Oleh Vico Christiawan
“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama. Mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.” (kutipan film Tanda Tanya)
Inilah kalimat-kalimat pembuka yang mengantar film Tanda Tanya besutan sutradara Hanung Bramantyo. Film yang dirilis sejak tanggal 7 April 2011 yang lalu ini telah menimbulkan reaksi keras dari lembaga-lembaga keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Front Pembela Islam (FPI). Tuduhan yang dialamatkan pada film ini adalah adanya muatan pluralisme yang telah difatwa haram oleh MUI sejak tahun 2005 yang lalu (Republika.co.id/07/04/2011). Mengapa haram? Menurut fatwa tersebut, pluralisme agama mendangkalkan keyakinan aqidah karena menganggap semua agama sama saja. Oleh karena itu, KH. A. Cholil Ridwan, yang juga Ketua MUI bidang budaya, mengatakan bahwa film ini sangat sesat dan menyesatkan. Hal senada juga dilayangkan koordinator aksi FPI Jawa Bawat, Abdul Kohar. Ia mengatakan bahwa film ini telah menciderai umat Islam dan mengancam akan men-sweeping bioskop-bioskop yang memainkan film ini (Mediaindonesia.com/10/05/2011).
Bagi Hanung, film yang berdurasi 106 menit ini adalah sebuah film yang jujur mengungkapkan realitas masyarakat Indonesia yang multietnik, multikultur, dan multireligi. Ia ingin mengembalikan krisis toleransi yang ia tangkap kepada semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Mediaindonesia.com/04/04/2011). Selain keberagaman yang ditonjolkan, film itu juga menunjukkan bahwa pilihan akan suatu keyakinan tertentu adalah kebebasan mutlak pribadi. Dengan kata lain, agama dimasukkan ke dalam ruang privat ketika menyentuh dimensi eksistensial seseorang berhadapan dengan realitas hidupnya. Keberagaman dan kebebasan ini ditampilkan dalam tokoh Tan Kat Sun (Henky Solaiman), pemeluk Konghucu/Buddha dan pemilik restoran masakan Cina. Soleh (Reza Rahadian), seorang muslim dan pengangguran yang rajin menjalankan ibadah. Menuk (Revalina S Temat), istri Soleh, yang berjilbab bekerja di restoran Tan Kat Sun. Rika (Endhita), janda berputra tunggal, yang belajar agama Katolik dan ingin dibaptis atas pilihannya sendiri. Meski ingin dibabtis Katolik, ia tetap mendorong putranya memperdalam agama Islam di mesjid setempat. Surya (Agus Kuncoro), yang bercita-cita menjadi aktor hebat tapi selalu mendapat peran figuran. Melalui berbagai latar belakang dari tokoh-tokoh ini, Hanung hendak mengangkat realitas masyarakat Indonesia yang beragam.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa keberagaman yang hendak ditonjolkan dalam film ini menuai kritik keras dari lembaga-lembaga Islam? Mengapa muncul kekuatiran terjadinya pemurtadan agama dari kalangan elite agama Islam? Mengapa pilihan Rika untuk menjadi Katolik dipersoalkan? Mengapa pilihan Hendra untuk memeluk agama Islam di akhir film tidak dipersoalkan? Mengapa pilihan sikap Tan Kat Sun untuk memisahkan peralatan masaknya dan meliburkan restorannya pada hari Idul Fitri tidak dipuji? Bukankah film ini sesungguhnya hendak mengajak penonton untuk menghargai dan menghormati perbedaan dan keragaman yang sesungguhnya nyata dialami masyarakat Indonesia? Atau, adakah yang hilang dari masyarakat yang rupa-rupanya telah ditangkap Hanung untuk diangkat dalam film ini? Apakah yang hilang itu? Mengapa perlu diangkat? Untuk tujuan apa? Dalam skala yang lebih luas, apakah benar bahwa film-film yang telah dibuat, baik fiksi maupun non-fiksi, baik Hollywood maupun non-Hollywood, merupakan usaha mengangkat apa yang hilang dari apa yang seharusnya ada dalam masyarakat? Lalu mengapa yang hilang itu seharusnya berlaku dan ada dalam masyarakat? Apakah ada gejala penolakan terhadap realitas? Atau apakah yang hilang itulah yang sesungguhnya yang nyata? Bisa dikatakan bahwa justru film Tanda Tanya itulah yang sesungguhnya nyata secara jujur mengungkapkan realitas yang ada dalam masyarakat. Kalau demikian, apakah bisa dikatakan bahwa realitas yang ada sekarang dalam masyarakat ini adalah realitas semu?
Berangkat dari film Tanda Tanya, penulis merasa bahwa ada persoalan-persoalan yang menarik untuk dikaji, yaitu pertama soal munculnya kekuatiran atas dampak yang ditimbulkan dari film ini bagi suatu masyarakat tertentu, katakanlah masyarakat Islam. Mengapa ini muncul? Bukankah film adalah sekedar alat yang dipakai seseorang untuk mengampaikan gagasan atau idenya tentang suatu hal yang seharusnya berlaku dalam masyarakat? Apa yang sebenarnya bisa ditimbulkan dari sebuah film Tanda Tanya tersebut? Kedua, nampak bahwa film memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi dan menggerakkan orang untuk berbuat seturut apa yang menjadi pesan dalam film tersebut. Setidaknya-tidaknya, dengan menonton sebuah film, orang diajak untuk melihat kembali perjalanan hidupnya atau ditantang untuk mempersiapkan diri bila suatu saat mengalami peristiwa yang sama. Dengan kata lain, sebuah film mampu memancing munculnya sebuah refleksi pribadi dan kolektif. Ketiga, film ini hendak mengajak kita untuk melihat kembali apa sebenarnya identitas bangsa Indonesia berhadapan dengan pengaruh globalisasi yang sedang terjadi. Sudah kita ketahui bersama bahwa macam-macam film dari luar membanjiri dunia perfilman Indonesia. Setiap film yang berasal dari luar selalu menawarkan sebuah budaya baru. Kalau boleh penulis sebut: sebuah ekspansi kultural. Sebagai contoh, Priptu Norman Kamaru, seorang polisi anggota Brimob Polda Gorontalo telah dengan fasih menyanyikan lagu berjudul Chaiyya Chaiyya yang merupakan soundtrack asli dari film India berjudul Dil Se. Bahkan ia menggemari lagu-lagu India sejak di bangku SMP. Contoh lain adalah pentas wayang modern bertajuk “Jabang Tetuko” pada tanggal 19 Maret 2011 yang lalu. Sang sutradara, Mirwan Suwarso, tidak tanggung-tanggung menggaet penata musik film Hollywood The Surrogates, Deane Odgen dan penata laga film Transformer 3, Transporter 2, dan Bad Boys 2 Benjamin Rowe agar pertunjukkan ‘Jabang Tetuko’ ini seseru aksi Superman (DetikHot, 14/02/2011). Lalu apakah pementasan wayang orang Bharata di kawasan Senen, Jakarta Pusat setiap malam minggu tidak berkelas atau seru? Di sini nampak bahwa film-film Hollywood sangat memengaruhi orang Indonesia (baca: produser dan sutradara film) untuk menerapkan kriteria sebuah film yang berkelas.
Film: Hadirkan “Yang Absen” dari Realitas
Kecemasan para elite agamawan Islam sebenarnya sungguh beralasan. Pasalnya, sebuah film memang memiliki potensi kekuatan untuk mengubah atau menciptakan perubahan dalam masyarakat. Bisa dibayangkan ketika tokoh pemeran Fahri, yaitu Fedi Nuril, dalam film Ayat-Ayat Cinta yang meledak di tahun 2008 begitu digandrungi para ibu-ibu, bahkan ada yang mau menjadi istri ketiga Fedi atau ingin menjadikan Fedi menantunya (Kompas, 12/04/2008). Padahal figur Fedi yang nyata dengan Fahri sungguh berbeda. Fedi hanya memerankan Fahri dalam layar lebar saja, dengan karakter sesuai novelnya. Di sini nampak bahwa penonton hidup dalam imajinasi atau gagasan yang ditawarkan film tersebut. Tidak hanya di dalam gedung bioskop saja, melainkan setelah keluar dalam gedung bioskop. Tidak hanya penonton, penulis pun ketika menonton adegan film aksi dari aktor Cina, yaitu Jet Li dalam film the Hero (2002), juga terinspirasi dan digerakkan oleh gagasan untuk meniru heroisme Si Nameless (Jet Li). Ia mau berkorban demi kepentingan Kaisar Qin (221 BCE) untuk menyatukan seluruh daratan Cina dalam hidup sehari-hari. Setidaknya, penulis mempertanyakan diri sendiri apakah penulis sudah bertindak heroik seperti Si Nameless, yaitu membaktikan diri lebih sungguh bagi kepentingan komunitas, dalam realitas sehari-hari.
Fenomena tersebut sebenarnya sudah ditangkap oleh seorang filsuf Perancis, Jean Baudrillard (1929–2007), dalam bukunya berjudul Simulations (1983). Di situ ia mengungkapkan bahwa masyarakat Barat sekarang adalah masyarakat simulasi. Artinya simulasi menjadi penanda dominan dari sebuah realitas. Istilah simulasi ini sendiri berasal dari bahasa Latin, simulare, yang berarti meniru. Dalam bahasa Inggris modern, istilah ini mengandung arti kepalsuan (falseness) dan seolah-olah (pretence). Baru-baru ini, istilah ini diartikan sebagai sebuah penciptaan sebuah model analog atau matematis dari sesuatu untuk dipelajari caranya bekerja secara artifisial atau abstrak. Dalam dunia media, seperti fotografi, film, TV, rekaman suara, dan media digital, simulasi ini mengacu pada sebuah pengalaman audio-visual yang meniru namun tidak memiliki kaitan sama sekali dengan realitas yang digambarkannya, sebagaimana dalam sebuah simulator penerbangan yang digunakan untuk melatih pilot dan dalam video game. Dengan kata lain, sebuah tiruan bukan melulu tidak dapat dibedakan dengan apa yang ditirunya, melainkan perbedaan antara tiruan dan yang ditiru itu lenyap. Keadaan inilah yang disebut oleh Baudrillard sebagai simulacrum, yaitu sebuah tiruan tanpa sama sekali merujuk pada apa yang ditirunya (baca: realitas sesungguhnya). Akhirnya sebuah dunia yang terdiri dari hanya simulasi-simulasi hanyalah sebuah tiruan dari tiruan. Dengan demikian, dunia semacam itu kehilangan acuan kepada keaslian dan kebenaran.
Dalam esainya berjudul “Simulacra and Simulations”, Baudrillard menganalogikan simulasi dengan sebuah peta detail buatan seorang kartografer kerajaan yang mencakup seluruh wilayah kerajaan. Bagi Baudrillard, dalam simulasi, wilayah tersebut tidak lagi mendahului peta atau pun mempertahankannya. Sebaliknya, petalah yang mendahului wilayah. Peta juga yang akhirnya melahirkan sebuah wilayah. Jika kisah itu dihidupkan saat ini, wilayah itu dengan sendirinya akan menghilang di balik peta. Namun, lanjut Baudrillard, persoalan saat ini bukan lagi tentang peta atau wilayah, melainkan lenyapnya perbedaan antara mereka. Tidak ada lagi cermin pengada maupun penampakannya. Yang ada adalah miniaturisasi genetik yang merupakan dimensi dari simulasi. Yang nyata dihasilkan dari unit-unit miniatur, acuan-acuan, simpanan ingatan dan model-model. Dengan hal semacam ini, yang nyata dapat diciptakan lagi dan lagi hingga jumlah dan waktunya tak terbatas. Inilah yang akhirnya Baudrillard sebut sebagai hiperrealitas, yaitu sebuah hasil dari sintesa dari pelbagai model yang digabung dalam sebuah hiperruang tanpa acuan. Bagi Baudrillard, hiperrealitas inilah yang nyata karena realitas dunia saat ini memang sesungguhnya diciptakan dari hasil sintesa pelbagai model secara berulang-ulang sehingga melahirkan sebuah realitas yang baru (Baudrillard, 1983:183).
Lanjut Baudrillard, tidak meniru (to dissimulate) berarti berpura-pura tidak memiliki yang orang lain miliki. Hal ini menyiratkan kehadiran. Sementara itu, meniru (to simulate) berarti berpura-pura memiliki apa yang orang lain tidak miliki. Hal ini menyiratkan ketidakhadiran. Persoalannya, meniru tidak sekadar berpura-pura, misalnya seorang yang berpura-pura sakit dapat pergi tidur dan berpura-pura bahwa dia sedang sakit. Di sini ia menciptakan gejala sakit pada dirinya. Dengan demikian, simulasi mengancam perbedaan antara “benar” dan “palsu”, antara “nyata” dan “tidak nyata”. Bahkan simulasi membelokkan yang nyata. Dengan kata lain, yang tidak nyata ini memiliki kemampuan membunuh yang nyata. Inilah yang membedakannya dengan representasi. Representasi (masih mengacu pada yang nyata) mencoba menyerap simulasi dengan menafsirkannya sebagai representasi palsu, sementara simulasi melipat keseluruhan representasi sebagai sebuah simulacrum.
Apa yang Baudrillard refleksikan tentang apa yang nyata dan tidak nyata juga berlaku pada film Tanda Tanya. Gagasan Hanung untuk menghadirkan yang tidak hadir dari realitas masyarakat Indonesia merupakan sebuah simulasi yang akhirnya berpotensi menjadi model bagi penciptaan sebuah tata masyarakat yang baru, masyarakat yang lebih semakin menghargai perbedaan dan toleransi umat beragama, masyarakat yang menghargai pluralitas keagamaan. Yang tidak hadir dari realitas itu akhirnya juga lenyap bersamaan dengan terciptanya sebuah realitas baru dari hasil meniru yang dihadirkan film itu. Memang belum terbukti apakah film Tanda Tanya ini melahirkan sebuah masyarakat yang pro-toleransi dan pro-pluralisme yang dikawatirkan oleh para elite agama. Namun, kehadiran yang “dianggap” absen dalam masyarakat dalam film tersebut sudah menjadi wacana baru dalam kasanah dinamika hidup keagamaan masyarakat Indonesia. Wacana baru itu akan menjadi semakin nyata ketika menjadi bahan pembicaraan yang semakin hangat di antara pemeluk agama, entah menolak maupun menerima. Dengan demikian, simulasi dalam bentuk film Tanda Tanya tersebut lambat laun menjadi sebuah realitas baru yang nyata yang sama sekali tidak mengacu pada realitas yang sesungguhnya.
Hollywood sebagai Agen Globalisasi
Hiperrealitas yang digagas Baudrillard sungguh nyata kita lihat dalam industri film terbesar dunia saat ini, Hollywood. Film-film yang diproduksi mampu masuk ke dalam box-office global. Menurut data dari European Audiovisual Observatory (EAO), perlu dicatat bahwa sepanjang tahun 2007, 19 dari 20 film yang masuk ke dalam box-office berasal dari Amerika, dalam hal ini Hollywood, atau kerjasama Amerika-Eropa. Kenyataan ini mau tidak mau menjadikan Hollywood sebagai sebuah trendsetter perfilman dunia. Dominasi Hollywood membuat gerah beberapa industri film negara-negara lain, seperti Eropa. Mereka tidak mampu bersaing dengan dominasi Hollywood, terutama dalam mencetak film-film yang berpotensi besar masuk ke dalam box-office perfilman dunia. Hal ini dapat terjadi karena secara historis, menurut Finola Kerrigan, seorang dosen dan peneliti senior dalam Marketing di King's College London, industri film Amerika mulai mengeruk keuntungan ketika pada masa Perang Dunia I (PD I). Pada saat itu Perancis, German, Itali, dan Inggris mengalami banyak kerugian karena perang sehingga pendanaan untuk industri film mereka berkurang. Hal ini merupakan faktor tambahan yang memastikan dominasi Amerika berlanjut secara global, khususnya dalam menguasai pasar Eropa. Salah satu kunci sukses dari dominasi ini, menurut Kerrigan, adalah kesadaran yang muncul dari para pembuat film Amerika akan pasar Eropa selama PD I. Oleh karena itu, mereka mengembangkan pasar ini di permulaan tahun 1920-an. Pada tahun-tahun itulah Amerika mulai mendominasi box-office.
Menurut Karrigan, ada beberapa faktor yang membuat Amerika masih mendominasi dunia perfilman global saat ini. Pertama adalah unsur komersial. Komersialisasi dalam industri film sangat penting untuk mendukung semua sektor dalam industri film. Komersialisasi itu meliputi informasi dan akses ke pasar, penciptaan pasar baru (merchandise, program TV, home video, multimedia). Kedua, pemasaran dan distribusi. Tidak diperdebatkan lagi bahwa industri Hollywood memiliki lebih banyak bintang dengan reputasi internasional dari pada industri film lainnya. Mereka juga melakukan kontrol atas jaringan distribusi dunia. Sektor distribusi ini merupakan unsur yang paling penting bagi sebuah film untuk mencapai penontonnya. Sebuah kampanye marketing yang baik merupakan hal paling penting untuk mengamankan perolehan box-office. Ketiga, kecurigaan para pembuat film terhadap para distributor yang sering mengubah konsep film mereka agar sesuai pasar tidak berlaku di Amerika. Kecurigaan ini melanda para pembuat film non-Hollywood. Keempat, restrukturisasi yang dilakukan Hollywood sebagai tanggapan terhadap kehadiran TV di tahun 1950-an yang berdampak secara negatif pada industri film. Kelima, lobi internasional yang kuat. Kekuatan dan pentingnya industri film telah dilihat oleh pemerintah Amerika sehingga mereka menggunakan jaringan diplomatiknya untuk mempromosikan film-film mereka ke seluruh dunia. Pelobi film dari Amerika yang kita kenal saat ini adalah MPAA. Kekuatan lobi Amerika ini juga nampak ketika bernegosiasi dengan Korea Selatan. Amerika menekan Korea Selatan untuk mengurangi kuota film-film lokal dari 40% menjadi 20% dalam rangka meningkatkan perdagangan di bidang lain dengan Amerika. Di sini nampak bahwa posisi tawar Amerika terhadap negara-negara lain cukup tinggi.
Kehadiran jaringan pasar film-film Hollywood yang begitu kuat dan dominan secara global tersebut juga membuat pemerintah Indonesia menghadirkan kembali film-film Holywood di Indonesia (Kompas.com, 9/6/2011) yang pada bulan Februari 2011 lalu sempat terhenti karena soal pajak. Persoalannya apakah ada tekanan dari pemerintah Amerika kepada pemerintah Indonesia atau tidak, seperti yang dialami pemerintahan Korea Selatan, belum ada penjelasan. Faktanya, dalam jangka dekat kita akan menyaksikan kembali film-film box-office, seperti Kungfu Panda 2 dan Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides. Lalu bagaimana dengan nasib film Tanda Tanya atau film-film lokal lain yang mengusung persoalan khas bangsa kita ini? Apakah realitas baru yang diwacanakan atau yang hendak dijadikan bahan refleksi pribadi dan kolektif tenggelam dalam film-film luar yang kebanyakan tidak mendidik dan hanya bersifat menghidur penonton tersebut? Sebenarnya yang diminati penonton kita adalah film-film yang menghibur saja, atau mendidik? Jika dilihat secara sepintas dalam situs www.21cineplex.com yang menampilkan film-film baik dalam negeri maupun luar negeri nampak bahwa sebaran film-film yang menghibur, seperti film-film Hollywood, film horror Indonesia, film berbau seks dengan artis pendukung dari negara luar (Jepang, Amerika) lebih dominan. Ini mengindikasikan bahwa pembuat film dalam negeri pun terpancing untuk menghasilkan film-film yang tidak mendidik. Kehadiran film ini pun disinyalir akan membuat perubahan mental masyarakat yang menontonnya.
Pengaruh pembuatan jenis-jenis film di Indonesia seperti itu pun mau tidak mau dipengaruhi dengan gaya bertutur dalam film-film Hollywood yang mengglobal. Menurut Scott R. Olson, gaya film Amerika tidak lepas dari permintaan orang-orang Amerika sendiri yang tidak ingin berpikir ketika menonton film, tetapi lebih ingin menebak setiap tayangan bagian film selanjutnya. Maksudnya adalah bahwa faktor penonton yang menginginkan absennya daya pikir dan lebih memilih film-film yang lebih sederhana memengaruhi para pembuat film Amerika untuk membuat film-fim sesuai permitaan penonton Amerika. Yang penting bagi penonton adalah mereka dapat memahami dan menikmati film. Oleh karena itu wajar bila film-film mereka diminati oleh sebagian besar orang karena unsur menghiburnya lebih dominan dari pada yang memerlukan usaha berpikir.
Dengan demikian nampak bahwa globalisasi yang diusung Hollywood telah sedemikian memengaruhi dunia melalui kehadiran film-filmnya. Dalam arti ini, globalisasi berarti dominasi ekonomi dan politik dari Amerika, termasuk budayanya yang yang didominasikan ke seluruh penjuru dunia. Dominasi ini akan berdampak pada perubahan ekonomi dan teknologi yang merupakan penggerak globalisasi itu sendiri. Perubahan ini akan berpotensi besar menciptakan persoalan sosial dan politik di negara-negara yang mengalami globalisasi, seperti jurang pemisah antara yang menang dan kalah semakin besar baik di dalam maupun di antara masyarakat, dan tantangan terhadap gagasan tradisional tentang nasionalisme. Mengutip sejarawan Chili, Claudio Veliz, Berger mengatakan bahwa fenomena dari dominasi Amerika ini disebut dengan istilah “Hellenistic phase of Anglo-American civilization”, yaitu fase helenisasi dari peradaban Anglo-America. Frase ini dimaksudkan untuk membedakan apa yang dimaksud dengan imperialisme. Mesin global dari jaman Yunani waktu itu adalah Koine, yaitu bahasa umum Yunani. Saat ini, bahasa Inggris, lebih dalam bentuk Amerika dari pada Inggris, merupakan koine dari kemunculan budaya global. Jutaan orang di seluruh dunia menggunakan bahasa ini sebagai bahasa pengantar untuk alasan-alasan praktis. Hal ini bisa kita lihat sangat jelas dalam film Robinson Crusoe (1997), di mana Crusoe (Pierce Brosnan) memaksa Friday (William Takaku) untuk berbahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengannya. Ini berarti, untuk mampu bersaing dengan pasar internasional, mau tidak mau dunia dunia perfilman kita mesti menggunakan bahasa Inggris. Paling tidak ada subtitle yang berbahasa Inggris dalam film-film kita agar diterima oleh publik internasional, khususnya publik Amerika.
Lalu bagaimana kita menyikapi dominasi dari budaya Hollywood ini agar kekhasan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia tetap bisa lestari melalui film-film berbasis realitas masyarakat? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab sekarang ini. Kenyataannya, para penonton kita lebih cenderung ingin mendapatkan hiburan yang berkualitas. Mereka sudah terbuai dengan sensasi yang dimunculkan film-film Hollywood, melalui teknologi visual effect-nya yang maju (termasuk teknologi 3D). Satu-satunya jalan adalah meningkatkan produksi film-film berbasis budaya lokal masyarakat Indonesia segencar mungkin. Misalnya mengangkat kembali kisah jaman kerajaan yang kaya sekali dengan muatan nilai dan moral yang baik atau mengangkat kearifan lokal budaya Indonesia. Tentu ini sudah kita lihat dalam pertunjukan wayang “Jabang Tetuko”. Penulis kira dengan langkah ini, para penonton film Indonesia akan dengan mudah memilih film-film yang familiar dengan mereka, film-film yang mewakili apa yang menjadi kerinduan mereka, film-film yang mengangkat budaya Indonesia.
Refleksi atas Pengaruh Daya Ubah Film (Media)
Kembali pada film Tanda Tanya yang mengangkat yang absen dalam masyarakat Indonesia, penulis merasa bahwa apa yang digagas Baudrillard adalah benar. Dunia kita saat ini memang merupakan dunia simulasi, yaitu meniru dari realitas sesungguhnya, untuk kemudian dari tiruan tersebut menciptakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu sendiri, yang sudah terlepas dari realitas sesungguhnya, menjadi sebuah realitas yang baru lagi, dan realitas tersebut menjadi realitas yang sesungguhnya. Apa yang diangkat film Tanda Tanya adalah sebuah gambaran ideal atau imajinasi yang sesungguhnya tidak jelas apakah sungguh mengacu pada realitas yang sesungguhnya atau sudah dimasuki gagasan atau ide-ide pembuat film. Akibatnya antara gagasan atau idea tau imajinasi dengan realitas tidak jelas. Batasan itu menghilang. Yang tersisa adalah sebuah karya baru yang siap untuk didiskusikan dalam ruang-ruang publik. Pewacanaan film tersebut dalam ruang publik akhirnya menjadi sebuah realitas baru.
Ini juga berlaku pada film-film Hollywood. Para pembuat film dan tentu saja para pemilik industri film di Hollywood sadar akan kekuatan dari film-film buatan mereka. Sebuah film akan mendatangkan sebuah keuntungan amat besar bila diminati semakin banyak orang sehingga bisa masuk ke dalam box-office global. Semakin banyak orang membicarakan film tersebut, katakanlah Avatar (2009), semakin film itu hadir secara nyata dalam hidup masyarakat internasional. Bahwa kehadiran ratusan film-film yang masuk box-office telah sedemikian besar mengambil peran perubahan global, entah yang baik maupun berakibat buruk. Bahwa sebuah karya seni (film) yang dipadu dengan bisnis menjadi sebuah kekuatan transformatif bagi masyarakat global. Inilah dunia yang dimaksud oleh Baudrillard sebagai hiperrealita.
Lalu bagaimana dengan pengaruh daya ubah sebuah film bagi masyarakat penonton? Apakah berpotensi menggoyahkan iman mereka yang memiliki keyakinan agama tertentu—seperti disinyalir dalam fim the Da Vinci Code (2006) dan Angels and Demons (2009)? Atau malah memicu pemurtadan karena muatan pluralisme yang kental, seperti yang dikuatirkan para pemuka agama terhadap film Tanda Tanya? Atau masyarakat dimasukkan ke dalam sebuah realitas semu yang telah ditawarkan dalam film-film tersebut, seperti film-film fiksi? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis berkaca pada posisi Vatikan terhadap kehadiran film yang menurut penulis masih relevan untuk masa sekarang ini. Sejak tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II (YP II) telah menyadari peran penting film dalam perubahan masyarakat. Melalui pesannya dalam Hari Komunikasi Sedunia ke-29 tanggal 28 Mei 1995 yang bertema “Cinema: Communitacor of Culture and Values”, Paus menyatakan bahwa film mampu mempengaruhi dan mengkondisikan pilihan-pilihan masyarakat, khususnya kaum muda, dalam sebuah bentuk gambar yang memiliki dampak sangat besar bagi para penonton dan bagi alam bawah sadar mereka. Selain itu, film dapat menekan kebebasan ketika film itu membelokkan kebenaran dan ketika menjadi sebuah cermin dari jenis-jenis perilaku negatif, misalnya menggunakan tayangan kekerasan dan seksual untuk merangsang perhatian para penontonnya. Sikap dari mereka yang secara tidak bertanggungjawab membawa pada degradasi moral tidak bisa dianggap sebagai ungkapan artistik yang bebas karena hanya dalam Kebenaranlah kita menjadi bebas (Yoh 8:32). Oleh karena itu YP II, berseru kepada mereka yang bertanggungjawab dalam industri film dan para penonton agar lebih kritis dalam menghadapi permintaan dari dunia media, termasuk sinema dan siap untuk menilai antara apa yang bisa dijadikan kesempatan untuk mengembangkan diri (misalnya film-film berbasis kearifan lokal atau keagamaan atau dokumenter) atau yang malah membahayakan mental atau akhlak (misalnya film-film yang berbau seks, porno, atau horor).
Bagi penulis, dunia tiru-meniru ini tidak terelakkan. Media, seperti TV, internet, Film, dan alat-alat komunikasi telah menjadi bagian hakiki kehidupan manusia. Dominasi Hollywood dalam dunia perfilman yang berpotensi besar memengaruhi budaya kita juga tidak terbendung. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah memanfaatkan sarana-sarana yang tersedia untuk mengembangkan identitas kultural bangsa Indonesia sendiri melalui film-film berbasis budaya, kearifan lokal, yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan. Melalui film tersebut, realitas baru akan tercipta, yaitu masyarakat yang cinta akan tanah air, yang lebih beradab, dan yang mengenali akar sejarahnya sendiri. Dengan demikian, sebuah masyarakat yang menghormati perbedaan dan keanekaragaman bangsa ini dengan paradigma yang baru akan tercipta sepenuhnya.
Sumber Pustaka
Berger, Peter L. and Samuel P. Huntington (ed.). 2002. Many Globaliszations: Cultural Diversity
in the Contemporary World. New York: Oxford University Press, Inc.
Kerrigan, Finola. 2010. Film Marketing.Oxford: Elsevier.
Olson, Scott R, “The Globalization of Hollywood” dalam International Journal on World Peace
17 (2000): 3-17.
Poster, Mark (ed.). 1992. Jean Baudrillard: Selected Writings. Cambridge: Polity Press.
Smith, Richard G. (ed.). 2010. The Baudrillard Dictionary. Edinburgh: Edinburgh University
Press, Ltd.
Sumber Internet:
Paulus II, Yohanes, "Cinema: Communicator of Culture and of Values" dalam
http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/messages/communications/documents/hf_jp-ii_mes_06011995_world-communications-day_en.html (diunduh tanggal 25 Mei 2011)