara benar’ adalah nampak sebagai sebuah alat untuk kembali bekerja atau melakukan persiapan untuk liburan). Pembagian gender dalam kelas pekerja berarti bahwa wanita cenderung mengembangkan bahkan lebih relasi instrumental pada tubuh mereka dari pada pria. Hal ini berarti bahwa mereka sering mempunyai sedikit waktu untuk kegiatan-kegiatan yang menyenangkan terpisah dari pekerjaan mereka. Kelas pekerja wanita cenderung mengembangkan orientasi pada tubuh mereka secara kuat yang ditandai dengan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dan pengutamaan nilai-nilai kesehatan mereka sejauh hal tersebut mengijinkan mereka memenuhi tanggungjawab keluarga.
Bourdieu melihat bahwa kelas pekerja mengembangkan tubuh mereka dengan ditandai oleh
tuntutan bertahan hidup dalam hidup, dan bentuk-bentuk pelepasan sementara yang mereka cari dari tuntutan-tuntutan ini.
Menarik untuk mencatat metafor umum, yaitu tubuh sebagai mesin dalam persepsi kelas pekerja tentang kesehatan dan penyakit. Dalam metafor ini, tubuh menjadi sebuah proyek dalam pengertian, tubuh perlu untuk dilayani oleh para ahli medis untuk menjaganya agar tetap bisa bekerja secara efisien.

Kelas Dominan
Sebaliknya, kelas dominan mempunyai banyak sumber untuk memperlakukan tubuh sebagai sebuah proyek dengan beragam variannya menurut apakah penekanannya
pada fungsi instrinsik tubuh sebagai sebuah organisme atau
pada penampilannya sebagai sebuah konfigurasi/pola yang mudah diketahui, artinya tubuhnya diperuntukkan bagi yang lain.

Kelas Menengah
Berkebalikan dengan kelas pekerja kelas menengah yakin bahwa mereka lebih mempunyai kontrol atas tubuh mereka, kontrol yang dapat dilatihkan dengan memilih sebuah gaya hidup yang tepat.

Nilai Simbolik
Produksi bentuk-bentuk tubuh yang berbeda yang berpusat pada teori reproduksi sosial Bourdieu disebut sebagai nilai simbolik. Tubuh Instrumental kelas pekerja bukanlah tanpa nilai simbolik, tetapi kelas dominan paling mudah untuk memproduksi nilai simbolik tertinggi dari bentuk tubuh mereka. Merekalah yang secara finansial mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah elite untuk waktu yang panjang, melepaskan mereka dari kebutuhan untuk bekerja, dan mendukung mereka untuk masuk dalam kegiatan seperti meningkatkan nilai tubuh mereka (sebagai contoh, melalui sekolah memancing, ballet, tennis meja)

Relasi antara lokasi sosial, habitus, dan cita rasa
Relasi antara lokasi sosial, habitus, dan cita rasa menghasilkan perbedaan dan bentuk-bentuk tubuh yang relatif stabil dan orientasi-orientasi. Bagaimanapun juga, orientasi-orientasi ini tidak selalu statis. Ini karena tubuh individu tidal pernah selesai secara penuh. Sementara tubuh dilibatkan dalam masyarakat, ia dipengaruhi oleh proses-proses sosial, kultural, dan ekonomi.

Rangkuman
Kelas-kelas sosial memberikan pengaruh yang mendalam pada bagaimana orang-orang mengembangkan tubuh mereka, dan bagaimana mereka mengembangkan nilai simbolik yang disertakan pada bentuk-bentuk khusus tubuh mereka.
Ini adalah produksi modal fisik. Bagaimanapun juga, pentingnya hal tersebut tidaklah sesederhana bahwa gaya hidup yang berbeda dari masing-masing kelas terukir pada tubuh mereka, tetapi bahwa hal tersebut menempatkan orang pada kegiatan yang berbeda-beda.


B. Perubahan Modal Fisik

Pengantar
Bourdieu berpendapat bahwa tipe tubuh kelas pekerja membentuk sebuah modal fisik yang mempunyai nilai pertukaran yang sedikit dari pada kelas dominan.
Hal ini tidak berarti bahwa kelas pekerja kekurangan kesempatan untuk mengubah modal fisik mereka ke bentuk modal lainnya. Namun, hal tersebut masih meninggalkan persoalan dimana pendidikan, olah raga dan bidang-bidang lain dalam masyarakat tidak (secara keseluruhan, dan terstruktur ) dapat menyediakan kesempatan yang sering bagi kelas pekerja secara umum untuk mengubah modal fisik mereka ke bentuk modal yang lain.

Sebaliknya, kelas dominan dalam masyarakat cenderung mempunyai kesempatan yang lebih untuk mengubah modal fisik mereka ke modal fisik yang lain. Kegiatan-kegiatan olah raga elit, sebagai contoh, dapat dilihat sebagai pasar jodoh (marriage markets) yang mempertahankan penyebaran sumber-sumber ekonomi di antara generasi mereka. Douglas dan Isherwood mencatat bahwa kelompok (tersebut) seringkali tertutup dan stabil ..berpegang pada privilisi mereka dan secara cemburu menjaga perempuan-perempuan mereka. Contohnya adalah tempat olah raga elit terkenal seperti kegiatan polo di Inggris, mungkin, merupakan sebuah faktor penting dalam peristiwa perkawinan antar kelas dalam kelas dominan

Perubahan Nilai Simbolik ke Modal Sosial dan Kultural Pada Kelas Dominan
Nilai simbolik dari tubuh kelas yang lebih tinggi dapat juga diubah ke modal sosial dan kultural.

Ke Modal Sosial
Peristiwa-peristiwa olah raga elit seringkali melibatkan aturan etika dan memberikan ruang pertunjukkan kompetensi tubuh dalam konteks formal dimana anggota-anggota kelompok-kelompok elite tersebut mengenali tubuh mereka sebagai sebuah tanda yang menandakan bahwa pembawa memperlihatkan seperangkat nilai (contoh melalui model pakaian, cara berbicara, mengatur wajah dan bahasa tubuh). Persahabatan dan relasi terbentuk di dalam peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat merupakan nilai terbesar dalam pencapaian legalitas, finansial, dan nasihat politis.

Ke Modal Kultural
Sebagai contoh, kualifikasi-kualifikasi yang berlaku sebagai alat penunjuk pertama, dalam interview, dimana pengolahan kata dan tubuh adalah pusat, seringkali merupakan gerbang atau pintu masuk pada pendidikan dan pekerjaan-pekerjaan yang elit.
Jadi apabila tubuh berlaku sesuai dengan kualifikasi-kualifikasi dari suatu instansi tempat pekerjaan atau pendidikan yang diinginkan tersebut, tubuh akan diterima di dalam instansi tersebut.


Perubahan Nilai Modal Fisik
Lingkungan Sosial
Teori Reproduksi Sosial Boardieu menonjolkan pentingnya tubuh dalam pembentukan perbedaan-perbedaan dan ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial. Namun, perlu dicatat bahwa nilai simbolik yang melekat pada bentuk-bentuk tubuh dapat berubah sama seperti modal ekonomi dan kultural yang berfluktuasi dalam nilai-nilainya. Untuk memahami alasan-alasan dari fluktuasi-fluktuasi ini perlu melihat konsep Bourdieu tentang Lingkungan Sosial (Social Field). Lingkungan sosial mengacu pada seperangkat prinsip-prinsip pengatur yang dinamis, yang dijaga oleh kelompok-kelompok sosial yang mengidentifikasi dan menyusun kategori-kategori khusus dari praktek sosial. Masing-masing lingkungan sosial mempunyai otonomi yang relatif terhadap yang lain, dan memberikan nilai-nilai pada praktik sosial menurut kategori organisasi internalnya.
Contoh:
- dalam bidang olah raga profesional, nilai ditempatkan pada performen seseorang / kelompok dan kemenangan melebihi keterlibatan dan usaha-usaha
- dalam bidang seni dan desain, nilai mungkin ditempatkan pada kreativitas dan inovasi.

Pemusatan pada nilai dari perbedaan-perbedaan bentuk modal fisik adalah kemampuan kelompok-kelompok dominan untuk mendefinisikan tubuh dan gaya hidup mereka sebagai superior, layak dihargai, dan sebagai, secara metafor dan literal, personifikasi kelas.
Proses ini melibatkan perjuangan teratur atas pendefinisian dan pengendalian bidang-bidang itu dimana bentuk-bentuk tubuh diklasifikasikan sebagai yang bernilai dan juga melibatkan konflik atas bentuk-bentuk tubuh yang paling bernilai dalam sebuah keolmpok sosial.

Persoalan dan Keterbatasan Nilai Simbolik Tubuh
Bagaimanapun juga, di dalam menjaga atau mempertahankan nilai simbolik tubuh, atau pun produksi atau pun perubahan modal fisik tidak dapat tidak tetap mempunyai masalah dan mempunyai keterbatasan-keterbatasan, yaitu
1. modal fisik tidak dapat diteruskan atau diwariskan.
2. modal fisik dapat berkurang dan mati bersama pembawanya.
3. pengakuan modal fisik tidak dapat dijamin (tidak ada jaminan yang pasti)
4. rata-rata pertukaran modal fisik tidak dijamin dan mungkin ada kerugian-kerugian dalam perubahan modal fisik ke sumber-sumber lain.

Singkatnya, perkembangan nilai simbolik tubuh adalah lebih beresiko pada proses penerusannya dari pada kasus dengan modal ekonomi.
Namun, ada beberapa alasan bagus mengapa kelas-kelas dominan tetap melanjutkan untuk melakukan investasi dalam tubuh mereka. Hal ini berkaitan dengan penampilan alami dan biologis dari modal fisik mereka. Sebagai konsekuensi dari penampilan modal fisik yang alami, usaha-usaha satu generasi untuk mengolahnya dalam generasi berikutnya seringkali disamarkan, tidak nampak, atau setidak-tidaknya tidak dikenali.
Sesungguhnya, mungkin untuk mengenakan pajak kekayaan ekonomi secara efektif, namun nampaknya tetap akan menjadi lebih sulit untuk mencegah reproduksi ketidaksamaan-ketidaksamaan dalam penerusan modal fisik.


Apakah Tubuh dalam Keadaan Statis atau Tidak Berkembang?
`Teori Bourdieu tentang reproduksi sosial telah dikritik; dan secara khusus yang penting di sini adalah pertanyaan bagaimana penekanannya pada reproduksi sosial mempengaruhi analisisnya tentang organisasi kemanusiaan.
Menurut Bourdieu, sulit sekali untuk melihat secara teoritis bagaimana orang mampu melepaskan diri dari lintasan fisik yang dikenakan pada mereka oleh lokasi sosial mereka (Ini adalah sebuah penelitian Bourdieu yang mendukung poinnya sebelumnya bahwa ia bekerja dengan pandangan yang agak statis mengenai kelas sosial) Hal ini dikarenakan, menurut Bourdieu, habitus bekerja pada tingkat bawah sadar ‘melampaui peraihan dari refleksi yang teruji secara menyeluruh atau pengendalian oleh kehendak’. Pengecualian pada keadaan statis historis ini merupakan analisis Bourdieu tentang pembedaan yang muncul bahwa perubahan historis terjadi sebagai hasil dari perjuangan yang tak pernah padam untuk sumber-sumber yang dimiliki kelas-kelas sosial.
Fokus Bourdieu pada reproduksi juga berarti bahwa tubuh secara utama dipandang sebagai pembawa struktur-struktur eksternal atau kode-kode kultural, secara khusus pembawa kode-kode kelas. Hal ini cenderung mengesampingkan pentingnya ras dan gender. Lebih jauh lagi. Seperti Turner katakan, fokus pada kode ini berarti ada sedikit ruang dalam karya Bourdieu bagi pemahaman fenomenologis tentang ‘tubuh yang hidup’. Pertanyaan perubahan sosial dan pengalaman tubuh ini membawa kita pada sosiologi historisnya Elias.


Keadilan sebagai Pengalaman Aporia

Vico SJ

Pengantar
Derrida tidak memberi penjelasan yang definitif tentang keadilan. Dalam teksnya, terutama bagian pertama, muncul persoalan apakah yang adil itu legal atau di seberang sesuatu yang legal? Bagi Derrida, keadilan bermain di wilayah yang legal dan di seberang legal. Keadilan berada di interval antara yang legal dan di luar yang legal. Keadilan bagi Derrida adalah suatu pengalaman pencarian terus-menerus yang membutuhkan interpretasi yang baru dan segar dan penangguhan terus-menerus sebagai ciri dari takdapatdiputuskan. Makalah ini akan berfokus pada keadilan sebagai pengalaman aporia, suatu pengalaman dari yang tidak mungkin.

Keadilan sebagai sebuah pengalaman dari yang tidak mungkin
Pertanyaan yang langsung spontan muncul adalah bagaimana mungkin pengalaman tentang yang tidak mungkin itu menjadi syarat bagi keadilan atau bagi sebuah putusan, tindakan, sikap, dan pemikiran yang adil? Bagaimana mungkin pengalaman tentang yang tidak mungkin itu dialami?
Derrida, dalam teksnya berjudul Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority” bagian pertama menyebutkan bahwa keadilan adalah sebuah pengalaman akan yang tidak mungkin. Suatu keadilan yang hanya akan menjadi sebuah pengalaman bila kita tidak mampu mengalaminya. Lalu apa maksudnya? Apakah keadilan itu tidak bisa dialami? Derrida mengatakan bahwa ,”It is possible as an experience of the impossible, there where, even if it does not exist (or does not yet exist, or never does exist), there is justice” (Derrida, 15). Maksudnya adalah bahwa keadilan itu mungkin sebagai sebuah pengalaman dari yang tidak mungkin entah apakah keadilan itu ada, atau jika keadilan itu tidak ada atau keadilan itu belum ada atau bahkan jika keadilan itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, ada tidaknya atau belum adanya sebuah keadilan itu akan tetap menjadi mungkin bila keadilan adalah pengalaman dari yang tidak mungkin. Bahasa sederhananya adalah bahwa keadilan itu mungkin jika berangkat dari pengalaman yang tidak mungkin. Lalu apa pengalaman yang tidak mungkin itu?
Keadilan, menurut Derrida, membutuhkan suatu pengalaman aporia. Pengalaman yang ia maksudkan adalah sebuah pelampauan (traversal), sesuatu yang melampaui yang bergerak menuju sebuah tujuan yang merupakan jalannya yang sesuai. Maksudnya adalah bahwa pengalaman itu akan menemukan jalannya, kemungkinannya. Jadi, pengalaman itu akan berakhir pada suatu tujuan yang sesuai. Dalam kaitannya dengan ini, pengalaman aporia tidak mungkin untuk dialami sepenuhnya karena pengalaman itu sesuatu yang tidak menawarkan sebuah jalan. Sebuah aporia adalah sesuatu yang berada di luar jalur (non-road), sesuatu yang tidak berada pada jalan. Bisa dikatakan bahwa aporia merupakan sebuah jalan yang tidak mempunyai akhir atau tujuan yang pasti karena ia di luar jalur, di luar kemungkinan yang mungkin bisa kita prediksikan, sesuatu yang menuntut kita untuk menafsirkan secara baru terus-menerus atau sebuah jalan buntu yang membuat kita terbentur pada batas-batas ketidakberdayaan kita.
Dengan demikian terjadilah suatu paradoks bahwa ada pengalaman yang merupakan sesuatu yang mungkin kita alami, namun di lain pihak keadilan hanya akan menjadi mungkin bila ada pengalaman tentang yang tidak mungkin, pengalaman yang di dalamnya orang terbentur oleh batas-batas dari hal yang bisa dialami, yaitu non-road.

Aporia dalam konteks relasi antara Keadilan dan Hukum
Derrida mengatakan bahwa keadilan tidak identik dengan hukum. Hukum bukanlah keadilan. Hukum adalah unsur perhitungan, adil bahwa karena ada hukum. Namun, keadilan tak dapat diperhitungkan, keadilan meminta kita untuk menghitung tanpa melakukan perhitungan (incalculable); dan pengalaman aporia adalah pengalaman dari keadilan yang merupakan momen atau peristiwa di mana keputusan yang adil atau yang tidak adil tak pernah dijamin oleh sebuah aturan.

”Law (droit) is not justice. Law is the element of calculation, and it is just that there be law, but justice is incalculable, it requires us to calculate with the incalculable; and the aporetic experience are the experiences, as improbable as they are necessary, of justice, that it to say of moments in which the decision between just and unjust is never insured by a rule.”

Untuk lebih jelas memahami posisi Derrida dalam menerangkan aporia dari keadilan, ia memberi beberapa contoh yang—menurut Derrida—seharusnya akan memperjelas atau barangkali menghasilkan sebuah kesulitan dan perbedaan yang tidak tetap antara keadilan dan hukum (droit), antara keadilan (yang tak terbatas, tak dapat dikalkulasi, pemberontakan terhadap aturan dan jauh dari simetri, heterogen) dan praktek keadilan sebagai hukum sebagai legitimasi atau legalitas, sebagai yang dapat distabilisasi dan dikalkulasi. Dalam beberapa contoh yang akan ia berikan, Derrida ingin mencoba membandingkan konsep keadilan—yang ia coba bedakan dari hukum—dengan konsep Levinas karena ketidakterbatasannya dan karena relasi yang heterogenis kepada yang lain (others), kepada wajah dari yang lain yang menggerakkannya yang ketidakterbatasannya tak dapat ia tematisasikan.

Aporia pertama: épokhè of the rule.
Yang dimaksud dengan épokhè dalam bahasa Yunani adalah sebuah perhentian atau semacam pemogokan, penundaan pengadilan, atau dalam bahasa Perancis (to epechein) berarti menunda (to hold back). Namun, Derrida hendak menjelaskan istilah itu secara lain, berkaitan dengan aturan.
Menurutnya, sesuatu putusan atau tindakan atau sikap atau pikiran dianggap adil atau tidak adil dan syarat untuk mengalami keadilan, bila seseorang bebas dan bertanggungjawab atas semua itu (putusan, tindakan, sikap, pikiran). Namun, kebebasan atau putusan dari yang adil ini harus mengikuti sebuah hukum atau sebuah aturan. Oleh karena itu, putusan itu harus memiliki daya untuk dapat dikalkulasi atau diperhitungkan. Bila tindakan itu mengaplikasikan sebuah aturan, sebuah hukum yang dapat dikalkulasi, boleh kita mengatakan bahwa putusan itu sah atau legal, tetapi salah bila kita mengatakan bahwa putusan itu adil.
Kemudian, Derrida mencoba memberikan sebuah contoh untuk menjelaskan lebih lanjut makna dari aporia pertama itu, yaitu dalam putusan pengadilan. Menurutnya, putusan seorang hakim dalam sebuah pengadilan dikatakan adil apabila putusan itu tidak hanya harus mengikuti sebuah aturan hukum atau hukum umum, melainkan harus mengasumsikannya, mengkaitkan nilai-nilainya dengan membangun kembali sebuah tindakan interpretasi seolah-olah hukum itu tidak ada sebelumnya, seolah-olah hakim sendiri menciptakan hukum di setiap kasus dengan sebuah ”fresh judment”, sebuah pengadilan yang sama sekali baru.

“To be just, the decision of a judge, for example, must not only follow a rule of law or a general law but must also assume it, approve it, confirm its value, by a reinstituting act of interpretation, as if ultimately nothing previously existed of the law, as if the judge himself invented the law in every case. No exixtence of justice as law can be just unless there is a “fresh judgement”.

Agar sebuah putusan menjadi adil dan bertanggungjawab, putusan itu harus memelihara hukum dan juga menghancurkannya atau menundanya untuk kemudian menciptakannya kembali di setiap kasus karena setiap kasus adalah yang lain (other). Setiap putusan adalah berbeda dan meminta sebuah interpretasi yang unik secara mutlak, di mana tidak ada jaminan yang mutlak dari aturan.
Jadi, kita tidak bisa mengatakan suatu putusan hakim dalam pengadilan itu adil bila dia mendasarkan putusannya di atas hukum atau aturan tertentu atau bila dia menunda keputusan-keputusannya, berhenti sejenak di hadapan yang takdapatdiputuskan (undecidable) atau jika dia melakukan improvisasi dan meninggalkan semua aturan, semua prinsip. Dengan kata lain, putusan yang adil itu berada pada tegangan antara mengikuti hukum atau aturan dan menidak pada aturan-aturan hukum, dengan menunda putusan itu hingga harus menciptakannya kembali secara baru (fresh).

Aporia Kedua: the ghost of the undecidable.
Menurut Derrida, takdapatdiputuskan (the undecible) ini bukanlah tegangan antara dua putusan , tetapi merupakan pengalaman (walau heterogen, asing terhadap susunan aturan yang dapat dikalkulasi) yang memberikan dirinya pada putusan yang tidak mungkin, sementara masih mendasarkan diri pada aturan dan hukum. Sebuah putusan yang tidak melalui pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan (the ordeal of the undecidable) tidak akan menjadi sebuah putusan bebas, putusan itu hanya menjadi aplikasi dari sebuah program yang dapat dikalkulasi. Boleh jadi putusan itu legal, tetapi tidak adil. Sekali pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan itu berlalu (jika hal itu mungkin), putusan akan kembali mengikuti sebuah aturan. Putusan itu tidak lagi hadir saat ini (presently just) atau adil sepenuhnya (fully just). Juga jika putusan itu dijamin oleh aturan atau hukum, putusan itu akan direduksi kepada kalkulasi dan kita tak dapat menyebutnya adil.
Lalu bagaimana menjaga agar sebuah putusan adil itu tidak tereduksi ke dalam sebuah kalkulasi atau perhitungan? Derrida melanjutkan bahwa pengalaman menyakitkan dari yang takdapatdiputuskan itu tak pernah berlalu atau terlewatkan. Pengalaman itu bukanlah sebuah peristiwa yang mengatasi atau mengarahkan dalam putusan. Yang takdapatdiputuskan itu tetaplah tertangkap setidaknya sebagai sebuah hantu di setiap keputusan, setiap peristiwa dari putusan. Kehadirannya sebagai sebuah hantu akan mendekonstruksi jaminan apa pun dari kehadiran yang akan meyakinkan kita akan keadilan dari sebuah putusan.

Aporia Ketiga: the urgency that obstruct the horizon of knowledge.
Horizon diartikan oleh derrida sebagai baik permulaan dan batas yang menentukan sebuah kemajuan yang tak terbatas maupun sebuah saat menunggu. Namun, bagi Derrida, keadilan itu tidak menunggu. Sebuah putusan yang adil selalu meminta dengan segera, ”right away”. Keadilan itu sendiri tidak menyediakan informasi yang tak terbatas dan pengetahuan yang tak terbatas dari kondisi, aturan-aturan atau imperatif-imperatif hipotetis yang dapat mengadilinya. Peristiwa putusan selalu tetap berada dalam sebuah peristiwa mendesak yang terbatas. Sejauh tidak harus menjadi konsekuensi dari pengetahuan teoritis atau historis, putusan instan adalah sebuah kegilaan (madness). Bahkan jika waktu dan kebijaksanaan, kesabaran dari pengetahuan dan keunggulan kondisi-kondisi secara hipotetis tidak terbatas, putusan secara struktural terbatas, bagaimanappun terlambatnya ia datang, sebuah putusan dari kemendesakkan dan ketergesa-gesaan, bertindak di malam tanpa pengetahuan dan tanpa aturan.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa keadilan tetaplah dimensi dari peristiwa-peristiwa yang taktereduksi yang datang (to come). Keadilan akan selalu memiliki momen to come, a venir (yang datang). Barangkali karena keadilan sejauh ini bukan hanya sebuah konsep yuridis atau politis, ia membuka bagi sebuah perubahan, penemuan atau penciptaan kembali hukum dan politik. Ada sebuah à venir bagi keadilan. Keadilan sebagai pengalaman dari yang lain secara mutlak merupakan yang takdapathadir (unpresentable), namun merupakan kesempatan dari peristiwa dan kondisi dari sejarah.

Kesimpulan
Keadilan tidak dapat sepenuhnya dialami karena keadilan berangkat dari pengalaman yang tidak mungkin, yaitu aporia. Keadilan hanya menjadi mungkin bila pengalaman yang tidak mungkin itu menjadi dasar sebuah putusan yang adil. Setiap putusan yang adil tidak akan sepenuhnya tercapai bila hanya mendasarkan diri pada aturan-aturan atau hukum-hukum tertentu karena putusan itu hanya akan menjadi aplikasi program belaka. Namun, putusan itu juga tidak bisa dikatakan adil bila tidak mengacu sama sekali pada aturan-aturan tertentu atau sesuatu di luar aturan-aturan tersebut. Putusan itu menjadi adil bila momen pengambilannya dalam keadaan “fresh judgement” atau dalam keadaan yang sama sekali baru. Dengan kata lain, putusan itu diambil berdasarkan penafsiran terus-menerus secara baru terhadap setiap kasus yang terjadi karena setiap kasus adalah unik, singular, dan mutlak. Ia seperti momen pembentukan undang-undang baru atau pemogokan umum. Setiap kasus menghadirkan yang lain secara mutlak yang kedatangannya tidak dapat diprediksikan sebelumnya.
Setiap pemastian atau penjaminan keadilan atau klaim keadilan atas sebuah putusan selalu akan dibayangi hantu dari takdapatdiputuskan. Artinya, di dalam setiap putusan mengandung hal yang takdapatdiputuskan. takdapatdiputuskan itu akan selalu menggoyang atau merongrong setiap pemastian keadilan atas sebuah putusan karena keadilan adalah takdapatdiputuskan itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada satu putusan, tindakan, sikap, pemikiran yang dapat dianggap adil karena keadilan adalah pengalaman dari yang tidak mungkin.
Lalu apakah kita harus menunggu? Jika iya sampai kapan? Bagi Derrida keadilan tidak menunggu. Ia harus segera diputuskan. Putusan itu bersifat right away dengan tergesa-gesa sehingga selain irasional karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa itu adil, ia juga merupakan sebuah kegilaan karena berani melompat dari keterbatasan pengetahuannya ke dalam ketidakpastian akan masa depan yang bisa saja memunculkan hal-hal yang tidak diprediksikan sebelumnya. Dengan demikian, keadilan akan selalu memiliki to come, à venir dari yang lain (other).

Catatan Kritis
Keadilan, menurut Derrida, menuntut suatu sikap, tindakan, pemikiran, dan putusan yang harus terus-menerus merekontekstualisasi setiap kasus yang unik, singular, dan takterprediksikan Oleh karena itu, agar panggilan pada keadilan terus-menerus bergaung dalam kesadaran kita harus ada kehendak yang kuat, hasrat yang menyala-nyala untuk terus berani memasuki sebuah wilayah yang taktereduksi oleh prediksi atau perkiraan-perkiraan kita, sebuah wilayah yang menawarkan pengalaman tentang yang tidak mungkin. Dengan demikian, proyek keadilan bagi Derrida tidak akan pernah selesai karena ia sesuatu yang takdapatdiputuskan itu sendiri, sesuatu yang to come, à venir sehingga bisa menjadi sebuah ketidakpastian bagi orang yang mengharapkan sebuah kepastian. Di sinilah letak kebaruan dari pemikiran Derrida yaitu ada dalam etos untuk terus berpikir tanpa memikirkan putusan.
Dalam karyanya ini, Derrida tidak menawarkan proyek politis yang pasti dan jelas karena pemikirannya tentang keadilan selalu berkelit di antara yang sesuai dengan hukum dan di luar tatanan hukum. Pemikirannya tentang keadilan menawarkan kekuatan kreatif interpretatif yang provokatif. Penekanan terhadap perlakuan yang adil terhadap keunikan dan kekhasan setiap pribadi atau kelompok sosial, terutama yang marjinal sangat kuat.

Sumber Acuan
Derrida, Jacques, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”.
Hardiman, E. Budi, 2007, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius.





Feminisme Islam: Sebuah Usaha Revivalisasi Islam?

Vico SJ

Pendahuluan
Isu gender sudah bukan menjadi berita yang mengejutkan lagi. Isu tersebut merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum ada penyelesaian yang jitu. Kaum perempuan masih menjadi nomor dua setelah laki-laki. Namun, bukan berarti tidak ada perkembangan yang berarti. Pen-subordinasian terhadap kaum perempuan sudah disadari oleh kaum perempuan sendiri sebagai sebuah diskriminasi terhadap mereka. Oleh karena itu gerakan feminisme muncul sebagai reaksi atas ketidakadilan itu di mana hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dibatasi.
Karena feminisme Islam tidak dapat dilepaskan dari teks-teks keagamaan yang sangat menentukan kesadaran masyarakat, berbagai usaha untuk kembali kepada sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadis) untuk menanggapi persoalan tersebut telah dicoba. Namun, usaha kembali tersebut harus berhadapan dengan dua persoalan, pertama ada kontradiksi di dalam teks tersebut yang di sisi satu menyuarakan kesetaraan gender, di sisi lain menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Kedua, teks-teks tersebut perlu ditafsirkan secara baru bagi masyarakat modern saat ini karena teks-teks tersebut merupakan refleksi-refleksi atas situasi sosial budaya di mana Al-Qur'an diturunkan. Artinya, refleksi-refleksi dalam Al-Qur'an bisa dikatakan merupakan produk dari zaman itu. Persoalannya adalah bagaimana mengkaitkan antara Al-Qur'an yang diturunkan pada zaman tertentu dengan budaya masyarakat modern sekarang, khususnya perlakuan terhadap perempuan yang tentu saja sangat berbeda dengan konteks zaman itu?
Makalah pendek ini akan mencoba mengulas dua persoalan itu dengan menguraikan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teks-teks Al-Qur'an dan mengkaitkan teks-teks tersebut dengan situasi masyarakat modern, khususnya di Indonesia. Metode yang penulis lakukan adalah studi literatur dari berbagai sumber yang mungkin bisa memperkaya kasanah tulisan ini.

Bias Gender dalam Al-Qur'an
Telah diakui bahwa Islam membawa banyak perubahan sejak kehadirannya di tanah Arab yang waktu itu masih dikuasai oleh tradisi Jahiliyah. Menurut Nurul Agustina, dasar ikatan pernikahan yang semula adalah kepemilikan diganti menjadi ikatan kontraktual. Perempuan menjadi berhak menyatakan keberatan terhadap calon suami yang disodorkan walinya. Contoh lain adalah dalam salah satu hadis Nabi Muhammad saw yang mengatakan bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Dalam surat al-Hujrat (Al-Qur'an 49:13) disebutkan bahwa Allah sudah menciptakan pria dan wanita dalam suku dan bangsa yang berbeda-beda sehingga mereka satu sama lain dapat saling mengenal. Juga disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sejajar di hadapan Allah. Dengan demikian, Allah tidak membeda-bedakan laki-laki dan wanita. Di hadapan-Nya semua sama jika taqwa melakukan apa yang diperintahkan-Nya
Namun, kesulitan muncul—menurut M. Atho Mudzhar—ketika ada beberapa hadis yang justru mengatakan bahwa suatu masyarakat tidak akan pernah mencapai posisi puncak selama dipimpin oleh wanita. Hadis ini oleh beberapa kalangan dinilai sangat merendahkan derajat perempuan. Demikian juga terdapat ungkapan-ungkapan kontradiktif dalam Al-Qur'an yang diungkapkan Mudzhar, seperti misal dalam surat al-Nissa dipahami bahwa Siti Hawa, istri Nabi Adam diciptakan dari tulang rusuk yang menandakan sifat dasar wanita yang lebih rendah daripada pria. Dalam surat yang sama disebutkan bahwa pria adalah pemimpin bagi wanita. Hal ini menandakan bahwa laki-laki kedudukannya lebih tinggi dari wanita. Dalam surat al-Baqarah disebutkan pula bahwa kesaksian wanita dalam perjanjian utang piutang separo dari kesaksian pria.
Setelah sejenak melihat beberapa contoh kontradiksi yang ada, lalu bagaimana menentukan standar doktrin Islam yang mapan? Mudzhar dengan menarik membuat sebuah kesimpulan bahwa dalam sepuluh tahun pertama kelahiran Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat besarnya, kaum perempuan nampak menikmati kebebasan yang besar dalam menjalani kehidupan mereka. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama setelah munculnya para penafsir Al-Qur'an yang memainkan peranan cukup besar dalam membentuk tafsiran atas kemauan dan perintah Tuhan. Para penafsir ini menurut Mudzhar meskipun memiliki kedekatan dengan Nabi, namun berasal dari kelas atau segmen masyarakat tertentu yang disertai dengan budaya patriarki yang kuat.
Di sini nampak bahwa penafsiran teks-teks Al-Qur’an tetap diwarnai oleh salah satu budaya yang masih menganggap perempuan itu termasuk kelas dua. Menurut saya, Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diperuntukkan bagi umat-Nya saat itu adalah suci dan baik, terutama untuk mengangkat kaum perempuan yang mengalami masa-masa mengenaskan pada masa sebelum Islam ke taraf yang lebih baik. Persoalannya adalah manusia-manusia penafsir yang kebetulan dekat dengan Nabi itu memiliki kepentingan sendiri dalam menafsirkan keinginan Allah dalam Al-Qur’an. Jadi, untuk sungguh bebas nilai terhadap Al-Qur’an amat tidak mudah dilakukan karena terkait dengan nilai-nilai atau budaya dan tradisi yang sudah melekat dalam diri seseorang.
Saya tertarik dengan apa yang dikatakan Agustina sehubungan dengan urusan tafsir-menafsir teks Al-Qur’an ini. Beliau mengatakan bahwa tafsir harus dibedakan dari agama. Agama bersifat mutlak dan berada di dataran abstrak, sementara tafsir—sesuai dengan penafsirnya—bersifat relatif. Oleh karena itu, menurutnya, ketaksaan bahasa Al-Qur’an justru sebenarnya malah membuka pintu dialog dan penafsiran kembali selalu terbuka. Namun, saya mencoba mengkritisi pendapat Agustina bahwa ada persoalan di situ, yaitu sejauh mana tafsiran-tafsiran itu diterima oleh kalangan Kaum Muslim yang lebih luas. Bukankah tipologi masyarakat kita itu sangat patriariki dan paternal. Oleh karena itu, tafsiran itu pasti tidak bisa lepas dari bahasa-bahasa paternalistik yang cenderung memihak pada kaum laki-laki saja.
Lebih jauh lagi saya tertarik dengan apa yang disampaikan Prof. Dr. Nasarudin Umar ketika beliau diwawancarai oleh Nong Darol Mahmada dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang fakta adanya bias gender dalam kitab-kitab suci agama-agama lain, seperti Bible, kitab Konghucu, Budha, bahkan kitab Talmud. Beliau cukup heran dengan fenomena yang sama itu. Lalu beliau mencoba meneliti sumber penyebabnya. Menurut beliau, ada dua unsur penting yang turut membentuk wacana keagamaan yang bias gender tentang perempuan tersebut, yakni faktor teologi dan mitos. Maksudnya adalah bahwa terkadang dasar pandangan tentang perempuan itu mitos, namun dianggap kitab suci. Oleh karena itu, dalam bukunya berjudul Teologi Perempuan: Antara Mitos dan Kitab Suci, beliau banyak melakukan klarifikasi yang mana kitab suci yang mana mitos, yang mana budaya Arab, yang mana doktrin Islam.
Jika demikian, apa yang bisa dilakukan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi arus penafsiran yang sarat dengan budaya patriarki itu? Gerakan feminisme mungkin bisa menjadi harapan bagi kaum perempuan Islam untuk menghidupkan dan memberdayakan kembali hak-haknya sebagai manusia yang setara dengan kaum laki-laki

Feminisme Islam: Salah Satu Usaha Revivalisasi Islam
Lalu apa sebenarnya feminisme itu? Agustina mendefinisikan feminisme sebagai kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan yuang disebabkan oleh adanya sistem sosial yang tidak adil, yakni perbedaan jenis kelamin, dominasi laki-laki, dan sistem patriarkat. Gerakan feminisme tidak berhenti pada kesadaran, melainkan meliputi tindakan konkret untuk mencapai kesetaraan, harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih dan mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Selain itu, menurut Agustina, feminisme bertujuan untuk membangun tatanan yang masyarakat yang adil baik bagi perempuan maupun laki-laki, yakni masyarakat yang bebas dari penindasan dan diskriminasi berdasarkan kelas, jenis kelamin, kasta, dan suku. Feminisme hendak menyadarkan kaum perempuan akan hak-hak mereka, segala bentuk penindasan yang mereka alami, opresi, eksploitasi dan subordinasi.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, ada fenomena menarik tentang gerakan feminisme di Barat. Memang awalnya tujuan gerakan feminisme Islam senada dengan gerakan feminisme di barat. Namun, muncul feminis-feminis radikal yang mengutuk sistem partriaki, mencemooh institusi perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks yang justru menodai reputasi gerakan tersebut. Bagi feminis radikal, tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy.
Namun, gerakan ini akhirnya mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak karena dituduh merusak institusi keluarga, mempengaruhi banyak wanita untuk mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan. Dan karena terlalu radikal melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan itu berangsur-angsur surut dan tinggal wacana.
Gerakan feminisme radikal ini berpengaruh juga di kalangan Muslim, misalnya Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis the Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for The Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat, Zainah Anwar dari Sisters in Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama adalah dampak dari gerakan feminisme radikal di Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam.
Oleh karena itu, sebaiknya gerakan feminisme Islam tetap bertitik tolak pada ajaran-ajaran inti Islam yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah demi pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanitanya saja. Gerakan feminisme Islam yang sehat adalah berasaskan Islami dengan bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan agenda mereka. Jangan sampai terperangkap lagi ke dalam dualisme yang bersifat dikotomis.

Feminisasi di Indonesia
Ada upaya untuk melindungi kaum perempuan dari ketidakadilan hukum di Indonesia. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, namun masih gamang dalam melindungi hak-hak kaum perempuan dalam hukum-hukumnya. Ada kesan kuat, reformasi hukum untuk melindungi kaum perempuan masih suram, artinya masih ada kelompok konservatif yang ingin secara gigih mempertahankan doktrin Islam yang mapan tentang wanita.
Munawir Sadzali di tahun 80-an pernah berargumen bahwa bagian separo anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dalam hal warisan bukanlah peraturan yang final, namun lebih merupakan masa transisi, atau peraturan transisi. Kemudian Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU, ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departeman Agama RI mengeluarkan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah digagas sejak tahun 1985. Meskipun draft itu di saat bersamaan menuai kecaman keras dari kelompok konservatif yang memandang isi LCD itu kontroversial, meresahkan, dan mungkin menghina otoritas KHI, daya guncang yang dihasilkan cukup besar. Alasannya adalah bahwa draft itu tidak berpijak di tanah kosong atau hanya dalam ranah abstrak saja, melainkan berpijak pada realitas keseharian perempuan yang diakibatkan oleh hukum keluarga di Indonesia yang masih ”memusuhi” perempuan.
Tantangan yang dihadapi kaum feminis di Indonesia menurut Agustina adalah bagaimana mengolah dan mempertahankan isu kesetaraan gender supaya tidak ”fades away” alias surut dan perlahan-lahan menghilang. Selanjutnya bagaimana isu kesetaraan gender ini juga dipahami oleh kaum awam yang merupakan anggota terbesar masyarakat Indonesia.

Kesimpulan
Kembali pada judul makalah ini, sungguhkah feminisme Islam menjadi salah satu daya kekuatan untuk merevivalisasi Islam sehingga isu gender semakin bisa diatasi? Jawaban saya adalah bisa apabila ada kesepahaman di antara umat Islam sendiri mengenai pentingnya kesetaraan itu dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Persoalannya adalah tidak mudah membangun kesepahaman itu mengingat dalam tubuh Islam sendiri terdiri dari berbagai macam aliran yang masing-masing mengusung sendiri tafsiran-tafsiran mereka terhadap Al-Qur’an. Daya tafsir tentu saja mempengaruhi cara pandang dan cara bertindak. Inilah yang menjadikan Islam itu warna-warni. Seandainya ada satu badan yang resmi untuk melakukan kajian keIslaman, tentu tetap besar kemungkinan akan tergelincir pada kekuasaan atau klaim kebenaran atas tafsiran Al-Qur’an bila ada tafsiran lain.
Hal yang paling dirugikan tentu saja kaum awam yang tidak mengerti sama sekali tentang bagaimana melakukan tafsiran secara benar atas Al-Qur’an, terutama kaum perempuan. Situasi di Indonesia cukup beragam dan kompleks tidak seperti di negara-negara Arab. Ada beragam budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang melingkupi setiap kaum Muslim yang tersebar di seantero nusantara ini. Tentu akan sulit apabila menerapkan satu tafsiran atas kutipan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an pada kasus per kasus karena setiap kasus itu unik, singular, dan membutuhkan suatu interpretasi dan rekontekstualisasi yang segar untuk mampu dengan jernih melihatnya.
Mengenai isu kontradiktif dalam teks-teks Al-Qur’an, ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa kontradiksi itu demikian jelas, namun ada pihak yang mengatakan bahwa tidak ada yang kontradiktif tentang isu gender dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, penting sekali peran ilmu kajian historis sosiologis dan hermeneutika untuk membantu melakukan interpretasi baru apa-apa yang dahulu terjadi di jaman Nabi Muhammad dengan mengkaitkannya dengan situasi masyarakat Indonesia.

Sumber Acuan:
Agustina, Nurul. "Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society" dalam Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer oleh Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor). Jakarta: Paramadina. 2005.

Hanafi, Hasan dkk. 2007. Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (editor). 2005. Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina.

Mudzhar, M. Atho. "Status Wanita dalam Islam dan Masyarakat Muslim", dalam Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal oleh Hasan Hanafi dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Internet:
http://paramadina.wordpress.com/2007/03/16/semua-kitab-suci-bias-gender pada tanggal 25 Mei 2008, jam 22.00.
http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com pada tanggal 25 Mei 2008, jam 23. 08.